Sukses

Lifestyle

Pernikahan Bukan Cuma Soal Pesta, Tapi Ada Tanggung Jawab Besar di Baliknya

25 tahun. It’s been a quarter of life. 25 tahun merupakan usia di mana sebagian wanita sudah menikah dan menempuh hidup baru, sementara sebagian masih menikmati masa lajang dan mengeksplorasi kehidupan mereka. 25 tahun merupakan usia saat ibuku menikah dengan ayahku, dan usiaku saat mengetik tulisan ini. Saat ini, aku masih single dan belum menikah.

Tentunya pertanyaan kapan nikah pernah kuterima, biasanya ditanyakan orang-orang ketika bertemu dalam pesta. "Kapan nikah?" dan "Kapan nyusul?" biasanya jadi semacam pertanyaan basa-basi, entah iseng, atau memang tidak punya topik lain. Somehow, dalam kultur masyarakat ini tampaknya wanita dianggap ‘sukses’ bila sudah menikah. Sudah menikah, sudah laku and that’s it. Bukan seberapa tinggi pendidikannya, bukan pula pencapaian kariernya.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Saat ini aku menempuh studi pascasarjana. Ada saja komentar miring yang kuterima. Misalnya, “Untuk apa sekolah lagi? Nanti juga ujung-ujungnya mengurus anak.” Atau, “Jangan sekolah tinggi-tinggi, nanti cowok takut lho.” Tapi, komentar-komentar tersebut tidak menghalangi niatku. Bagiku, pendidikan adalah investasi. Pendidikan akan berpengaruh pada pola pikir dan cara bersikap.

Memang, pada akhirnya perempuan akan mengurus anak. Justru karena itulah, perempuan harus berpendidikan karena peran ibu sangat besar dalam mendidik anak. Selain itu, memang benar anggapan bahwa sebagian pria dapat merasa terintimidasi bila wanita memiliki pendidikan yang lebih tinggi darinya. Hal ini dapat dipahami karena menyangkut dengan ego pria. Tapi, buat apa membatasi diri dengan komentar-komentar seperti itu? Pada akhirnya, yang menjalani hidupku adalah diriku sendiri.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Aku sangat bersyukur memiliki orangtua yang mendukung pilihanku dan tidak pernah memburu-buru putrinya dalam urusan jodoh. Tentu saja, aku tahu mereka ingin aku bahagia. Namun, aku cukup prihatin dengan teman-temanku yang orang tuanya kerap memburu-buru dalam urusan jodoh. The pressure is real. Bahkan, sampai dijodohkan dengan si ini dan si itu. Beruntung, ibuku tak pernah sekali pun berniat menjodohkan aku dengan siapapun. Alasannya sederhana, karena dulu dia pun paling tidak mau diperlakukan seperti itu. Kelak, aku pun akan melakukan hal yang sama pada putriku.

Kadang aku berpikir, ada apa dengan masyarakat ini? Begitu kepo, mempertanyakan dan mengomentari yang bukan urusannya. Apakah salah bila seorang wanita masih berstatus single? Apakah jadi akhir dunia? Tentu saja tidak. Ada beberapa anggapan yang beredar luas di masyarakat bila wanita belum kunjung punya pasangan.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Anggapan pertama, sifatnya buruk. Wah, kalau sifat buruk sih tampaknya semua orang juga punya. Setiap orang tidak sempurna, pasti ada kekurangan dan kelebihan. Anggapan kedua, super pemilih. Menurutku, wajar-wajar saja memilih dalam hal dalam mencari pasangan. Pernikahan itu idealnya sekali seumur hidup, dan kita akan menghabiskan sisa hidup dengannya. It’s a big deal. Jadi, sah-sah saja untuk memilih dalam menentukan pasangan, asalkan kriterianya masih masuk akal. Anggapan ketiga, tidak laku. Well, siapa tahu sesungguhnya ia memiliki alasan pribadi sehingga memilih untuk tetap single? Atau siapa tahu sesungguhnya ada yang mendekati, hanya saja wanita itu belum menemukan yang benar-benar tepat untuknya?

Urusan jodoh bukanlah perkara yang simpel. Faktanya, tidak semua pernikahan berakhir dengan bahagia. Pernikahan tidak hanya soal cinta, tapi ada juga faktor lain seperti kecocokan sifat, komitmen, persamaan keyakinan, visi misi, latar belakang keluarga, kesiapan mental dan finansial yang harus dipertimbangkan dengan matang.

Memang, ada sebagian yang berpendapat begini, “Nikah saja dulu, rezeki akan menyusul. Kalau menunggu mapan, kapan nikahnya?” Tapi, secara pribadi aku tidak sependapat dengan itu. Aku ingin mengejar mimpiku dan membuat orangtuaku bangga. Terlebih lagi, aku ingin biaya pernikahanku kelak dibiayai sendiri oleh aku dan pasanganku, seperti halnya orangtuaku dulu.

Memang, ada sebagian orang yang biaya pernikahannya dibiayai oleh orangtua mereka. Sah-sah saja, itu uang mereka dan hak mereka. Namun bagiku, menikah adalah tahap di mana seseorang telah dipandang cukup dewasa untuk melangkahkan kakinya sendiri, dan hal itu dimulai dari membiayai pernikahan sendiri.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Pernikahan bukan hanya pesta, namun ada tanggung jawab besar menanti di baliknya. Apakah secara mental dan finansial sudah siap bila tiba-tiba diberi anak? Apakah siap kehilangan kebebasan yang dimiliki saat masih single? Apakah siap menempatkan kepentingan suami dan anak di atas kepentingan sendiri? Pada saat ini, aku tengah berada di persimpangan. Ya, suatu hari nanti aku ingin menikah bila sudah siap. Namun, untuk saat ini menjadi single pun tak masalah. Masih ada hal-hal yang ingin aku raih, lagi pula aku belum menemukan seseorang yang kuanggap the one.

Untuk mereka yang sudah menikah, it’s good for them. Untuk kalian my fellow single ladies, it’s good for us too. Mari mengembangkan diri dan mencapai mimpi dahulu. Amal Clooney dan Sandra Dewi adalah contoh dua public figure yang menikah di usia matang, and they surely married the man of their dreams.

Mungkin, ada beberapa wanita yang hidupnya tampak sempurna. Berpendidikan tinggi, kariernya bagus, sudah menikah dan dikaruniai anak pula. Please stop comparing. Bersabarlah, tiap orang memiliki jalan dan rejekinya masing-masing. This life is not a race. Just be yourself, do what you want and live your life with gratitude. Jalani hidup dengan baik, kembangkan dirimu, suatu hari akan ada seorang pria yang tepat, yang muncul di saat yang tepat. Tidak perlu terlalu mendengarkan komentar orang lain, bersikaplah selektif dalam mendengar. Kadang-kadang, bersikap cuek itu membantu. Toh pada akhirnya, kamu adalah orang yang paling tahu apa yang kamu mau, dan kamulah yang menjalani hidupmu. This is your life, not theirs.

Sekadar catatan bagi kita semua, ada baiknya kalau kita berpikir matang sebelum bertanya ‘kapan’, apalagi kalau hanya untuk basa-basi. Posisikan diri bagaimana perasaan kita bila seandainya kita menjadi orang tersebut. Hati-hati dalam berbicara, bedakan mana yang sifatnya sensitif dan personal. Use our senses and use our mouth carefully.





(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading