Sukses

Lifestyle

Nikahi Aku Ketika Tiba Waktunya Kita Menjadi Satu

From : Annysha Aulia

Sebut saja namanya Adam. Aku sudah berteman dengannya cukup lama, bahkan jauh sebelum aku memutuskan hubunganku dengan kekasihku terdahulu. Bahkan,

sebelum aku akhirnya memutuskan untuk memakai hijab. Dia adalah sahabat yang baik. Seorang pria dengan banyak kemampuan. Bermain musik, bernyanyi, memainkan gitar, bass dan drum. Dia memang sudah mempunyai sebuah band namun belum berminat untuk bernaung ke sebuah label. Aku dan dia mempunyai banyak sekali persamaan, mulai dari kesukaan kami terhadap musik, penyuka warna biru hingga asal kami yang dari keluarga broken home. Kami juga suka bercanda dan sayangnya sama-sama keras kepala.

Hanya hal ini yang membedakan kami,aku berasal dari Indonesia sedangkan ia adalah seorang Amerika asli. Kami juga mempunyai kepercayaan yang berbeda. Aku muslim sedangkan ia adalah keturunan Yahudi dan Protestan. Tapi beruntungnya, kami sangat menjunjung tinggi toleransi. Bahkan, ia ingin tahu lebih banyak mengenai islam dan juga sangat mengagumi kebudayaan Indonesia.

Ketika aku patah hati karena pengkhianatan mantan kekasihku, ia adalah orang pertama yang menghiburku. Ia juga sangat marah ketika mengetahui bahwa aku telah dikhianati. Saat itu ia mengatakan, " Biarkan saja ia mengkhianatimu. Sejujurnya, ialah yang merugi karena mengkhianatimu. Kamu adalah wanita yang menyenangkan." Aku pun tersipu malu sehingga tidak mampu mengucap kata, selain terima kasih.

Ia juga sempat terkejut melihat perubahan penampilanku yang mengenakan hijab. ia bahkan sempat menyanjungku dan mengatakan bahwa aku lebih cantik ketika menggunakan hijab. lagi-lagi, aku dibuat terdiam dan tersipu.

Hingga tiba waktu ketika ia menyatakan perasaannya padaku. ia sempat terkejut karena aku tidak ingin lagiĀ  mencari kekasih. "Sekarang, aku ingin mencari suami, bukan lagi kekasih." Ia marah besar mendengar penjelasanku. Aku lupa bahwa ia memang phobia dengan hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan atau komitmen sejenisnya. Ini karena perceraian kedua orang tuanya. Namun, aku yang berpegang teguh pada keyakinanku terhadap pernikahan yang sudah jelas tertulis di kitab suciku membuat kami kehilangan kontak selama beberapa waktu. Sayangnya, aku tak berani untuk mengatakan apapun.

Suatu hari, ia meneleponku. "Kupikir, kau tidak ingin berbicara denganku lagi.", kataku. "Aku merindukan suaramu.", jawabnya. Aku pun begitu. Karena menyimpan rasa bersalah, aku meminta maaf padanya. Ia pun melontarkan jawaban yang justru membuatku bingung. 'Suatu saat aku juga akan mengalami pernikahan. Aku ingin menikahimu, tapi tidak tahun ini. Nanti setelah aku memperjuangkan karir musikku." Tak kuasa ku membendung tangis. Aku hanya berkata,"berjanjilah padaku, nikahi aku ketika kamu dan aku sudah sama-sama siap."

Ia kemudian menceritakan aku kepada kedua orang tuanya. Dan untunglah, mereka merestui hubungan kami. Memang, awalnya adik-adik Adam tidak menyukaiku karena aku adalah seorang muslim. Ini sempat membuat Adam marah besar. Tidak berhenti disitu, mantan-mantan kekasih Adam juga berbondong-bondong menyerangku. Syukurlah, Adam denganpenuh kasih sayang membelaku. Ia bahkan mengatakan bahwa aku adalah calon istrinya, padahal ia bahkan belum melamarku.

Suatu kesempatan, aku menceritakan segala tentang aku dan kisah hidupku. Aku hanya takut bahwa suatu hari ia menyesal telah menikahiku. Aku tidak ingin ini terjadi. Aku ingin ia mencintaiku apa adanya. Dengan penuh kasih ia mengatakan ," tak peduli bagaimanapun keluargamu. Aku juga tidak peduli dengan masa lalumu. Apa yang penting sekarang adalah kamu bukan orang yang sama dengan yang dahulu."

Tangis haru aku mendengarnya. Sangat beruntung aku memiliki calon suami seperti dia. Ia mungkin urakan, tapi hatinya rupawan. Ia pun kini mempunyai penghasilan yang tetap. Kini, tiba waktunya aku memperkenalkan Adam ke kedua orang tuaku. Aku yakin, mereka juga akan memberikan restu kepada kami.

(vem/dyn)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading