Sukses

Parenting

Ringankan Langkahnya

Maunya menemani terus ke mana pun anak pergi. Lalu, kapan dia bisa mandiri?

Oleh Anita Desyanti

Pagi itu di tengah hiruk-pikuk rombongan karyawisata yang akan berangkat studi tur ke Yogya, Tara (35) tak bisa menyembunyikan kegundahannya. Saat putra pertamanya Adam (10) pamit mencium tangannya, Tara seolah tak bisa melepaskan genggamannya.

Hati Tara sedikit resah. Itu adalah kali pertama Adam diizinkan pergi jauh tanpakehadirannya. Kecemasan yang dialami Tara wajar adanya, karena seorang ibu tentu saja ingin selalu mendampingi dan melindungi anaknya di mana pun juga. Tapi jangan sampai Anda berlebihan menunjukkan rasa khawatir di depan anak. “Anak terbiasa untuk meniru orangtuanya, apabila kita pencemas, anak juga akan meniru perilaku tersebut. Efeknya anak jadi akan ragu-ragu terhadap kemampuannya menjaga diri sendiri,” jelas Maharani Ardi Putri M.Si, Psi psikolog keluarga dari Universitas Pancasila.

BERI KEPERCAYAAN BUKAN KECURIGAAN

Melatih kemandirian anak sejak dini sangatlah penting. Dalam jangka panjang ini akan memengaruhi karakter dia saat dewasa kelak. Sementara dalam jangka pendek, kemandirian akan menentukan kesiapan anak tersebut dalam menghadapi momen-momen ketika harus pergi tanpa didampingi orangtua. Menurut Putri, melatih anak mandiri tidaklah sulit. Mulailah dengan hal sederhana seperti, berikan anak kepercayaan melakukan kegiatannya sehari-hari sendiri. Misalnya tidur terpisah di kamarnya sendiri, merapikan tempat tidur sendiri, atau ke toilet dan mengganti baju sendiri. “Dengan begitu berarti si kecil telah membangun proses kemandirian, kalau berhasil mereka pun akan bangga dengan dirinya,” jelas Putri. Pencapaian kecil ini perlahan membuat anak akan lebih percaya diri melakukan hal-hal lain secara mandiri.

Cara lain yang bisa Anda tempuh adalah membawanya ke acara keluarga atau bertemu dengan teman-teman Anda. Lewat aktivitas ini anak bisa dilatih berani berjabat tangan dengan orang yang baru dikenal tanpa bersembunyi di balik badan Anda. Hal-hal tersebut baik untuk melatih kemandirian fisik, emosional dan sosial si kecil. Ketika si kecil sudah bisa berinteraksi dengan teman dan orang rumah, artinya perlahan kemandirian sosial anak sudah berkembang.

“Penanaman keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri ini juga penting untuk membantu dia mencari identitas dirinya. Jika sudah begitu mereka bisa menjadi pribadi yang percaya diri,” ujar Putri yang mengutip teori psikososial dari Erik Erikson. Keberanian kecil semacam itu perlahan akan membentuk keyakinan diri Anda sebagai ibu ketika tiba waktunya untuk melepas anak.

Melarang anak untuk ikut kegiatan hanya karena tidak bisa kita temani tentu saja akan merugikan dirinya. “Orangtua tidak bisa selalu menyembunyikan anak-anak mereka dari risiko-risiko yang mungkin dihadapinya. Anak bisa gagal mandiri karena kekhawatiran dari orangtua yang berlebihan,” ujar Putri.

Atasi rasa khawatir Anda. Mengurung anak hanya menghambat perkembangannya. “Di luar sana justru kesempatan untuk mereka meng-explore hal-hal positif yang dapat mendukung pembentukan karakter yang mandiri, misalnya mencoba kegiatan baru, berteman, dan menghadapi masalah dari teman sebaya,” ungkap Putri.

Boleh saja mengungkapkan kekhawatiran pada anak. Tapi ungkapkan dengan elegan untuk menimbulkan rasa tanggung jawab pada si anak. Katakan pada anak untuk menjaga diri baik-baik, karena jika ia terluka atau hilang bisa membuat Anda sedih. Hal itu sekaligus menyadarkan anak bahwa diri mereka sangat bernilai untuk Anda. Tumbuhnya rasa tanggung jawab dalam diri anak ini juga penting karena akan membuat sang ibu tenang melepasnya. Untuk memicu tumbuhnya tanggung jawab, Putri menyarankan untuk membuat kesepakatan. Contohnya, dia boleh pergi camping, asalkan bisa menjaga kesehatan dan tidak bermain di tempat-tempat yang berbahaya. “Buat kesepakatan jika terjadi pelanggaran, misalnya memotong uang jajannya,” saran Putri. Namun saat kepercayaan diberikan, kurangi sikap cerewet seperti terus-menerus telepon menanyakan keadaan mereka setiap saat. Beri mereka kepercayaan bukan kecurigaan.

“Kecurigaan Anda hanya membuat anak tertekan dan merasa tidak dipercaya. Ujung-ujungnya membuat mereka malas menghubungi Anda jika terjadi sesuatu,” jelas Putri.

PAHAMI EMPAT SITUASI

Masih belum berani melepas si kecil pergi sendirian? Cek apa saja yang menjadi kekhawatiran Anda, dan cari solusinya. Beberapa contoh kasus berikut semoga membantu Anda.

1. KEGIATAN: Karyawisata ke luar kota

KEKHAWATIRAN ANDA: Anak terlepas dari rombongan

SOLUSI: Bekali mereka dengan nomor telepon guru pembimbing. Jika anak Anda dibekali telepon genggam, simpan nomor-nomor penting tersebut dengan nama yang mudah diingat. Ingatkan juga untuk menghafal nomor pelat bus dan mendengarkan dengan seksama perintah dari guru. Langkah ini bisa dilatih saat Anda bepergian ke mall, ajarkan kepadanya jika terpisah dengan Anda segera pergi ke pusat informasi atau segera menelepon Anda.

2. KEGIATAN: Outbond

KEKHAWATIRAN ANDA: Anak terluka karena ikut permainan berisiko tinggi, contoh: flying fox.

SOLUSI: Cari tahu dan pelajari aktivitas apa saja yang akan ia ikuti. Misalnya kenali flying fox beserta segala risikonya. Dengan cara itu Anda akan paham apa yang akan dihadapi si kecil. “Jangan memotong sayap anak-anak ketika mereka mau belajar ‘terbang’. Yang bisa kita lakukan adalah mengajari untuk mengatasi situasi tertentu yang akan dihadapinya. Jangan lantas menyuruh anak untuk tidak pergi, hanya karena kita ketakutan,” tutur Putri. Bekali mereka dengan hal berguna. Jika khawatir anak diserang penjahat, bekali dia dengan keterampilan bela diri.

3. KEGIATAN: Camping

KEKHAWATIRAN ANDA: Sakit

SOLUSI: Ajarkan mereka untuk mengenali sinyal-sinyal tubuh jika mulai tidak enak badan, misalnya merasa pusing atau flu karena perubahan cuaca. Bekali obat-obatan, dan libatkan mereka saat proses berkemas, jadi mereka akan ingat di mana obat disimpan. Selain itu pastikan mereka paham harus melapor ke mana dan pada siapa jika sakit.

4. KEGIATAN: Bersekolah di asrama

KEKHAWATIRAN ANDA: Cultured shocked, terhadap perbedaan kebiasaan di rumah dan di asrama.

SOLUSI: “Orangtua harus menjelaskan alasan mereka menyekolahkan anak di sekolah asrama, jangan sampai anak malah merasa terbuang. Artinya anak akan paham harapan orangtua,” jelas Putri. Kalau anak dan orangtua sudah satu suara, lebih baik cari sekolahnya bersama-sama. Selain itu tanamkan kebiasaan mandiri sejak di rumah. Ajari juga cara mengelola keuangan. Dengan begitu mereka akan cepat beradaptasi dengan kehidupan yang mandiri.

Source : Good HouseKeeping Edisi Februari 2013 Halaman 91

(vem/GH/dyn)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading