Sukses

Lifestyle

Mariana Amiruddin ''Kesetaraan Adalah Keseimbangan''

Oleh: Asteria Eleanda

Hari masih pagi ketika GH Indonesia tiba di kantor Jurnal Perempuan (JP). Sang direktur eksekutif, Mariana Amiruddin (35) baru saja selesai sarapan. Bergaun batik dilengkapi sepatu flats dengan wajah bebas riasan. Meski awalnya sempat terkesan agak gugup, ia sangat kooperatif saat sesi pemotretan berlangsung, yang lalu disambung wawancara di salah satu ruangan rumah yang disulap menjadi kantor itu. Pembicaraan kami pun mengalir ‘panas’, namun tak sekali pun ia terbawa emosi saat mengungkapkan pendapat-pendapatnya. [initial]

Source: GoodHouseKeeping, Edisi November 2012, Halaman 51

(GH/yel)

Memahami Feminisme Secara Benar

 

KEBEBASAN Tak Mungkin Kebablasan

Mariana tertawa ketika kami bertanya mengapa feminisme masih dipandang orang sebagai konsep yang mengerikan. “Mestinya mereka bertanya pada orang yang benar. Saya sendiri belajar feminisme di tingkat pasca sarjana UI. Kalau tidak ada referensi saya juga tidak mengerti. Belajar feminisme membuat saya tersindir. Pikiran saya tentang diri sendiri jadi terbuka. Setelah itu saya ingin mengajak orang untuk mengerti dan maju bersama saya dan JP,” katanya.

Feminisme diartikan negatif?

Ya, salah satunya sebagai kebebasan yang kebablasan. Pada hal kebebasan nggak mungkin kebablasan. Kebebasan itu kemerdekaan, pasti jelas batasnya, pasti sampai di satu titik. Saya dan JP menyebutnya kesetaraan. Lebih dari itu artinya menindas, dan menindas adalah kesalahan. Kalau orang masih menindas tandanya belum bebas. Makna kata kebebasan itu yang disalahartikan.

Jadi bagaimana memahami feminisme secara benar?

Membuat hubungan laki-laki dan perempuan seimbang, balanced. Kalau ada yang nggak balanced, pasti ada yang dirugikan. Laki-laki banyak yang depresi karena dituntut menjadi superman. Itu diskriminasi. Jadi jika seorang laki-laki tidak punya pekerjaan akibat krisis, tidak perlu dituntut jadi penopang rumah tangga. Kalau hal itu tidak dipahami, laki-laki akan terus merasa diserang perempuan, jadi konflik yang tidak pernah selesai.

Sebenarnya apa akar masalahnya?

Secara umum perempuan sepakat kita harus maju. Tapi perdebatannya maju seperti apa? Perempuan selalu dibenturkan antara rumah dengan karier. Seolah-olah itu dua hal yang berseberangan. Beban ganda. Perempuan seringkali tidak satu suara, antara kodrat dan apa yang sebenarnya mereka inginkan.

Bukankah seharusnya bisa diekspresikan?

Ya, tapi kebanyakan perempuan tidak tahu keinginannya apa. Seringnya: “Saya mau anak saya sekolah tinggi.” Atau “Saya mau suami saya sukses.” Tetapi dia tak pernah bilang dia sendiri maunya apa. Sehingga untuk maju mereka nggak punya gambaran apa-apa. Maju itu apa? Berdaya itu apa?

Mengapa selalu orang lain yang disebut?

Karena kebanyakan perempuan hanya tahu ia bertanggung jawab, punya kewajiban. Sebagai ibu, istri, anak gadis. Tapi untuk bilang ingin apa, sulit. Itu yang bisa menyatukan perempuan. Saling menguatkan. Sebab upaya menerjemahkan kehidupan perempuan banyak lahir bukan dari perempuan itu sendiri. Misal UU Perkawinan yang mestinya melibatkan perempuan, tapi sama sekali tidak dilibatkann. Jadi perempuan mandul dianggap cacat dan suami berhak menceraikan. Laki-laki selalu dilibatkan dalam diskusi ekonomi. Padahal perempuan selalu didorong untuk belanja. Kita itu agen ekonomi tapi tidak pernah diajak ngobrol.

Jadi akar masalahnya adalah kultur?

Ya, misalnya dalam perkawinan, perempuan (diposisikan sebagai pendamping). Sayangnya, hal itu dibenarkan oleh perempuan itu sendiri. Bisa jadi perempuan merasa tidak nyaman, tapi memilih menjalankan yang benar menurut orang lain. Dan itu akan membuat perempuan merasa dihargai.

 

Dilema Perempuan Karier


DILEMA Perempuan Karier

Mariana menyeka keringat dari dahinya. Ia kembali mengungkapkan contoh. Definisi masyarakat tentang ibu yang baik adalah ibu rumah tangga purna waktu. Ibu bekerja disebut egois. Maka ia akan dikondisikan untuk merasa bersalah seumur hidupnya. Tidak total dalam keduanya. Di satu sisi, ia takut dibilang bukan pekerja yang baik, di sisi lain takut dibilang bukan ibu yang baik. Dilema abadi.

Sampai kapan kondisi ini akan terjadi?

Selama perempuan tidak jujur tentang apa yang ia inginkan. Seringkali terjadi “Saya maunya A tapi yang kamu bilang bagus B, saya ikut B saja walau saya nggak suka.” Kita selalu kompromi padahal nggak bahagia. Misalnya perempuan dipukul. Tapi masih bilang, “Nggak apa-apa, yang penting dia masih mencintai saya, masih menafkahi saya.” Itu mengerikan.

Fakta apa lagi yang ingin Anda sampaikan?

Perempuan yang bekerja dianggap perempuan egois. Padahal suaminya tak bekerja akibat krisis. Kalau pun keduanya bekerja, faktanya perempuan banyak menggunakan penghasilannya untuk keluarga. Bahkan, banyak perempuan yang menyisihkan penghasilan untuk biaya suaminya sekolah lagi, agar kariernya lebih maju. Kalau demikian, masih mau menganggap perempuan bekerja egois?

Solusi bagaimana?

Bangkitlah kesadaran perempuan, apa yang mereka inginkan. Tumbuhkan rasa percaya dirinya, baru membuat perencanaan hidup.

Bagaimana menyadarkan perempuan bahwa mereka butuh kesetaraan?

Memang sulit. Tapi analogi ‘tidak merasa sakit jadi tidak butuh penyembuhan’ bisa jadi karena syarafnya tidak berfungsi lagi. Dalam ilmu kejiwaan, mungkin orang sakit tidak merasa sakit. Akhirnya kita memang bicara tentang alam bawah sadar. Saat bicara tentang pemulihan dan soal kesadaran, JP selalu bicara soal itu. Seperti pembunuh bayaran bisa tega membunuh, perempuan juga tega pada dirinya. Tidak paham bahwa itu sakit. Dalam aliran feminisme yang ‘meminjam’ teori psikoanalisa Sigmund Freud disebutkan, lebih banyak perempuan mengalami neurosis dibandingkan laki-laki.

Apa penyebabnya?

Karena benturan antara keinginan masyarakat dan keinginan perempuan yang tidak bisa menyatu. Sementara laki-laki, apa yang diminta masyarakat memang dia suka karena lebih dihargai. Perempuan mengalami sakit hati, sehingga bentuknya bisa neurosis, masokis, atau histeria. Bentuk neurosis macam-macam, misalnya perempuan yang melakukan operasi plastik, atau tidak pernah puas soal kecantikan, tidak tahu batas cantiknya sampai mana. Tidak tahu siapa diri mereka, seperti hilang. Contoh lain, banyak perempuan yang mengalami queen bee syndrome. Bersaing luar biasa serta bersikap represif dengan (dan terhadap) perempuan lain. Sebab ia sulit sekali mencapai posisi itu akibat budaya patriarki. Itu histeria.

Apakah tak bisa dibahas di berbagai ajang sharing dan komunitas?

Dibahas, tapi keluarnya denial juga, akhirnya berbenturan lagi. Banyak perempuan yang mengambil risiko berkompromi pada nilai-nilai yang dilekatkan pada perempuan oleh masyarakat. Mau nggak mau sepakat karena itulah cara yang paling aman. Pokoknya yang penting orang tidak menilai buruk, meskipun dalam hati dia tahu itu tidak buruk.

Bagaimana dengan perempuan yang punya bargaining power tinggi?

Banyak perempuan yang punya power besar tapi memilih mempertahankan status quo harus dia pegang kuat dengan cara memberi pencitraan yang cocok dengan penilaian masyarakat. Misalnya saat sidang tuduhan koruptor, memakai baju tertentu, karena dia tidak mau direbut statusnya. Sekali direbut sulit mencapai itu karena mereka perempuan. Kalau laki-laki, masih banyak pintu untuk bersaing kembali.

Pendidikan tinggi tidak menolong?

Itu sekedar gelar. Tapi hidupnya digerakkan oleh orang lain. Besar kecilnya bargaining power ditentukan oleh kepercayaan diri. Titik. Bahwa dia bisa menghadapi kenyataan, bukan karena punya pendidikan tinggi, harta, atau jabatan.

Sulit sekalilah posisi perempuan di ruang publik?

Ya, karena identitasnya sebagai perempuan melekat dan jadi bulan-bulanan, makanya perempuan (harus) sangat berhati-hati di ruang publik. Seperti menjaga keperawanan, sekali sobek dia tidak dihargai. Sekali lagi, itu mengerikan.

Konsep Pernikahan


MENIKAH dengan Pekerjaan

Mariana menyebut hari-harinya menyenangkan. Ia mengaku tak punya konsep kepemimpinan dalam memimpin JP. Menurutnya, sangat mudah mengatur deadline pekerjaan, karena semua sudah teratur. Orang-orang yang bekerja di JP disebutnya ‘orang-orang gila’ yang idealis, yang menganggap tidak ada yang tidak mungkin. Jika tak sedang memainkan piano atau mengalunkan The Swan karya C.Saint-Saens, ia menyetir. Suatu kali ia bisa berada di antara para buruh di Cikarang, yang sedang istirahat, berbincang santai dengan mereka di warung kopi.

Apa konsep pernikahan yang Anda jalani sejak 2006?

Saya dan suami punya wilayah, tidak boleh mengganggu diri kami masing-masing untuk berkembang.

Bagaimana soal kesetaraan?

Kami sepakat soal egaliterian. Kami saling membantu. Soal uang kami terbuka dan saling membantu yang sedang butuh dibantu. Saya juga mandiri. Saya tertawa kalau mendengar perempuan yang mengandalkan suami saat mobilnya mogok. Mobil dia, yang pakai dia, kenapa harus suami yang mengurus? Mestinya kita bisa melakukan apa saja. Kalau suami mau membantu, itu urusan lain.

Soal pihak ketiga, bagaimana Anda memandangnya?

Tak bisa dilihat hitam-putih. Jika salah satu berterus terang sudah tidak cocok dan mencintai orang lain, itu lebih fair. Tapi orang ketiga bisa saja dari keluarga besar. Itu lebih sulit.

Pernikahan Anda bisa disebut bahagia?

Saya tidak memungkiri saya punya masalah. Tapi karena saya berdaya, saya harus bisa merumuskan apa yang bisa membuat saya selamat dan bahagia.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading