Sukses

Lifestyle

Menikah Bukan Hanya 'Asal Sah' Tapi Juga Harus Siap Lahir Batin

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.

***

Setelah lulus S1 dan bekerja tak kusangka pertanyaan bergilir itu datang juga menghampiriku. “Kapan menikah?” Ya, pertanyaan sejuta umat yang sudah bosan didengar.

Awalnya aku biasa saja menanggapi pertanyaan itu. Aku menganggap pertanyaan itu wajar dilontarkan orangtua, om dan tante. Secara, aku dan pasangan sudah menjalani hubungan selama 8 tahun, sudah sama-sama bekerja, ya tunggu apa lagi? Tapi semakin sering om, tante dan orangtua menyuruhku untuk segera melangsungkan pernikahan, aku mulai merasa tidak nyaman, apalagi kalau ada acara pernikahan sepupu, seolah itu menjadi tanda bahwa akulah selanjutnya. Meskipun sudah memberikan alasan dengan cara yang sehalus mungkin, tetap saja mereka tetap menyuruhku.

“Ayo dong, habis ini kamu kan tenang kalau udah sah.”
“Kapan nih nikah? Udah lama pacaran nggak baik lho lama-lama, udah kerja kan dua-duanya?”
“Lamaran tahun ini aja dong, yang penting ada ikatan dulu.”

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/almos bechtold

Alasanku, cukup sederhana. Aku ingin mengejar sesuatu yang akan menjadi bekal untuk menikah baik itu materi ilmu dan harta. Aku dan pasanganku sedang menikmati pekerjaan yang syukurnya sesuai dengan passion, sedang senang-senangnya mengembangkan diri, membangun relasi dan banyak belajar ilmu baru. Maklum, perbedaan usia kami hanya setahun, jadi masih giatnya ingin memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat dengan menggunakan ilmu yang kami punya. Bukankah itu bentuk pengabdian yang seharusnya dilakukan seorang sarjana setelah lulus kuliah?

“Kalau udah nikah, rezeki akan datang sendirinya. Nggak usah khawatir!” Aku percaya bahwa akan ada rezeki yang tak terduga untuk pasangan yang baru menikah. Tapi bukan artinya harus menikah saat ini juga, bukan? Karena setiap orang memiliki target pribadi yang ingin dicapai seperti ingin mengembangkan diri, ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, ingin merasakan jalan-jalan ke luar negeri ataupun sekadar ingin menikmati pekerjaan yang sedang ia geluti saat ini. I think that’s normal.  

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/drew coffman

Alasan-alasan tersebut masih masuk akal dan bermanfaat dibanding beralasan ingin memiliki rumah mewah bertingkat dan mobil seharga miliaran yang mana akan memakan waktu yang amat sangat lama mendapatkannya untuk ukuran pekerja biasa seperti aku. Menjadi realistis sekaligus optimis saat menunda pernikahan itu penting agar kita tahu sampai mana harus berusaha.

Akhir-akhir ini aku juga menyadari satu hal. Kebanyakan orang-orang bekerja seharian, menikmati gaji, bekerja lagi dan berlomba mempersiapkan pernikahan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan siklus tersebut. Namun pertanyaannya, apakah mereka benar-benar menikmatinya? Apa mereka tidak lupa tentang pentingnya mencari kebahagiaan diri dan menemukan tujuan hidup saat sebelum dan setelah menikah? Semoga saja tidak lupa. Mengikuti arus kehidupan terkadang membuat seseorang berada di zona nyaman yang bisa membuat keadaan kita semakin stuck. And I don’t want to be part of that.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/fernanda mendez

Sebelum melangsungkan pernikahan juga aku ingin memperbaiki diri ke arah yang lebih baik. Aku ingin banyak belajar mengenai ilmu dunia dan ilmu agama lebih dalam, agar aku bisa mengelola rumah tangga dengan sebaik-baiknya karena menikah itu bukan hanya “asal halal” atau untuk memenuhi hasrat pihak tertentu. Pernikahan itu datangnya dari hati masing-masing. Perlu adanya diskusi mendalam dan penyatuan visi misi dengan pasangan, agar perjalanan rumah tangga bisa sukses. Saran dari orangtua, om dan tante itu memang perlu untuk masukan, tapi di akhir hanya aku dan pasangan yang akan menentukan, karena kami yang akan menjalani hidup berdua.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/james bold

Ingat, pada dasarnya semua orang termasuk aku, butuh menikah untuk melengkapi ibadah. Tapi, setiap pasangan memiliki alasan tersendiri dalam menunda pernikahan yang belum tentu dapat dipahami oleh semua orang. Di balik tampilanku yang santai mungkin orang lain tidak mengetahui seberapa kerasnya aku berusaha, berdoa dan selalu berpikir positif untuk bisa menikah dengan pasangan yang aku yakini ini.

Sejujurnya aku hanya butuh mereka untuk menyadari, menghargai usahaku dalam memperbaiki kualitas diri  dan mendoakanku yang terbaik dengan tulus daripada hanya bertanya “kapan”, karena biasanya setelah pernikahan itu terjadi, mereka akan “hilang” begitu saja.




(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading