Sukses

Lifestyle

Karena Tahu Ribetnya Menikah, Diajak Tunangan Malah Sempat Minta Pisah

Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.

***

Saya seorang wanita single berusia 24 tahun. Saya seorang dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Palembang. Sudah biasa menjadi yang paling muda baik dalam keluarga maupun lingkungan kerja. Ibu dan Ayah keduanya enam bersaudara. Ibu anak ke-4, Ayah juga begitu. Otomatis dari silsilah keluarga saya biasa di-adik-kan.

Di kampus juga menjadi dosen paling muda. Sekalipun paling muda tapi menjadi tempat favorit untuk bercerita. Terutama tentang rumah tangga sesama kawan dosen. Perihal dengan suaminya, anak-anaknya, keintiman, tanggung jawab, persoalan keuangan dan masih banyak lagi. Hal-hal demikian membuat saya berimajinasi jauh tentang pernikahan dan perjalanan hidup setelahnya. “Ribet, yak!” satu kalimat simpel yang keluar dari mulut saya ternyata memberikan efek besar pada saya kemudian.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Selain di lingkungan kantor, saya juga biasa dipercaya mengatur acara-acara keluarga di rumah termasuk mengatur acara pernikahan dan pernak-perniknya. Ada banyak hal dan benar-benar menguras tenaga dan emosi. Keluar lagi kalimat yang sama, “Ribet, yak!”

Belum lagi ditambah dengan stigma masyarakat tentang wanita dengan pendidikan tinggi dan pekerjaan mapan. Anak dan suami tidak terurus dan kurang perhatian. Wanita yang berpenghasilan lebih tinggi dari suami dan tidak menghargai suami. Apesnya, hal ini pernah menjadi salah satu bahasan cerita saya dengan teman sekantor. Hubungan beliau harus berakhir dengan alasan tersebut. Makin suram lah pandangan saya tentang pernikahan.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Satu hal yang sangat mempengaruhi saya adalah ketika Papa sempat tinggal serumah dengan saya selama tiga bulan. Menyiapkan sarapan, mencuci baju, membereskan rumah, belanja. Hal yang selama ini tidak pernah saya lakukan. Sejak lulus SMA saya tinggal sendiri, baik ngekos ataupun sesudah saya bekerja. Totalnya sudah 8 tahun saya terbiasa hidup sendiri. Dalam kurun waktu tiga bulan saya bisa menyimpulkan kalau menikah itu memang ribet. Bangun lebih pagi dari biasanya, harus sudah siap segalanya, bersih semuanya. Itu baru dengan Papa, bukan suami sendiri.

Pemikiran-pemikiran seperti itu sempat mempengaruhi hubungan saya dengan kekasih saya. Pada saat yang sama kekasih saya menyatakan keinginannya untuk menikahi saya setidak-tidaknya tahun depan. Saya sempat frustasi karena merasa belum siap dan bahkan tidak siap. Bagi saya keputusan untuk menikah itu bukan perkara main-main.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Saya justru sempat ingin meminta perpisahan karena merasa tidak dapat menerima ajakan menikah kekasih saya. Untungnya kekasih saya begitu terbuka untuk mendengarkan alasan saya untuk mengakhiri hubungan. Hingga terbacalah ketakutan-ketakutan saya terhadap pernikahan. Puji Tuhan keterbukaan saya kepada kekasih saya membuka jalan yang baru. Beliau berhasil meyakinkan saya mematahkan semua pikiran buruk saya bahwa ada pernikahan yang baik-baik saja, yang bahagia.

Sekarang saya dalam persiapan pertunangan dan berencana menikah tahun depan.




(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading