Sukses

Lifestyle

Hukuman Kebiri: Saat HAM Bicara, Siapa Yang Lebih Tersiksa?

Polemik penerapan hukuman kebiri kepada pelaku kejahatan seksual masih saja bergulir hingga kini. Bahkan, polemik ini memunculkan pro kontra yang semakin seru saja.

Bagi yang mengatasnamakan hak asasi manusia, hukuman ini dianggap tidak manusiawi bahkan dianggap 'memainkan peran Tuhan' terhadap manusia lainnya, sekalipun manusia tersebut adalah penjahat. Bagi yang berempati kepada korban dan mengkhawatirkan keselamatan diri dan keluarganya di tengah - tengah trend kenaikan tingkat kejahatan, hal ini sudah sangat perlu untuk dilakukan hingga menimbulkan efek jera bagi lainnya. Namun akhirnya, Perppu telah terbit dan hukuman kebiripun sudah siap untuk diterapkan.

Suntikan kebiri | Foto: copyright thinkstockphotos.com

Tanpa melihat data statistik resmi pun, kita sebenarnya sudah dapat melihat dari banyaknya berita tentang kejahatan seksual di berbagai media yang terjadi di masyarakat. Setiap hari selalu muncul berita tentang pelecehan seksual, perkosaan hingga kejahatan pedofilia terhadap anak. Semakin hari, berita - berita tentang hal ini semakin gencar mengikuti jumlah dan frekuensi terjadinya yang memang semakin meninggi.

Bukan hanya terjadi di sudut - sudut perkotaan saja, namun juga di pelosok - pelosok desa. Modus dan caranyapun semakin beragam dan dilakukan oleh beragam usia dari pelakunya pula. Dari kakek - kakek lanjut usia, hingga remaja belia yang masih belasan tahun umurnya. Hingga membuat kita tak habis pikir, bagaimana ini bisa terjadi di masyarakat kita? Bahkan kadang hampir - hampir tak percaya bahwa yang melakukannya adalah manusia, yang berotak, berhati, memilliki logika dan rasa. Miris tapi nyata.

Mari berandai - andai, jika kebiri sudah dilakukan terhadap para penjahat seksual, dengan menyuntikkan obat kimia yang melemahkan hormon sifat kelaki - lakiannya dan menguatkan sisi kewanitaannya, lalu setelah menjalani hukuman kurungannya dilepas kembali ke habitatnya. Apa yang kira - kira bakal terjadi? Menjadi lemah lembutkah? Keibuankah? Ataukah menjadi jenis makhluk baru yang belum pernah kita temui sebelumnya? Mungkin bukan hanya seorang saja yang bertanya - tanya mengenai hal ini, namun seluruh anak negeri. Karena permasalahan ini telah menjadi bahasan penuh kerisauan para pemimpin di pemerintahan tertinggi, dengan melibatkan semua pihak yang terkait dan memiliki kepentingannya sendiri - sendiri. Dari Presiden hingga menteri, dari Komnas HAM hingga KPAI.

Namun sepertinya, polemik tentang manusiawi atau tidak manusiawi tak perlu diperpanjang lagi. Karena di saat - saat seperti ini, rasa - rasanya menghadapi sekelompok penjahat yang sudah kehilangan nurani, tak dibutuhkan lagi tenggang rasa dan empati. Karena toh mereka sudah memilih untuk berubah menjadi sejenis kelompok 'makhluk tersendiri'. Makhluk yang tidak memandang manusia sebagai manusia, namun sebagai obyek pelampiasan nafsu yang memuaskan diri sendiri. Yang memuja nafsu syahwati sembari secara pengecut melampiaskan angkara murkanya atas korbannya. Korban yang tak berdosa dan tak berdaya saat dihancurkan jiwa raganya dan rasa kemanusiaannya.

Kebiri yang dilakukan kepada mereka nanti, rasanya masih terlihat ringan dibandingkan apa yang mereka lakukan. Mengamputasi harga diri, memenggal-mental, memancung masa depan, bahkan beberapa pelaku tega untuk sekalian membawa serta nyawa para korbannya.

Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom
Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/

(vem/wnd)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading