Sukses

Lifestyle

Pernikahan Sempat Dibatalkan karena Merasa Salah Langkah

Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.

***

Pulang ke kampung halaman menghabiskan masa libur kerja selalu membuatku gelisah. Ingin pulang karena rindu, tapi malas diceramahi dan dikasih pertanyaan yang selalu muncul buat orang-orang yang sudah mapan secara finansial, tetapi masih enjoy dengan kesendirian. “Kapan nikah?” adalah sebuah pertanyaan yang sulit kujawab. Apalagi kalau kalimat itu muncul dari laki-laki idamanku, my first love.

Laki-laki itu kupanggil Bapak. Bapak begitu khawatir ketika beliau tahu aku belum ada niatan menikah apalagi usiaku sudah lewat 25 tahun. Hal ini juga membuatku juga ikutan takut dan deg-degan karena ada mitos yang sudah beranak cucu di dalam keluarga kami. Seorang anak perawan alias gadis harus sudah menikah di usia 25. Tetapi, rasa rindu mengalahkan ketakutan.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Di perjalanan pulang menuju dekapan mama dan Bapakku, aku berkenalan dengan seorang pria yang ternyata adalah teman se-SMP walaupun waktu di sekolah dulu tidak begitu saling mengenal. Tetapi, karena wajahku yang familier, dia memberanikan diri menyapaku di ruang tunggu. Tentu saja, hal ini membuatku merasa senang. Ternyata, diam-diam ada yang memperhatikanku sewaktu SMP. Akhirnya dari awal pertemuan kami itu, hubungan terus berlanjut sampai kami memutuskan untuk menikah. Butuh waktu yang cukup lama juga untuk menetapkan hati. Butuh 3 tahun.

Di usiaku yang ke-28, aku baru menyampaikan rencana menikah kepada keluarga. Tentu saja hal ini disambut bahagia oleh Bapak. Begitu Bapak tahu tentang hal ini, dia sibuk mempersiapkan segala sesuatunya dengan memberikan pertanyaan tentunya kepadaku. Dan aku dengan tenangnya menjawab bahwa segala yang berhubungan dengan persiapan kami, termasuk baju, cincin, acara resepsi di tempat perantauan sudah aman, hanya tinggal adat yang akan dilaksanakan di kampung nantinya.

Bapak begitu senang sekaligus sedih mendengarnya. Untuk pertama kalinya, saya melihat dan mendengar Bapak menangis. Maklum, kedua kakakku menikah di usia yang belum mencapai 25 tahun. Eh... atau Bapak menangis karena aku akan menikah sehingga tidak ada lagi yang akan ditodong lagi dengan pertanyaan, “Kapan nikah?"

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Tetapi, persiapan yang kukatakan sudah aman ternyata berbeda dengan kenyataan. Beberapa kali fitting, ukurannya selalu berubah dengan berbagai alasan dari penjahitnya. Cincin yang sudah dipesan kekecilan. Foto prewedding yang tak kesampaian karena kesibukan calon suami yang alasannya sibuk menyelesaikan pekerjaan sebelum ambil cuti. Tentunya hal ini membuatku naik pitam, karena pernikahan buatku hanya sekali seumur hidup pastinya mau sempurna. Yang anehnya, calon suamiku ini tidak suka dengan sikapku yang katanya berubah total.

Aku tidak terima. Aku merasa hanya aku yang berusaha memikirkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam mempersiapkan pernikahan ini. Dia tidak terima. Hal ini membuat kami memutuskan bahwa kami telah salah ambil langkah. Pernikahan akhirnya kami batalkan. Akhirnya, aku mengakui bahwa mitos di keluarga kami ini bukan mitos belaka, tetapi sebuah fakta yang perlu diperhatikan.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Di tengah keputusasaan kandasnya rencana pernikahanku, tak pernah kusangka bahwa mantan calon pengantinku datang kembali kepadaku. Tentunya, tak semudah telapak tangan menghilangkan rasa sakit, kesal, amarah, dan benci kepadanya. Caci maki pun tak terelakkan keluar dari mulutku. Kata-kata yang menyakitkan pun bahkan tak terhitung banyaknya menusuk hatinya. Tetapi dengan perjuangannya, kembali hatiku yang belum sepenuhnya membencinya malahan sebaliknya masih sangat mencintainya pun menginginkan kembali bersamanya.

Tentunya kami mulai berkomitmen bahwa segala sesuatu yang terjadi di kemudian hari harus dikomunikasikan dengan kepala dingin. Akhirnya, 6 Januari 2016 merupakan hari yang telah kami tetapkan sebagai hari sakral pernikahan kami terwujud sudah. Pernikahan kami berjalan dengan cukup meriah dengan adat yang cukup melelahkan. Perjuangan selama satu tahun sebelum hari pernikahan terbayar sudah.




(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading