Sukses

Lifestyle

Oka Mahendra, Chester Bennington dan Depresi yang Tak Seharusnya Membunuhmu

Remaja tanggung yang tumbuh di awal 2000an pasti tahu, atau setidaknya pernah dengar nama Chester Bennington. Kalaupun tak pernah, mereka pasti tak asing dengan lagu-lagu depresi Linkin Park dalam album Hybrid Theory. Jujur, telinga saya sendiri juga lebih akrab dengan nama Mke Shinoda ketimbang Chester Bennington.

Masih ingat teriakan Chester Bennington pada tiap lagu di album Hybrid Theory?/Copyright Burak Cingi/Redferns

Saya tidur cepat kemarin malam. Tremenza melumpuhkan titik sadar saya sebelum jam 10 malam. Dan pagi ini saya membuka mata disambut ratusan unread messages di aplikasi Whatsapp. Hampir semua grup membahas nama Chester Bennington, tentang kematiannya tepat di hari ulang tahun Chris Cornell yang juga bunuh diri dua bulan lalu.

Kamu yang penggemar Soundgarden, tentu kenal betul siapa Chris Cornell. Saya masih bayi procot saat band ini dibentuk di Seattle, Washington pada 1984. Pria itu juga, yang pegang kendali para fans Audioslave dari atas panggung dengan bernyanyi. Pria itu juga, yang bikin Chester begitu terpukul saat tahu kabar kematiannya.

Chris Cornell yang juga bunuh diri pada 18 Mei 2017/ Copyright Joe Papeo/REX/Shutterstock

Tak hanya menuliskan surat terbuka yang sangat mengharukan untuk sahabatnya itu, Chester juga menyanyikan lagu Hallelujah dengan penuh penghayatan di hari pemakaman Chris. Siapa sangka, bapak enam anak ini akhirnya memutuskan untuk menyusul sahabatnya dengan cara menggantung diri di rumahnya, di Palos Verdes Estates di Los Angeles, Amerika Serikat.

Apapun itu, yang pasti, pagi ini Chester sanggup melemparkan kami ke circa 2000 awal, di mana teman-teman masih sering membawakan lagu-lagu mereka di atas panggung saat festival band. Masa-masa cinta monyet. Yang juga jadi masa-masa terpuruk dalam hidup saya sepeninggal mbah kakung, sosok yang jadi ayah sejak kelahiran saya.

Depresi bisa saja berbuah mengerikan, seperti terjadinya bunuh diri./Copyright Shutterstock

Depresi memang tak pernah ada dalam kamus kehidupan saya, walau pernah terlintas keinginan-keinginan untuk mengakhiri hidup, saat usia saya masih remaja labil. Terpaksa sekolah di tempat yang bukan keinginan saya, terpaksa pula mengubah gaya hidup yang tadinya hura-hura, makin dijauhi teman-teman yang dulu sering datang bawa mobil ke rumah.

Bagi saya, kala itu, hal-hal receh semacam yang saya sebut itu terasa sangat vital. Shock ditinggal mbah kakung yang selama 15 tahun jadi supporter paling loyal dalam hidup saya, sumber kekuatan lahir pun batin. Ditinggalkan teman-teman, tak lagi bisa jadi yang pertama punya barang-barang yang sedang trend, semua bikin saya sedih.

Naif memang. Saya-yang-sekarang pasti bakal benci jika melihat saya-yang-dulu. Lebay. Drama. Baperan. Mungkin itu kata-kata yang bakal saya-yang-sekarang teriakkan tepat di telinga saya-yang-dulu. Namun di balik itu semua, saya-yang-sekarang adalah saya yang bersyukur harus dan berhasil melewati titik terpuruk tersebut. Titik balik dalam hidup saya.

Jangan larut dalam depresi, cobalah untuk mulai bangkit berdiri./Copyrigth Shutterstock

Tentang depresi, tanpa mengurangi rasa simpati pada teman-teman yang mungkin mengalaminya, saya secara pribadi masih belum bisa memahami kenapa mereka harus melakukan hal sebodoh bunuh diri. Sekali lagi, tanpa mengurangi rasa simpati pada teman-teman yang mungkin mengalaminya, apa tidak lebih baik kita mulai selalu berpikir positif saja?

Diawali dengan selalu bersyukur atas apa yang kita dapat, efeknya bakal ke perasaan yang pada akhirnya selalu senang dan bahagia. Ya, saya tahu, hidup bukan semudah mulut Mario Teguh dengan kata-kata bijaknya, tapi setidaknya saya telah membuktikan sendiri bahwa legowo adalah kunci. Segalanya berangsur membaik sejak saya memutuskan 'berserah'.

Sepanjang 2016 adalah tahun terbaik saya. Pendakian gunung pertama saya, mencoba banyak hal-hal baru, dan menikmati hidup dengan melakukan apapun yang saya inginkan. Awal tahun itulah saya mulai belajar untuk tidak mendengar hal-hal negatif dari orang lain, tidak peduli pada penilaian orang tentang saya, tidak berekspektasi.

Depresi memang nyata adanya. Akibat yang ditimbulkan pun mengerikan. Seperti apa yang dialami Chester Bennington ini, atau juga Oka Mahendra, mantan pacar Awkarin yang dua hari lalu sempat dikabarkan bunuh diri karena terlilit hutang. Depresi bisa menyerang siapapun, dan bunuh diri tak selalu dilakukan mereka yang sehari-harinya hidup kelam.

Kita memang tak bisa menyalahkan mereka yang mengalami depresi. Tak juga bisa menyuruh mereka berhenti meratap. Namun kita bisa bantu mendengarkan keluh kesah mereka, atau memberi perhatian spesial bagi orang-orang dalam keadaan tertekan dan berbeban berat. Kita bisa langsung datang saat ada teman yang membutuhkan kita, sebelum terlambat.

Mungkin saya yang terlampau skeptis ini harus belajar untuk mulai percaya jika ada orang-orang terdekat yang mengalami depresi dan membutuhkan saya untuk ada di sampingnya. Mungkin saya yang tak pernah suka mengurus kehidupan orang lain ini juga harus belajar untuk lebih perhatian dan peduli pada orang-orang di sekitar saya.

Well, sebelum itu semua, ada baiknya saya memberi saran buat mereka, orang-orang di sekitar saya yang mungkin mengalami depresi. Mulailah menyeimbangkan hidup, berbagi cerita dengan orang yang kamu percaya, belajarlah untuk mandiri (ini penting) agar kamu tak merasa sendirian dan kurang perhatian, sibukkan diri, dan kurangi ekspektasi.

(Baca Juga: Tidak Perlu Galau, Atasi Depresi dengan Cara Ini)

Jangan jadikan sosok-sosok seperti Chester Bennington, Chris Cornell, Oka Mahendra (mungkin), atau selebriti favorit kalian yang sudah bunuh diri, sebagai excuse untuk kalian juga bisa melakukannya. Jangan jadikan hal-hal tidak menyenangkan yang terjadi dalam hidup kalian sebagai excuse untuk menjadi sosok yang depresi.

Just keep it simple, ladies. Keep it simple in all our way.

(vem/dew)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading