Sukses

Beauty

Makan Bukan Segalanya

Ingin bugar atau terlihat awet muda? Mulailah dari piring makan Anda.

Oleh Sanita Deselia

Mereka Menikmati Hidup Sehat

  • Chef Haryo. Saya selalu sarapan: sayur, buah, dan air yang dicampur perasan jeruk nipis. Setelah menjalani pola makan sehat, saya merasakan tubuh saya selalu segar. Dulu kalaupun tidur 8 jam, ketika bangun saya tetap merasa lelah.
  • Erwin Parengkuan. Saya sering memilih sarapan tomat rebus, dan kacang hijau tanpa gula merah dan santan. Sebagian besar isi kulkas saya buah dan sayur. Malah ada satu kulkas yang khusus berisi buah saja. Sirup pun buatan istri.
  • Nina Tamam. Saya sarapan aneka buah-buahan.  Menjalani pola makan sehat artinya bertualang mencoba makanan baru. Makan daging tidak pakai kentang, atau menikmati ayam tanpa nasi, awalnya memang aneh, tapi menyenangkan kalau dinikmati.
  • Inge Bachrens. Saya selalu menyediakan sarapan salad, lalu nasi merah dengan lauk sederhana seperti telur mata sapi, atau roti gandum dengan peanut butter organik. Saya memandang sesuatu hitam-putih, kalau mau makan sehat kenapa tidak dilakukan dengan total?
  • Suzy Hutomo. Saya selalu sarapan segelas jus lemon diikuti jus sayuran. Kadang campuran antara salah mentah atau oatmeal. Pola makan sehat membuat saya tidak mudah terserang penyakit. Bonusnya kulit terawat dan rasanya selalu enerjik tidak mudah lelah.
  • Jana Parengkuan. Saya mengawali hari dengan oatmeal atau roti gandum. Sehat bukan berarti harus makan buah dan sayur saja. Makanan lain boleh saja dimakan, asal pintar memilih dan mengolahnya. Misalnya perkedel yang biasanya digoreng, saya olah dengan dipanggang.

Makanan seperti api. Bisa jadi sahabat bisa juga jadi musuh. Jika takarannya pas tubuh menjadi bugar, penuh vitalitas, bahkan terbentuk ideal. Jika tidak, makanan bisa menggerogoti kesehatan.

Makanan sangat dekat dengan kehidupan kita. Selain makan rutin 3 kali sehari, banyak peristiwa yang sering diikuti dengan acara makan. Mulai dari promosi di kantor, ulang tahun, menikah, punya pasangan baru, yang ditagih selalu: “makan-makannya mana?” Makanan pun sering jadi ajang berinteraksi dengan teman-teman dan kerabat lewat berbagi komentar dalam foto-foto makanan di media sosial. ‘Hobi’ makan membuat banyak orang tanpa sadar terjebak dalam perilaku makan tanpa aturan. Namun saat ini kesadaran untuk kembali makan sehat mulai kembali mencuat.

Zamannya Berbeda

Jika dulu gencar kampanye 4 Sehat 5 Sempurna, saat ini pola makan sehat (rujukan WHO) lebih pada piramida makanan. Dari segi porsinya, paling banyak yang ada di paling bawah, karbohidrat baik (roti berserat, nasi merah, oat, biji-bijian, dan sebagainya), lalu di atasnya: buah dan sayur, lalu di atasnya lagi protein nabati (tahu, tempe, kacang-kacangan) dan hewani (telur, ayam, ikan, daging), dan berada di lapisan paling puncak adalah kelompok makanan yang sedikit dibutuhkan oleh tubuh, seperti makanan manis dan gorengan. “Secara umum, dari segi kebutuhan energi memang 60-80 persen kebutuhan kalori menurut WHO datangnya dari karbohidrat, 30 persen dari protein, sisanya lemak,” ungkap Dokter Grace Judio-Kahl, MSc, MH, CHt.

Susu tidak lagi dianggap penyempurna, sebab yang dibutuhkan bukan susunya tapi kalsium. Sementara kalsium bisa diperoleh dari makanan lain seperti telur, ikan dan sayuran yang renyah. Mengonsumsi makanan favorit memang manusiawi. Tetapi sejauh mana Anda bisa mengendalikan makanan yang masuk ke dalam perut, itulah yang menentukan kondisi kesehatan Anda sekarang dan nanti. Semakin terbukanya informasi membuat saat ini pola makan sehat menjadi gaya hidup. Grace mengingatkan perbedaan yang jelas antara pola makan sehat dengan diet. “Diet adalah pengaturan makan untuk kebutuhan khusus. Bisa untuk turun berat atau diabetes kolesterol tinggi. Sedangkan pola makan sehat adalah komposisi makanan yang dipilih karena memang mengupayakan kesehatan,” jelas Grace. Sebagian orang memilih pola makan sehat karena terbiasa dari kecil dan dididik seperti itu. Sementara sebagian yang lain mengubah pola makan mereka setelah mengalami peristiwa yang kurang menyenangkan.

Banyak pemicu seseorang mengubah pola makan. Di usia muda penampilan menjadi pendorong utama untuk mengubah pola makan (ingin lebih langsing atau tampil lebih menarik). Sementara beranjak usia 40-50an pencegahan terhadap penyakit menjadi tujuan orang mengubah pola makan.

Mengerem nafsu makan cenderung sulit ketika tidak ada pemicu. Menurut jajak pendapat yang dilakukan GH Indonesia terhadap 118 responden laki-laki dan perempuan usia 27-45 tahun, 44% mengaku akhirnya mengerem nafsu makan karena merasa  gemuk dan 25% karena mengalami keluhan kesehatan.

Nina Tamam (38), penyanyi, memutuskan mengubah pola makan enam tahun lalu. “Karena saya under weight, jadi sering sakit. Karena capek bolak-balik UGD, saya mencoba hidup lebih sehat,” cerita Nina. Sebaliknya Chef Haryo (38) justru mengalami obesitas sehingga mendorongnya mengubah pola makan. “Badan sakit, tidak lincah, sering migren hebat,” tutur Chef Haryo.

Mengubah pola makan yang telah bertahun-tahun dijalani sama sekali tidak mudah.  Nina sempat tersiksa ketika harus menikmati makan ayam tanpa nasi. Apalagi dirinya dulu termasuk ‘pemakan segala’.

Suzy Hutomo (51), CEO Bodyshop, pun sempat mengalami lemas, kurang energi, bahkan flu dan pusing di awal perubahan pola makan. “Tapi menurut saya, itu merupakan bagian dari ‘healing reaction’,” ungkap Suzy yang mengubah pola makan sejak SMA karena mengikuti ibunya yang diet vegetarian.

Perubahan kebiasaan tidak jarang membuat orang kesulitan beradaptasi. Bisa karena bosan atau merasa tersiksa. Grace mengungkapkan, mereka yang mengubah pola makan dengan tujuan menurunkan berat badan, sebesar 50% biasanya mengalami kebosanan di tiga bulan pertama.

Tidak jarang usaha gagal di tengah jalan. Namun jika pola makan sehat dilakukan sejak kecil, hal itu akan menjadi kebiasaan yang baik.

Seperti Erwin Parengkuan (43), presenter. “Sejak kecil saya terbiasa tidak minum soda, tidak mengonsumsi makanan kalengan, dan tidak mengonsumsi makanan instan. Saya juga dibiasakan untuk tidak makan kerupuk saat makan. Ibu yang mengajari saya, sehingga sekarang saya tak perlu repot menjalani hidup sehat,” kata Erwin yang baru meluncurkan buku tentang makan sehat.

Tak Selalu Repot

Ada banyak alasan mengapa sulit sekali mengubah pola makan menjadi lebih sehat. Anggapan tidak menyenangkan selalu membayangi. Sebanyak 65% responden mengidentikkan makan sehat dengan membatasi asupan makanan, sedangkan sisanya menganggap makan sehat sama dengan makan tidak enak dan merepotkan.

“Perasaan kebebasan yang terganggu membuat banyak orang sulit melepaskan kebiasaan makan yang tidak sehat. Ada konflik antara keinginan untuk sehat dan kebebasan yang terampas. Juga harus mau olahraga,” kata Grace.

“Memang kita harus tahu apa yang kita konsumsi. Saat berbelanja makanan kita harus membaca kandungan apa saja yang terdapat di dalamnya,” kata Suzy. Begitu juga ketika ia makan di luar. Menu yang dipesan harus mengandung banyak sayuran, sedikit daging ataupun menu lain yang tidak digoreng.

Sementara Erwin selalu membawa beras merah jika harus bepergian ke luar kota. “Orang-orang bilang saya repot hidupnya, kemana-mana bawa beras merah. Saya bilang justru kalau saya tidak membawa nasi merah hidup saya bisa repot,” kata Erewin. Biasanya di hotel tempat ia menginap ia akan meminta pihak hotel memasakkan beras tersebut untuk dirinya. Tidak seperti Erwin, Jana Parengkuan (37) lebih fleksibel.

“Kalau di restoran tidak ada nasi merah ya saya makan nasi putih, tapi porsinya sepertiganya saja. Lauknya sebisa mungkin memilih yang dibakar atau steam,” kata Jana. Cemilan juga biasanya makan buah atau kacang-kacangan. Kalau malam lapar saya bisa makan semur tahu atau ayam tanpa nasi.

Pengalaman Inge Bachrens (40) sangat menarik. Ia memilih menerapkan clean eating dua tahun lalu. Ia dan keluarga memilih untuk hanya mengonsumsi makanan natural. Baik daging, sayuran maupun buah dipilih yang tidak melalui proses (unprocessed food). Sehingga segala kandungan kimia, termasuk bahan pewarna dan perasa buatan serta bahan pengawet tidak akan masuk ke dalam tubuh.

“Memang harus ada effort saat berbelanja maupun mengolah masakan,” ujar Inge. Jika ia diundang makan malam, Inge memilih untuk makan dulu di rumah, jadi di tempat pesta, Inge tinggal mengonsumsi buah-buahan.

“Kalau yang mengundang kawan dekat, biasanya mereka sudah mengerti,” kata Inge yang memilih berterus terang mengenai pola makannya pada pihak pengundang.

Namun Chef Haryo dan Nina memilih untuk bersikap fleksibel saja. “Kalau saya sedang ke luar kota, dan adanya nasi boks ya saya makan saja pilihan yang ada. Karbohidrat dan sayur, atau sayur dan daging. Semudah itu,” kata Nina.

Memang diakui Grace hidup di kota besar membuat masyarakat sulit menjalankan gaya hidup yang 100% sehat. “Sekarang berapa persen yang bisa ditoleransi? Setidaknya konsumsilah lebih dari 50% asupan yang sehat dari menu Anda sehari-hari. Tapi kalau bisa mengupayakan untuk selalu mengonsumsi makanan buatan rumah yang bebas pengawet, itu bagus,” kata Grace.

Edukasi menjadi hal penting, terutama jika dilakukan sejak dini. Jana misalnya selalu mengupayakan agar anak-anaknya mengonsumsi makanan yang dibuat di rumah. “Nugget saya buat sendiri, bahkan kalau anak-anak ingin teh kemasan, saya mengajak mereka untuk membuatnya di rumah. Saya beli kantong plastik juga, diberi batu es, dan saya masukkan air teh ke kantong plastik lalu diberi sedotan,” kata Jana.

Tidak Harus Mahal

Sudah repot, mahal pula. Itu kesan yang tertangkap dari pola makan sehat. Makanan organik sering disebut-sebut sebagai syarat untuk makan sehat. Padahal tidak selamanya demikian. Harganya yang mahal sebenarnya bisa diakali jika tahu cara mengolahnya

Saya mengungkapkan perencanaan yang tidak matanglah yang membuat terasa mahal karena berujung menyia-nyiakan makanan. “Lebih baik merencanakan dan mengonsumsi makanan berkualitas daripada membeli banyak makanan yang tidak sehat,” kata Suzy.

Hal senada diungkapkan Nina dan Inge. “Kalaupun budget makan jadi mahal setidaknya saya bisa menekan pos kesehatan, karena setelah pola makan sehat dijalani saya sekeluarga jadi jarang sakit,” ujar Inge.

Tetapi mengonsumsi makanan organik bukan satu-satunya jalan. Walau makanan organik murni mengandung lebih banyak nutrisi yang menyehatkan, mengonsumsi makanan tidak organik juga tidak apa-apa (asal memasaknya dengan tepat). Grace mengingatkan makanan organik yang tidak diolah dengan benar juga akan berkurang manfaatnya. “Kalau organik tapi diolah dengan santan, ya percuma. Kalaupun ayamnya organik, kalau yang dikonsumsi jeroannya ya kolesterol tetap tinggi,” ungkap Grace.

Namun meski ‘repot’, pola makan sehat semakin banyak dipilih orang saat ini. Sebanyak 34% responden percaya mengonsumsi makanan sehat akan membuat tubuh langsing sementara 27% percaya akan panjang umur.

Baik Chef Haryo maupun Suzy mengakui tubuh yang lebih ringan dan bugar didapat dengan pola makan yang lebih baik. “Saya bahkan merasa lebih muda,” ungkap Suzy.

Muda tidak hanya dalam penampilan. Bagi Chef Haryo tubuh yang bugar juga membuat vitalitas untuk berhubungan intim pun tetap prima. Efek awet muda bisa terjadi karena tubuh hanya menerima makanan yang baik. “Kita tidak lagi memasukkan ‘sampah’ yang memperberat kerja tubuh sehingga memicu penuaan dini,” kata Grace.

Source :  Goodhousekeeping Edisi April 2013 halaman 84

(vem/gh/dyn)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading