Sukses

Lifestyle

Tidak Bisa Memantau Langsung Persiapan Nikah, Kecewa Pun Kurasa

Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.

***

Pernikahan merupakan peristiwa yang selalu diimpikan setiap orang, peristiwa yang ditunggu-tunggu oleh setiap kaum hawa untuk dapat hidup bersama dengan pria yang dicintainya. Membangun suatu keluarga kecil bahagia di mana tempat mencurahkan kasih dan sayang. Pernikahan menurutku dulu adalah suatu proses kehidupan menuju pada tahap selanjutnya di mana yang semula kita bebas menjadi terikat dalam suatu ikatan yang namanya keluarga. Inilah kisahku, tentang bagaimana suka duka persiapan pernikahanku dengan suamiku.

Berawal dari saling komentar di Facebook dan saling curhat, aku dan suamiku berkenalan serta menjalin cinta. Beberapa bulan berkenalan di Facebook kami memutuskan untuk bertemu. Setelah pertemuan itu kami menjalin hubungan yang semakin serius dan mulai merencanakan masa depan. Kebetulan orangtua kami berasal dari kampung yang sama sehingga jalan kami menuju ke jenjang yang serius juga nampaknya berjalan mulus.

Dalam perkenalan kami yang singkat, tidak banyak yang kukenal dari suamiku dan juga keluarganya, tetapi aku selalu berpikir positif tentang dia, dan selalu berpikir kalau dia adalah orang baik begitupun dengan keluarganya. Selang beberapa bulan kami saling mengenal dan sepakat akan melanjutkan perkenalan ke jenjang yang lebih serius. Orangtuanya pun datang untuk melamarku.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Setelah lamaran itu hari-hariku sibuk untuk mempersiapkan menjelang hari pernikahan pun tak bisa aku hindari. Kesepakatan semula acara diadakan di kota di mana aku bekerja saat itu, sehingga aku sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai dari undangan, tempat berlangsungnya acara, perias pengantin, dekorasi, mengurus surat menyurat, sampai katering. Semua itu kulakukan seorang diri mengingat aku dan suamiku menjalani hubungan jauh antar provinsi, dan suamiku menyerahkan segala urusannya padaku.

Tak terbayangkan saat itu di tengah aku sibuk dengan pekerjaanku aku harus membagi waktu dengan sibuk mencari referensi tentang ini dan itu mengenai persiapan pernikahan. Tetapi itu semua kujalani dengan sabar dan berkat dukungan dari suamiku aku bisa lakukan semuanya seorang diri walaupun di sela-sela itu kami sering bertengkar.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Dan selisih pendapat itupun tak bisa dihindari. Antara kedua belah pihak masih belum ada kesepakatan tentang berapa mahar yang akan diberikan serta untuk biaya pernikahan siapa yang akan menanggungnya. Pihak keluargaku menginginkan resepsi diadakan di rumah saja namun keluarga suamiku menginginkan resepsi diadakan di gedung, sedangkan mereka memberikan batasan dana yang dikeluarkan.

Belum mencapai kesepakatan tentang itu, dalam intern keluarga kami pun juga terdapat selisih pendapat. Aku mau acara dilaksanakan di rumah pamanku karena semenjak bapak tiada pamanku lah yang kuanggap sebagai pengganti bapak. Tetapi kakak-kakakku mau mengadakan acara pernikahanku di rumah mereka, sehingga menjadi perdebatan dan juga merasa tidak nyaman dengan pamanku.

Dan akhirnya jalan keluar pun diberikan mamaku dengan memindahkan tempat pelaksanaan yang semula di kota di mana tempatku bekerja ke kampung halamanku, dan hal tersebut juga disetujui oleh keluarga suamiku. Menurut mereka lebih baik mengingat mereka juga berasal dari kampung yang sama sehingga tidak repot untuk mengundang keluarga di kampung untuk menghadiri pernikahan di kota.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Namun aku kecewa dengan keputusan itu, karena dengan dipindahkannya tempat maka otomatis semua yang telah kurencanakan juga dibatalkan, dan sedihnya lagi aku tidak bisa memantau secara langsung mengenai perias pengantin dan dekorasi sesuai dengan yang kuinginkan. Semuanya kuserahkan pada mamaku karena aku tidak bisa pulang mengingat aku tidak bisa ambil cuti untuk mempersiapkan semuanya, aku hanya bisa cuti di saat hari menjelang pernikahan dan sesudahnya.

Aku juga tidak bisa berbuat banyak dengan keputusan yang telah menjadi kesepakatan keluargaku dan keluarga suamiku dan juga demi kebaikan semua orang aku mengalah, kututup rasa kecewaku dengan kesibukan kantorku yang saat itu juga sedang banyak-banyaknya pekerjaan dan deadline yang harus segera diselesaikan. Sehingga aku pun lupa hari-hari yang telah ditentukan semakin mendekati.

Semenjak kesepakatan itu, aku hanya memantau segala persiapan melalui telepon dan meyakinkan hatiku kalau semua sudah sesuai dengan keinginan terlebih mengenai perias pengantin dan juga dekorasi. Dan saat yang ditunggu-tunggu itu pun semakin mendekati, H-3 aku sudah cuti bekerja dan bisa mempersiapkan segalanya yang masih belum dilengkapi termasuk surat-menyurat. Namun pada saat menjelang hari pernikahan di saat rumah sudah di dekorasi aku kecewa kembali karena semula sudah sepakat sesuai dengan dekorasi yang kuinginkan ternyata berbeda dari kesepakatan semula.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Begitu juga dengan make-up minimalis yang kuharapkan tinggal impian belaka, ditambah lagi fotografer saat malam adat pernikahanku tidak datang dengan alasan sudah ada janji dengan pihak lain. Aku tidak berkata apa-apa lagi, dan pada saat itu masih bersyukur kakak-kakakku masih punya kamera digital untuk mengabadikan acara tersebut, dan aku hanya diam di saat suamiku bertanya, "Mana fotografernya? Kenapa bisa begitu? Janjinya dulu seperti apa?"

Dan keesokan harinya pada saat semua acara selesai di mana keluarga sebagian sudah pulang, tinggal kami keluarga inti juga kakak-kakakku kami evaluasi kembali acara yang telah diselenggarakan. Dalam hal makanan yang disajikan kami semua puas karena tamu undangan tidak ada yang tidak makan. Tetapi yang kami sesalkan, sedikit saja kesempatan kami untuk berfoto bersama. Saat acara adat kami tidak ada satupun untuk berfoto bersama karena sibuk untuk persiapan acara esok hari.

Sampai saat itu aku masih bisa tersenyum walaupun kecewa yang sangat dalam kurasakan karena pernikahan yang kuharapkan dapat menjadi kenangan yang indah dan bahagia menjadi sebuah rasa kecewa yang tertanam dalam hatiku, dan jika mengingat itu semua hatiku perih. Tetapi di balik itu semua aku sadar semua salahku, kubiarkan mamaku yang sudah tua mengurus segala sesuatunya sendiri sedangkan aku hanya tinggal duduk manis di pelaminan. Dan aku mengambil hikmah dalam perjalanan tersebut bahwa dalam melaksanakan segala sesuatu apalagi mengenai pernikahan tidak mudah, perlu persiapan dan pemikiran yang matang dan tidak buru-buru. Dan yang di atas semua itu yang terpenting adalah makna dari pernikahan itu sendiri yaitu pernikahan yang sakral, sekali untuk seumur hidup dan sah di mata Tuhan.







(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading