Sukses

Lifestyle

Punya Pacar Juga Tak Menjamin Kita Akan Bahagia Tanpa Sakit Hati

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.

***

Saya memiliki seorang mantan kekasih yang sebelumnya adalah sahabat saya. Kami sudah bersahabat sekitar enam tahun sebelum akhirnya memutuskan untuk mengenal lebih dalam lagi. Semuanya berjalan lancar dan saya anggap sempurna pada awalnya.

Sejujurnya, pada waktu itu saya sudah merasa yakin bahwa dia adalah jodoh saya. Kami yang waktu itu sedang dimabuk asmara, berusaha menjalani LDR (long distance relationship) dengan ikhlas dan bahagia. Namun, seiring berjalannya waktu, terutama ketika dia juga memilih kuliah di kota yang sama dengan saya, sifat aslinya semakin terlihat.

Cukup berat bagi saya untuk memahami sifat dan sikapnya. Dia yang selama ini saya kenal, sangat berbeda dengan dia yang sudah bersama saya di kota yang sama. Wajar saja, sebab sejak awal, kami memang tidak tinggal di satu kota yang sama. Saya mengetahui dirinya dari salah satu teman gereja saya.

Persahabatan yang terjalin jarak jauh ini membuat kami mungkin hanya mengetahui sisi terluar dari diri kami masing-masing. Sehingga, ketika kami sudah berpacaran dan tinggal di kota yang sama, dapat dikatakan saya kaget dengan sifatnya. Pertengkaran-pertengkaran mulai terjadi, dari hal sepele sampai hal yang cukup besar.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/le xuan thu

Dia yang terlihat semakin posesif dengan melarang serta mengatur saya dalam melakukan sesuatu. Awalnya, saya menganggap semua itu hanyalah bukti rasa sayangnya kepada saya. Namun, lama-kelamaan saya justru merasa tertekan akibat kekangan yang diberikan. Saya mulai bingung dengan perasaan saya. Saya membenci setiap kekangan yang diberikannya padahal hanya hal sederhana, tetapi saya juga sangat menyayanginya. Rasa sayang itulah yang terus-menerus membuat saya bertahan dan memaafkannya sembari berharap bahwa suatu saat dia pasti akan berubah. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Perlakuannya semakin kasar terhadap saya, dan dia mulai tidak menghargai saya sebagai pasangannya. Saya mulai mempertanyakan, "Apakah ini yang namanya cinta? Sesakit ini?" Cukup! Itulah yang saya katakan pada diri saya. Akhirnya, saya memberanikan diri untuk menyudahi hubungan kami.

Tidak mudah bagi saya menjalani hari-hari pasca putus. Sebab, di bagian terdalam hati, saya masih berharap dia akan berubah, meski balikan bukanlah jawabannya. Saya benci dan kecewa padanya, terlebih-lebih pada diri saya. Jika ada orang yang bertanya waktu itu. "Apa yang kau inginkan?" jawaban saya hanya satu. Saya tidak ingin bertemu dengannya lagi, atau paling tidak untuk beberapa waktu ke depan. Namun, nampaknya takdir belum memihak.

Dapat dikatakan kami berada pada posisi terjebak. Mengapa? Sebab kami berdua masih terikat dalam satu kepengurusan komunitas rohani di kampus, serta kami juga harus mengurus komunitas daerah yang kami dirikan. Hal ini membuat kami (mau tidak mau) tetap sering bertemu. Selama enam bulanan setelah putus, dia masih sering menghubungi saya dan beberapa kali juga mengajak balikan. Saya yang sudah telanjur kecewa dan sakit hati, tidak mau kembali terluka. Saya berusaha sekuat mungkin untuk tidak terlena kembali dalam pesonanya. Cukuplah ‘kebodohan’ masa lalu itu, saya tidak ingin terjatuh di lubang yang sama lagi.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/david yanutama

Sekarang, sudah sekitar 14 bulan kami putus. Dia sendiri jika saya perhatikan sudah memiliki perempuan lain, entah memang sudah berpacaran atau belum. Namun, jika dilihat dari gelagatnya sepertinya mereka memang berpacaran. Maklum, perempuan itu selama ini dia kenalkan sebagai saudara jauhnya.

Beberapa teman yang sebelumnya mengetahui hubungan kami, mungkin memandang kasihan pada saya. Sebab, sampai saat ini saya memang belum memiliki pengganti. Saya memutuskan untuk tidak mau berpacaran dulu sampai batas waktu yang saya sendiri tidak tahu. Sebab, tidak mudah bagi saya untuk percaya kembali pada laki-laki setelah sebelumnya pernah dikecewakan. Saya juga tidak mau nantinya malah menjadikan pasangan baru saya sebagai pelampiasan. Pertanyaan-pertanyaan akhirnya mulai dilontarkan oleh teman-teman saya, salah satunya, “Kapan punya pacar lagi?” Awalnya saya hanya menjawab seadanya, kapan-kapanlah, tanpa mau terusik sama sekali. Namun, lama kelamaan saya cukup gerah dengan pertanyaan tersebut.

Bagi saya, perihal menemukan pasangan yang cocok tidaklah semudah membalikkan telapak tangan apalagi saya pernah terluka karena sangat mencintai laki-laki. Kepercayaan saya terhadap laki-laki dapat dikatakan sudah mulai hilang. Kata-kata pujian atau bahkan rayuan hanya saya anggap  gombalan belaka.

Tentu, saya menyadari bahwa banyak di antara perempuan lainnya takut dengan status ‘jomblo’, takut dengan kesendirian, takut diejek oleh teman lainnya. Tetapi untuk saat ini, itulah yang saya inginkan. Saya sangat bersyukur saya sudah putus dari dia. Dengan putus darinya, saya bisa lebih memaknai hidup, memahami diri saya sendiri, saya bisa mengembangkan diri lagi dan tentu saja saya juga dapat melakukan hal yang saya sukai dengan bebas tanpa tekanan.

Punya pacar juga tidak menjamin kita akan bahagia dan terbebas dari sakit hati. Sebab banyak juga orang yang galau dan sakit hati karena ulah pasangan sendiri. Untuk para pembaca, jangan pernah takut ataupun cemas karena masih ‘sendiri’. Nikmatilah dan jalanilah dengan ikhlas, sebab Tuhan pasti sudah mempersiapkan yang terbaik untuk kita. Toh, kita (baca: saya) masih muda, masih banyak mimpi yang harus diraih dan masih ada keluarga yang harus dibahagiakan.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading