Sukses

Parenting

Kutinggalkan Karier demi Menjaga Kehamilanku dan Kusyukuri Semua

Seorang ibu rela mengorbankan apapun demi kebaikan buah hatinya. Seperti kisah yang ditulis sahabat Vemale ini untuk mengikuti Lomba Bangga Menjadi Ibu. Ia rela meninggalkan karier demi bisa fokus menjaga buah hati dalam kandungannya. Pengalaman kehilangan memang menyakitkan tapi di situ ia menemukan kekuatan.

***

Halo Redaktur Vemale,

Perkenalkan nama saya Achellia Erri. Saya menikah di tahun 2014. Tiga bulan setelah menikah saya hamil, saya merasa sehat jadi saya beraktivitas seperti biasa. Tapi ternyata saya kelelahan, dan kandungan saya tidak cukup kuat. Saya mengalami keguguran. Hati saya hancur waktu itu. Pertama kali saya merasa ada kehidupan lain dalam rahim saya. Bahkan kesehatan saya juga menurun karena stres yang saya alami.

Saya dan suami bahkan sempat trauma untuk mencoba berusaha memiliki buah hati lagi. Waktu yang sangat berat bagi kami ketika kadang saya menangis tengah malam karena teringat kegagalan saya. Saya menyalahkan diri sendiri karena tidak mampu menopang kehidupan baru di tubuh saya. Tapi keluarga dan teman-teman men-supportkami. Akhirnya waktu yang berat itu terlewati.

Singkat cerita sembilan bulan kemudian, saya diberikan kesempatan lagi. Kami sangat bahagia. Pertama kali saya melihat hasil testpacksaya, saya bahkan meneteskan air mata. Akhirnya, Tuhan memberikan kesempatan kedua. Suami juga bahagia, tapi dia tak terlihat sumringah. Mungkin dia waktu itu masih sedikit takut. Saya berusaha meyakinkannya bahwa saya akan mampu jika dia mendukung kami.

Mual? Tentu saja. Pusing? Sudah pasti.

Akhirnya karena kami begitu excited, kami coba cari dokter yang bagus (menurut versi kami) setelah tanya pengalaman orang-orang di sekitar. Pada pemeriksaan pertama, saya masih ingat betul, dokter berkata bahwa bayi kami tidak bergerak lincah. Tandanya saya kurang asupan gizi, sehinya bayi kami juga tidak mendapat asupan yang cukup.

"Ibu mau bikin anak KW berapa?" tanya dokter waktu itu.

"Yang terbaik Dok, bukan KW." Aku tertawa.

"Kalau begitu lawan mualnya. Makan yang bergizi, minum susu 3 gelas sehari, telur rebus minimal 2 butir sehari," dokter menjelaskan.

Saya dalam kondisi tidak hamil saja antipati sama yang namanya telur rebus. Tidak tahan bau amisnya. Wah, apa saya bisa? Saya ragu-ragu.

3 bulan pertama saya masih bekerja. Setiap pagi suami selalu menjerang air hangat buat mandi, rebusin telor, siapin susu, cemilan, sarapan. Dan demi kenyamanan saya, suami meminta saya naik taksi pulang pergi kerja, hampir 200 ribu PP setiap hari kami keluarkan. Kami belum punya kendaraan roda 4 (mobil maksudnya). Bayangin kalau sebulan? Tapi kami benar-benar berjuang untuk kehamilan ini. Bukan hanya saya, tapi juga suami.

Pada bulan ke 4 mual sudah berkurang, tapi justru sempat ada flek. Pekerjaan saya memang secara fisik tidak berat, tapi pikiran saya terkuras, dan saya stres. Kami begitu ketakutan. Akhirnya tanpa pikir panjang saya resigndari kantor tempat saya bekerja. Saya sudah meniti karir cukup lama, hampir 8 tahun. Tapi buah hati kami di atas segalanya, saya mengesampingkan ego saya untuk menjadi wanita karir.

Akhirnya saya resign, istirahat, di rumah. Menikmati kehamilan saya dengan santai. Pagi saya bisa menyiapkan sarapan untuk suami, mengerjakan pekerjaan rumah, berjalan santai ke pasar, memasak makan malam, menunggu suami pulang. Dan itu nikmat sekali.

Saya tidak tertekan dan saya bahagia. Saya bisa berolahraga di rumah, ditemani musik klasik untuk perkembangan otak bayi, saya mengajaknya bicara, memantau pergerakannya. Gizi untuk si mungil juga selalu komplit, susu, es krim, telor ayam kampung, sayur, buah, dan camilan. Dan apapun yang saya minta, suami berusaha sediakan. Alasannya ngidam. Hehe, tapi saya nggak minta yang aneh-aneh.

Tapi di usia 7 bulan kehamilan ternyata berat badan bayinya terlalu besar. Dokter meminta saya diet. Tapi karena saya harus lahiran di Jogja, dengan alasan orangtua saya tinggal di sana, dan kami juga baru menyelesaikan pembangunan rumah kami dekat dengan rumah orang tua saya, akhirnya saya pindah ke Jogja di usia kehamilan 8 bulan. Saya periksa di bidan. Awalnya bidan tidak bereaksi macam-macam. Tapi saat tiba HPL, saya belum juga merasa mulas. Saya kembali berkonsultasi di bidan, bidan berkata bayi saya besar, beliau tidak sanggup.

Akhirnya saya lari ke dokter spesialis kandungan, saya harus caesar, karena posisi kepala bayi belum masuk panggul. Drop!Saya langsung dropp. Suami saya langsung terbang dari Jakarta, dan 15 menit sebelum saya masuk ruang operasi dia sempat menemui saya. Sudah dipasang infus, kateter, baju operasi. Saya melihat wajahnya, dia tampak tegang, tapi tetap berusaha menguatkan saya. Saya jelas takut. Saya tidak pernah dioperasi sebelumnya, bahkan saya belum pernah dijahit sebelumnya.

Saat saya masuk ruang operasi semua menakutkan, dingin, dan saya merasa sendiri. Tapi saya mencoba mensugesti diri sendiri, saya akan melihat wajah bayi saya.

Dokter anastesi sudah menyuntikkan obat bius. Nggak lama saya merasa mati rasa. Tapi entah karena nervous, atau apa, saya mendadak sesak napas. Rasanya saya tidak mampu menarik napas lagi. Saya sempat bilang ke dokter bahwa saya sesak napas sebelum perut saya dirobek. Tim dokter berusaha menenangkan saya, dan daya dibantu dengan oksigen. Tidak ada proses yang bisa saya rasakan, selain suara dokter dan alat-alat berdenting. Juga bunyi "beep" dari alat di ruang itu. Entah beberapa menit berlalu, saya mendengar tangis bayi.

Foto: dok. Achellia Erri

"Bayimu besar, Nduk," dokter mengangkat bayi saya, tapi saya tidak bisa melihat banyak, hanya sekilas. Entah ekspresi apa yang saya tunjukkan. Saya bahkan tidak bisa merasakan wajah saya.

"Ibunya senyum, dong," dokter yang memantau oksigen saya berkata. Oh, saya masih bisa senyum. Saya lega, sangat lega, rasanya ingin menangis bahagia.

Foto: dok. Achellia Erri

Malaikat kecil kami, AGATHA ARTHA YOSERRI SIMALANGO.

Lahir sehat dengan berat 3,95 Kg. Tangisnya besar, dan perawat begitu gemas melihatnya. Dia mungil. Suami saya tampak bahagia, begitu pula keluarga besar kami saat saya didorong, dipindahkan ke ruang perawatan. Saya melihat wajah-wajah itu, dan bersyukur untuk hadiah Tuhan untuk kami. Saya bahagia memiliki selulit, bekas luka caesar, payudara yang tumpah dan tidak cantik lagi, hahaha. Saya bangga saya menjadi ibu pada akhirnya. Perjuangan kami terbayar, lebih baik dari yang kami harapkan.

Saat ini saya merawat sendiri bayi saya. Dia tumbuh sempurna. Usianya 10 bulan, berat badannya 9 kilo, panjangnya 73 cm, dan giginya sudah 7. Dia sudah pandai mengunyah makanan, minum dari gelas. Mulai bisa berbicara sepatah kata. Mulai merambat, belajar berdiri dan berjalan. Saya bangga menjadi ibu.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading