Sukses

Lifestyle

Psikolog Menjawab: Kenapa Kita Kepo dengan Kisah Jennifer Dunn?

Kisah perempuan bernama Jennifer Dunn (Jedun) sepertinya sudah diketahui oleh seluruh masyarakat Indonesia. Kalau pun kamu tidak mengetahui detail kasus yang sedang menimpanya, paling tidak kamu tahu garis besar 'karir' Jedun dalam perkara kontroversial.

Mulai dari penangkapan dirinya karena narkoba di usia 15 tahun, menjalin kasih dengan pengacaranya yang sudah beristri, diberi barang mewah oleh politikus, kembali menjalin kasih dengan suami orang, dan akhirnya tertangkap lagi dalam kasus narkoba Minggu (31/12).

(Baca: Suami Direbut Jennifer Dunn, Ini Curhat Pilu Sang Istri Sah)

Penangkapannya yang terakhir disambut heboh di media sosial karena baru beberapa bulan sebelumnya dia dijambak dan dipukul oleh anak selingkuhannya --beberapa menyebut Jedun sudah menikah dengan pria yang bernama Faisal Haris itu. Lalu, mengapa netizen tertarik sekali dengan cerita soal Jedun?

(Baca: Please Papa Aku Ngga Minta Saham, Aku Cuma Butuh Perhatian)

Menurut psikolog Elizabeth Santosa ada kaitan antara kisah Jedun dengan netizen yang menyukai tren infotainment. Di mana masyarakat ini mengikuti segala bentuk infotainment dalam wujud sinetron, obrolan gosip, dan akhirnya terhanyut terbawa emosi.

"Para pembaca ini mengikuti kronologi kasus ini dari awal sampai akhir, sampai pada akhirnya mirip nonton telenovela dan ikut terbawa emosi," jelas Elizabeth saat berbincang dengan vemale.com, Kamis (4/1).

"Ada kesamaan antara para penonton telenovela dengan trending infotainment. Di lain pihak ada juga anggota masyarakat yang ngga peduli dengan semua ini," tambahnya.

Jennifer Dunn/Budi Santoso/Kapanlagi.com

Menyoal bully yang diterima oleh Jedun ketika ia tertangkap, dikatakan Elizabeth bahwa ini termasuk karakter masyarakat Indonesia yang kolektif dan ekspresif. Pemicunya berupa unggahan di media sosial yang menyentuh hati. Inilah sebabnya telenovela dan semua unggahan yang membuat terenyuh cenderung viral di negara macam Indonesia, Meksiko, Venezuela, atau pun Filipina.

"Apa pun yang mengunggah emosi secara intensif dan erat kaitannya akan berkembang dengan pesat. Sangat berbeda sekali dengan masyarakat di Eropa yang cenderung lebih logis," papar perempuan yang juga pengajar itu.

Lalu apakah kemudian kita tidak boleh berkomentar mengenai suatu kasus?

Memiliki pendapat akan suatu kejadian di media sosial adalah hal normal. Itu menunjukkan adanya empati netizen dalam suatu kasus --dalam hal ini Jedun. Namun demikian, empati juga harus diperketat jangan sampai celotehan dan cuitan kita dianggap menghakimi satu pihak.

"Apakah Jedun salah? Ya, dia salah! Tapi apakah dia juga korban bully? Ya, dia juga korban bully. Jika suatu saat dia memutuskan mengambil langkah hukum atas para pem-bully-nya, itu bisa saja," tutur Elizabeth.

Terakhir, Elizabeth menyarankan agar kita lebih bijak dalam menggunakan media sosial terutama dalam hal sekecil komentar. Pasalnya, kini semua rekam jejak kita sudah terpatri di dunia digital dan bakal memengaruhi hidup kita di masa depan nanti --entah dalam situasi dan kondisi tertentu.

"Apapun itu penilaian kita jangan sok tahu, jaga diri, jaga omongan, jaga update status. Apa pun yang kita komentari itu akan menjadi rekam jejak kita di dunia maya," tutupnya.

(vem/zzu)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading