Sukses

Lifestyle

Lika-Liku Menuju Pernikahanku: Mama Nekat Utang dari Bank demi Ambisinya

Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.

***

Januari, 2018

Waktu yang di mana Tuhan telah persiapkan untuk sebuah “history” dalam hidupku. Aku bersyukur, Tuhan mengabulkan doaku secara tepat. Betapa tidak, tepat di usia 25 tahun aku direstui untuk mendapatkan jodoh dan akhirnya bersanding di pelaminan. Tetapi, sesungguhnya ada sebuah lika-liku dalam perjalanan menuju pernikahan.

Aku rasa, bukan aku saja yang mengalami godaan di sesi menuju pernikahan, semua orang pasti mengalaminya. Ah tapi sekarang aku baru sadar bahwa inilah cara Tuhan merangkai cerita indah untuk semua insan. Kakekku pernah berkata, “Sudahlah, jangan ditangisi. Air mata yang jatuh dalam kesedihan, kelak, nanti akan menjadi sebuah guyonan cerita kepada anak-anakmu saat mereka mendengar kisah mama papanya!”

Baiklah. Aku akan membagikan kisahku!

Awalnya pernikahanku dengan suamiku tidak disetujui oleh mama. Yang aku ketahui, alasan mama tidak menyetujui pernikahanku adalah berbagai faktor. Pertama, mama masih trauma karena pernikahan mama kandas dua kali. Kedua, mama masih berat dan menginginkan aku mencari pendamping lain dan juga karier cemerlang. Ketiga, mama berat karena suamiku bukan dari pegawai negeri ataupun jabatan lainnya. Maklum, suamiku tukang servis laptop dan karyawan yang gajinya standar UMR Kota Bandung dan bukan sarjana. Sedangkan aku sarjana.

Aku mengerti maksud mama mungkin ia takut anaknya mengalami hal serupa dengan dirinya. Tapi, ketika jiwa ini sudah sinkron dengan pasangan, apakah dapat membohongi rasa dan jiwa? Mungkin sebagian menganggap alasanku ini alasan klasik dua insan yang mabuk asmara. Aku sering ribut dengan mama hanya karena hal sepele, intinya mamaku tidak setuju dengan suamiku.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Sebelumnya, di tahun 2016 bulan Juni aku dan suami sudah melaksanakan tunangan. Dikarenakan saat tunangan, aku masih kuliah tahap akhir (skripsi), mama berjanji akan menikahkanku setelah lulus sidang, sekitar bulan November 2017 yang akan datang. Aku pun akhirnya lulus di bulan November 2016. Sesuai janji mama yang akan menikahkanku setelah lulus sidang, maka suamiku nekat untuk bertanya pada mama akan rencana pernikahanku.

Ketika itu, suamiku datang mengunjungiku ke rumah, sekalian bertemu dengan mama. Dengan hati yang berdebar, dan tingkah yang grogi terlihat dari raut waja nya, ia memberanikan diri untuk jenjang selanjutnya menuju pernikahan kami. Mama memberikan janji kembali.

Kata mama, ia akan menikahkanku apabila aku sudah wisuda. Aku tahu mama membuat janji itu sebenarnya untuk mengulur waktu dan membatalkan rencana ini, aku bisa merasakannya. Tapi mama tetap keukeuh memberikan janji menikah di bulan November 2017.
 
Juli, 2017
Suamiku berniat untuk menemui mama lagi, untuk kepastian pernikahan kami sebab waktu sudah bulan Juli sedangkan mama menjanjikan menikah bulan November 2017. Semula, suami berencana untuk datang beserta kedua orangtuanya. Entah mengapa ketika itu suamiku mendapat firasat buruk, ia mengurungkan niatnya membawa kedua orangtuanya. Ia bercerita akan firasat tidak enaknya kepadaku. Aku memakluminya.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Tibalah suami di rumah. Dengan sikapnya yang cemas dan wajah yang gugup, suamiku akhirnya menghadap mama dan menanyakan perihal kelanjutan pernikahan kami. Saat itu, matahari di luar sangat terik. Firasat suamiku benar! Ia mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan dari mama. Mama, yang sifatnya “mood-mood an” saat ditanya hal seperti itu langsung naik emosinya, mama langsung meledak emosinya dan terlihat mama mengungkapan isi hatinya yang dipendam.

“Pokoknya saya mengundurkan untuk menikahkan kalian!” kata mama dengan nada sangat keras dan jari tangan kanan yang menunjuk tepat ke arah mata suamiku.
“Maaf Bu, tapi Ibu kan janji akan menikahi kami setelah Putri lulus sidang dan wisuda, dan Ibu juga janji untuk menikahkan kami di bulan November. Sedangkan sekarang sudah bulan Agustus. Maksud saya, supaya saya mempersiapkannya, Bu!” ucap suamiku dengan nada gugup dan wajah yang tegang.
“Pokoknya, diundur! Biar Putri berkarier dulu, jangan sekali-kali bahas kawin! Pokoknya mulai detik ini jangan bahas kawin lagi di depan saya!” kata mama sembari membanting pintu.

Suamiku, terlihat kecewa, sakit hati pastinya, pantas saja ia punya firasat buruk dan untungnya ia tidak membawa kedua orangtuanya. Terbayang, pasti kedua orangtuanya tidak terima anaknya diperlakukan kasar oleh mama. Sedih rasanya hatiku, tak kusangka mama sekasar itu padanya. Padahal jika mama belum merestui bisa menggunakan bahasa dan penyampaian yang lebih sopan. Aku kecewa padanya. Sejak kejadian itu aku tidak diajak ngobrol oleh mama sampai seminggu lebih lamanya. Mama seakan memusuhiku. Tetapi, semenjak kejadian itu aku dan suami sepakat tidak membahas pernikahan di depan mama.

Keluargaku yang lain turut mencemaskan akan hal ini. Mendengar pertikaian mama dan suamiku kemarin membuat keluargaku dari pihak mama turut membantuku memberikan solusi dan jalan permasalahan. Kudengar dari adik kakekku, mama bercerita bahwa ia masih tidak siap mengantarkan putrinya ke pelaminan, juga mama masih dilanda ketakutan yang amat mendalam takut rumah tanggaku sama seperti mama, juga mama ingin gelar pesta penikahan yang cukup meriah, padahal ia tahu bahwa suamiku tak mampu untuk gelar pesta meriah, demikian yang di sampaikan adik kakekku kepadaku.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Awal Desember 2017
Hingga suatu hari bibi dari adik mamaku cemas, lantas ia mengajakku, mama, dan adikku untuk mengunjungi sesepuh (orang yang dituakan), kami bermaksud mencari solusi bagaimana jalan keluarnya. Dalam kehidupan masyarakat di perkampungan, pasti selalu ada sesepuh sebagai orang panutan dan orang bijaksana yang berpengalaman banyak. Aku salut, bibiku berhasil meyakinkan mama yang keras kepala hingga pada akhirnya mama mau dibawa ke sesepuh itu.

Pak Haji, sebutan kami pada sesepuh itu. Meskipun, ia sangat tidak senang dengan sebutan itu. Tapi, entahlah kami selalu keceletot menyebutnya. Untungnya ia tidak tersinggung dengan kami. Sesampainya kami di rumahnya, seperti biasa kami mengobrol ngalor-ngidul dengannya. Sampai, akhirnya setelah mengobrol panjang kali lebar dengan Pak Haji, bibiku memberanikan membuka suara terkait pernikahan ku dan suami.

Oh ya, sebenarnya Pak Haji ini mempunyai insting yang sangat peka. Tak heran, banyak masyarakat yang minta pendapat dan solusi padanya. Setelah, bibiku bicara pada Pak Haji, kemudian mama pun berani membuka suara dan pendapatnya. Pak Haji hanya mengangguk-angguk sambil memejamkan matanya.

“Neng, Punten, siapa nama neng dan calon suami serta tanggal lahirnya?” tanya Pak Haji kepadaku. Lantas aku pun memberitahukan nya. Pak Haji mengangguk-angguk. Kepalanya di bungkukan kebawah, mulutnya bertasbih. Lama ia memjamkan matanya selama hampir 15 menit. Kami menunggunya dengan resah dan penasaran.

“Bu, Punten, cepat-cepat saja si Neng dinikahkan, sudah waktunya. Tapi, Bapak pesen nikahnya secara sederhana saja Bu," kata Pak Haji kepada mama. Mama mengernyitkan dahinya, seraya ia bingung dengan pernyataan Pak Haji.

“Punten semua, Bapak bukan mendahului Allah. Tetapi, Bapak mendapatkan gambaran untuk si Neng, kalau waktu yang tepat untuk si Neng nikah Januari 2018, tetapi nikahnya sederhana ya Neng, Bu!” sambung Pak Haji. Aku sangat menangkap sekali dengan pernyataan haji, dan aku yakin Pak Haji bisa membaca pikiranku dan mama.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Semuanya terkejut mendengar pernyataan Pak Haji yang menyarankan nikah bulan Januari 2018, sedangkan sekarang sudah Desember 2017.

“Punten Pak Haji, maksudnya gimana?” tanya mama penasaran.
“Bu, maaf, saran saya, buat menikahkan si Neng jangan gelar pesta mewah. Karena justru akan menambah masalah baru buat Ibu. Cukup akadnya saja, atau kalau tidak di bulan Januari 2018 akadnya dulu, resepsinya menyusul. Bulan itu, Insya Allah bulan yang tepat untuk Neng dan calon suami ya. Insya Allah ada rezekinya di bulan itu, tapi tetap secara sederhana," ucap Pak Haji menjelaskan.

“Tapi, masa Pak Haji, anak saya nggak di resepsikan. Saya mah pengen nya diresepsikan bukti sayang orangtua ke anak. Masak saya dulu waktu nikah di resepsikan sedangkan anak saya tidak diresepsikan?” ucap mama dengan raut wajah yang kecewa.
Pak Haji tersenyum, ia tahu apa yang dipikirkan dalam benak mama.

“Lebih baik, Ibu tidak memaksakan kehendak. Yang Bapak rasa, punten, Ibu juga saat ini kondisi sedang kritis keuangan. Bu, saya juga menikahkan anak secara sederhana tidak mewah. Dua hal yang paling utama dalam menikah adalah keselamatan dan keberkahaan. Menikah secara sederhana bukan berarti menikah diam-diam, cukup dengan mengundang kerabat, tetangga, dan sahabat sudah lebih dari cukup. Apalah arti pernikahan mewah tetapi tidak selamat. Pesta pernikahan mewah jelas bukan tolak ukur keberhasilan rumah tangga, apalagi jika sampai nekat meminjam hutang dengan nominal ratusan juta hanya untuk menggelar pesta pernikahan saja. Lebih baik dananya dipakai untuk membekali anak rumah tangga, itu jauh sangat berharga ketimbang pesta mewah!” kata Pak Haji memberikan pencerahan pada mama.

“Satu hal yang harus ibu terima, kebagjaan (kebahagiaan lahir bathin) si Neng, justru berawal dari hal yang kita anggap rendah, tapi justru itu kebaikan buatnya!”

Aku menatap wajah mama, wajahnya diliputi rasa kesedihan. Ia mengangguk, lantas ia menyetujui nasihat dari Pak Haji. Lantas, mama menangis, ia mengiyakan kondisi saat ini. Aku sangat bersyukur sekali pada Pak Haji yang telah menjadi pembuka dan penyambung lidahku pada mama. Aku sedari dulu juga meminta pada mama untuk menikahkan dengan sederhana saja, mengingat aku kerja belum tetap dan suami mampu seadanya, namun, mama bersikeras untuk menggelar pesta katanya malu kalau tidak digelar pesta.

Hal itu yang membuat aku dan mama selalu berselisih paham. Mama selama ini menganggap aku berpihak pada keluarga suami, padahal aku tidak memihak siapapun. Aku netral, justru aku mengerti dengan keadaan. Karena hal ini aku sering sekali dimusuhi mama.

Mama banyak dinasihati oleh Pak Haji. Aku sangat lega akhirnya mama mendapatkan pencerahan. Bibi dan Adikku juga sangat lega melihat respon mama yang tercerahkan oleh Pak Haji. Panjang sekali Pak Haji memberikan nasihat dan solusi pada mama. Sampai mama menyetujui untuk menikahkanku di bulan januari 2018. Intinya pesan Pak Haji adalah mama jangan terlalu kelewatan dalam bersikap dan mengambil resiko, Pak Haji tahu mama berniat berhutang besar kepada Bank untuk mempersiapkan pernikahanku.

Nasihat Pak Haji banyak menampar kesadaran mama, Pak Haji tahu di balik ambisi mama untuk menggelar pesta resepsi pernikahanku ada unsur ingin menunjukan “kemampuan” pada pihak keluarga suamiku yang tidak mampu menikahkan anak dengan resepsi pernikahan. Sebenarnya pihak suami bukan tidak mampu, akan tetapi mereka terlalu sederhana dan apa adanya, prinsip hidupnya tidak mau berutang.

Sejak diberikan nasihat oleh Pak Haji, mama memutuskan untuk menikahkan aku dengan sederhana. Dan mama berencana akan menggelar resepsi beberapa bulan setelahnya, sesuai dengan saran Pak Haji. Lalu, kemudian akhirnya dikumpulkan keluarga mama dan disepakati untuk gelar pernikahan sangat sederhana hanya mengundang kerabat, tetangga, dan sahabat saja.

Beberapa hari kemudian setelah perbincangan dengan Pak Haji, tak lama kemudian kami memanggil keluarga pihak suami untuk datang dan membahas maksud pernikahan kami. Pihak keluarga suami sepakat untuk menggelar pernikahan sederhana, dan mereka juga setuju jika kemudian hari menggelar resepsi. Kemudian, pihak keluarga suami langsung menyerahkan uang seserahan kepada pihak kami.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Pernikahanku tinggal tiga minggu lagi, entah ada apa yang terjadi dengan mama. Mama langsung berubah. Sangat berubah, yang tadinya semula kami telah sepakat berencana menikah sederhana, dan sedangkan kami sudah menghitung budget tetek bengek juga menyewa alat pernikahan, seperti dekor dinding, parasmanan, dan alat memasak juga telah menghitung porsi makanan untuk para tamu. Tiba-tiba mama berubah drastis!

Feelingku menyebutkan, mama di brain wash oleh teman kantornya. Terbukti mama mengubah kesepakatan, mama mengubah sistem. Alih-alih mama menyebutkan malu dan hatinya terpukul jika anak gadisnya hanya menikah secara tidak ramai. Mama langsung merubah konsepnya. Aku mencegahnya, tetapi sia-sia menghadapi mama. Mama berani spekulasi menyewa hiburan, WO, dan menambah porsi makanan dan tamu juga porsi hidanga lain nya.

Ah, semua ini salahku, baru saja lulus kuliah belum kerja tetap, tapi sudah minta menikah. Seharusnya benar kata mama, aku kerja dan berkarir dulu baru menikah. Tetapi, usiaku juga sudah 25 tahun. Jika aku menunggu sampai karier cemerlang, sampai kapan aku akan menikah? Tetapi, siapa juga yang bisa melawan kehendak Allah? Tidak ada!

Justru, karena aku tahu diri, itulah sebabnya aku meminta menikah secara sederhana saja, toh yang penting aku selamat dan berkah. Aku juga tidak mau menjadikan beban mama banyak utang. Satu hal yang harus aku akui, mama menikahkanku SAMA SEKALI tidak memegang uang. Akan tetapi, uang pemberian pihak keluarga suamiku sebenarnya cukup apabila mama konsisten dengan kesepakatan awal menikahkanku dengan secara sederhana.

Bagaimana denga papaku? Jangan ditanya, ia tidak memberikan SEPERAK pun untuk aku menikah. Sedih rasanya hatiku, jika aku boleh berkhayal, aku ingin di saat menjelang pernikahanku, aku bak ratu dimanjakan sedemikian rupa dan bersuka cita dengan momen ini. Bahkan aku bermimpi menikah dengan konsep traditional wedding bak putri keraton. Tetapi, kenyataannya itu tidak berpihak padaku. Dan aku sadar akan keadaan dan kondisi, aku tak mau mengedepankan nafsuku, celakalah aku bila seperti itu.

Mama mencetak kartu undangan dengan harga yang cukup lumayan mahal menurutku. Uang pemberian dari suamiku dan pemberian dari keluarga besar papa sudah habis. Pernikahanku digelar beberapa hari lagi. Mama yang harusnya ada di tempat dan mulai sibuk mengurusi ini itu, malah tidak ada. Mama lontang-lantung mencari pinjaman dana. Mama nekat meminjam dana ke bank. Uang dari bank belum juga cair, sedangkan kebutuhan sangat meningkat.

Keluarga dari pihak mama dan tetangga mulai curiga, maklum mama menyebutkan pada mereka bahwa mama telah siap dengan dananya. Padahal belum. Mereka berdesas desus di belakang, mereka tahu bahwa mama berbohong. Karena mama mengubah konsep dan sistem otomatis pernikahanku bukan akad nikah saja, melainkan gelar resepsi meskipun resepsinya bukan kategori mewah. Tadinya, mama mau sewa gedung, tetapi jelas kami membantah.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Aku mulai tidak tenang, setiap malam tidak bisa tidur, orang-orang sudah mulai bekerja untuk mendukung pernikahanku. Beberapa tamu dari kalangan tetangga pun sudah mulai nampak banyak dua hari sebelum aku nikah. Mama masih luntang–lantung bolak balik ke bank menunggu pencairan dana. Yang meng-handle semuanya adalah nenekku, dia lah yang menjaga tamu selagi mama tidak ada. Dan dia lah yang menghutang semua kebutuhan makanan pokok pernikahan ku ke toko langganannya.

Dua hari menjelang pernikahanku, uang dari bank tak kunjung cair. Aku panik, dan keluargaku semakin yakin bahwa mama tidak memegang dana. Satu hal kesalahan mama, mama tidak mau berterus terang pada keluarga bahwa ia sebenarnya belum siap dana. Mama berbohong pada mereka. Tapi, malam itu, keluragaku menemui mama di saat mama baru pulang dari bank.

Mama ditanya oleh keluarga lain, akhirnya mama mengakui kesalahannya. Mama mengakui kalau dana belum ada. Semua keluarga panik, apa yang harus dilakukan sedangkan pernikahan tinggal dua hari lagi. Semua terdiam, menyesalkan tingkah mama yang tidak mau terbuka dan berterus terang juga menyesalkan dengan perilaku mama yang bertindak ingkar dengan kesepakatan dan melupakan amanah dari Pak Haji. Sekarang harus bagaimana, pernikahan sudah sangat mepet sedangkan dana belum ada, kalau begini caranya keluarga pun diam bingung harus bagaimana dengan kondisi yang sangat mepet ini.

Keesokan harinya, mama kembali lagi ke bank untuk memastikan pencairan. Semua panik, termasuk aku panik bukan main. Bagaimana kalau mama tidak hasil? Dengan cara apa kami harus membayar utang ke toko, membayar WO, membayar buruh dan lainnya? Siapa yang sanggup untuk meminjamkan uang dengan waktu yang mepet. Kebetulan, keluargaku sedang banyak kesulitan, jadi mereka membantu hanya ala kadarnya saja.

Bagaimana jika pernikahanku malah jadi malapetaka, utang tidak terbayar? Kami dikejar utang? Mama menjadi mengungkit dan menuntut kepada pihak suami? Bagaimana jika gara-gara uutang bekas resepsi belum terbayar lantas mama dan aku jadi ribut?

Ah, sungguh membuatku tak kuasa membayangkannya! Andai mama mengikuti nasihat Pak Haji tentulah hal seperti ini tidak akan terjadi, mengapa mama berubah pikiran hanya karena terpengaruh oleh teman-teman yang menurut mereka gengsi apabila tidak digelar pesta pernikahan.

Sampai akhirnya, mama pulang dan mama berhasil mendapatkan pinjaman dari bank, namun sayang hanya sedikit bank memberikan pinjamannya dengan alasan mama masih memiliki utang lain.

18 Januari 2018
Hari ini hari pernikahanku, Aku bersyukur masih diberikan ketegaran oleh Allah untuk menghadapi hari ini. Kakekku men-support supaya aku tidak boleh murung. Harus kelihatan aura pengantin meski sedang dilanda kecemasan. Tepat pukul 9 pagi, aku sah menjadi istri suamiku. Aku sangat senang dan bersyukur bukan main kepada Allah. Meski kemarin aku dilanda kecemasan, kesedihan, dan drama yang penuh air mata.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Gaun pengantin adat sunda siger putih menjadi balutan indah di hari pernikahanku. Aku bahagia karena akhirnya hari ini terlaksana, pesta pernikahan yang semula hanya akad saja berubah menjadi resepsi pernikahan, untungnya tidak terlalu mewah sekali. Aku rasa ini cukup, tapi aku sangat mencemaskan setelah ini, meski resepsi sederhana tapi tetap saja resepsi ini mengeluarkan biaya puluhan juta.

Satu per satu tamu mulai berdatangan, lama kelamaan tamu makin banyak yang datang. Aku sangat bahagia, padahal undangan kemarin banyak yang kurang dan ada banyak yang sangat telat disebar. Aku mulai tersenyum dan melupakan kecemasan yang melanda.

Acara telah usai, hanya sampai pukul 15.00 acara digelar. Selayaknya seperti orang lain, selepas acara selesai, di belakang pasti sibuk membereskan acara. Mama tengah sibuk menghitung amplop juga menghitung total keseluruhan utang piutang. Rona wajah mama nampak tegang begitupun dengan aku dan nenekku. Kami membayangkan budget utang yang tidak terhandle oleh kami. Mama sangat tampak tegang, sesekali aku melihat bias bayangan aura wajah mama yang sedikit ada penyesalan mengapa bertindak gegabah. Kami sangat yakin, uutang pasti banyak tidak terbayar.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Namun apa yang terjadi?
Ternyata Allah Maha Penyayang, Maha Pemberi Rezeki. Allah menitipkan rezekinya melalui hamba-hamba-Nya. Caranya Allah adalah, melapangkan rezeki orang-orang yang kami undang. Kesemuanya tamu yang datang menyedekahkan rezekinya melalui amplop, alhasil pendapatan amplop sangat banyak. Bahkan tidak ada amplop kosong. Sehingga seluruh pengeluaran terbayar lunas langsung dan tidak ada tunggakan apapun.

Entahlah, ini bukan mengharapkan amplop. Tetapi, justru kami menduga kami akan dilanda utang atas risiko kami. Apalagi aku sama sekali tidak ada kepikiran mendapatkan keuntungan dari amplop, justru aku mengharapkan pernikahan yang sederhana agar mama tidak terlilit utang, karena aku menyadari akan keberadaan dan kondisiku dan keluarga saat ini.

Tapi, aku sangat terharu, adikku menggenggam tanganku, ia lega. Ia sangat khawatir sama seperti aku dan yang lainnya menghawatirkan ini. Apalagi mama hanya diberikan sedikit sekali oleh bank yang tidak cukup untuk membayar semua bekas pernikahanku, akan tetapi Allah memberikan rezeki-Nya melalui mereka, para tamuku yang ikhlas menyedekahkan rezekinya untuk kami. Semoga Allah membalas kebaikan mereka semua.

Tiada henti-hentinya aku menangis mengucap syukur pada Allah, akhirnya aku bisa selamat menikah. Sedari bulan kemarin aku diliputi tangisan kesedihan. Sekarang tangisan kebahagiaan. Sangat–sangat bersyukur Allah telah memberikan rezeki dan karunia-Nya. Berkat Maha Pengasih-Nya Ia sehingga aku dapat menikah yang sebelumnya sempat tidak direstui. Berkat Maha Penyayang-Nya Allah melalui Pak Haji, dan seluruh orang yang terlibat di pernikahanku juga para tamu. Semoga Allah membalas kebaikan mereka semua dan memberkati mereka semua, amin.







(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading