Sukses

Lifestyle

Saat Berhasil Melewati Ujian Kesabaran, Jodoh Akhirnya Datang Tepat Waktu

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Hingga masa kuliah, saya tidak pernah diusik dengan pertanyaan orang-orang yang seolah-olah menargetkan setiap fase hidup saya. Mungkin karena saat kuliah tidak mengulur-ulur waktu kelulusan. Meskipun bukan dibilang lebih cepat dari orang kebanyakan. Begitu lulus, alhamdulillah, tidak perlu menganggur lama saya mendapatkan pekerjaan. Nah, pada masa menjadi “orang kantoran” orang-orang sekitar mulai mengusik dengan pertanyaan-pertanyaan yang kesannya ingin tahu saja.

Sekitar pertengahan 20-an, sudah memiliki penghasilan sendiri, mulai muncul pertanyaan, “Kapan menikah?" Terutama dari orangtua saya. Saya menganggap hal tersebut suatu kewajaran. Tandanya orangtua perhatian akan kehidupan anaknya apalagi perempuan. Saya menjawab dengan santai, “Pacar saja belum punya."  Ibu saya paling menyarankan untuk mencari pacar yang benar-benar bisa dijadikan pasangan hidup diselipin nasihat yang membekali saya untuk mendapatkan pasangan terbaik.
Ilustrasi./Copyright unsplash.com/atul vinayak

Saat kuliah saya sempat punya pacar yang bertahan hingga awal saya bekerja. Namun tidak karena orangtua mantan pacar menginginkan untuk menikah segera, sementara saat itu saya sedang euforia menjadi mbak-mbak kantoran, akhirnya kami putus. Mulailah saya dikenalkan dengan beberapa orang yang dianggap “berpotensi” menjadi calon pendamping hidup. Pokoknya setiap ada kesempatan, dari orangtua, kerabat, teman, bahkan atasan saya, pasti mengadakan biro jodoh dadakan. Dari sini saya mulai merasa lelah.

Bagaimana tidak lelah, sepertinya saat itu saya hidup hanya untuk bertemu dengan orang-orang yang dikenalkan.  Terus terang lama-lama bosan. Bahkan agar dapat menyenangkan hati orang-orang sekitar yang menginginkan saya segera memiliki pasangan (minimal pacar), maka saat itu saya menerima seorang lelaki yang dikenalkan seorang teman. Terpaksa saya lakukan padahal saya sama sekali tidak punya ketertarikan terhadap orang tersebut. Kebalikannya, si lelaki sangat serius kepada saya bahkan dia sudah beberapa kali berkunjung ke rumah ibu saya, kerabat saya, bahkan ke kantor saya berkenalan dengan atasan dan teman-teman.

Namanya perasaan tidak bisa dibohongin. Hanya hitungan sebulan dua bulan, tidak ingat persisnya, akhirnya saya memutuskan hubungan tersebut. Bisa dipastikan si lelaki itu kecewa dan dia hidup dengan dramanya. Keputusan saya tersebut membuat saya ditegur oleh ibu. Yang menanyakan, "Mengapa menolak orang lagi?" Karena di mata orang sekitar saya, lelaki itu adalah calon pasangan ideal. Hmmm... saya hanya berujar dalam hati bahwa hubungan itu tidak bisa dipaksakan apalagi memang tidak pernah punya ketertarikan. Hal ini yang meyakinkan saya bahwa salah satu hal untuk mendapatkan pasangan adalah “chemistry”.
Ilustrasi./Copyright unsplash.com/hunters race

Menjelang akhir umur 20-an orangtua saya semakin panik. Bahkan bapak saya yang terkesan santai saja sudah mulai menggerutu kenapa anak perempuannya belum menunjukkan tanda-tanda akan menikah. Sampai-sampai beliau mengatakan kepada ibu saya untuk membantu mencarikan jodoh.

Sebenarnya saya tidak terlalu terganggu dengan pertanyaan “kapan menikah”. Kebetulan saat itu saya punya banyak teman yang masih lajang namun mereka perempuan berkarir yang menikmati setiap jengkal kehidupannya. Dan sebagai penggemar serial “Sex and the City” saya merasa terpengaruh dengan tontonan tersebut, namun dalam hal positif.  

Saya belajar bahwa kehidupan kita tidak bisa disamakan dengan hidup orang lain. Meski teman terdekat kita tujuannya hidupnya menikah muda dan memiliki keturunan segera, bukan berarti kita juga harus melakukan hal yang serupa. Karena semua orang punya rencana hidup masing-masing dan tidak seragam.

Ketika saya mengatakan  bahwa saya akan menikah di umur 35 tahun, orangtua saya hanya diam dan mungkin saja berdoa bagi kesehatan putrinya yang unik. Setelah mencapai umur 30 tahunan, orang-orang di sekitar tetap sama bisingnya menanyakan hal yang sama. Malah ditambahin dengan, “Nanti jadi perawan tua, lho." Terganggu? Tidak sama sekali. Sekali lagi saya meyakinkan diri saya bahwa hidup bukanlah kompetisi. We are the master of our own lives and responsible for it. Bahwa saya bisa saja menikah kapan saja, ketika waktunya telah tiba.
Ilustrasi./Copyright unsplash.com/sweet ice cream photography

Benar saja, ketika umur 32 tahun, yang mungkin dianggap telat oleh kebanyakan orang di negara kita, saya menemukan pasangan. Insyaallah untuk selamanya. Orang-orang di sekitar saya bahagia. Namun, apa pertanyaan “kapan” tersebut berakhir? Tidak. Tidak sama sekali. Apalagi setelah menikah saya sempat berhenti kerja, lalu kembali mendapatkan pekerjaan hingga sampai memutuskan untuk berhenti kerja di kantoran. Jadi saat itu saya mendapatkan pertanyaan “kapan” yang berganda. “Kapan kerja lagi?” dan “Kapan hamil/punya anak?”

Terganggu? Untungnya tidak. Mungkin sudah ditempa sejak pertengahan umur 20-an menghadapi “kekepoan” orang terhadap kehidupan pribadi saya. Hingga sekarang, saya tidak lagi bekerja formal (memulai bisnis sendiri) dan tanpa anak. Saya percaya Tuhan punya kehendak pada setiap hidup hamba-Nya, dan kita harus bisa menghargai setiap fase kehidupan itu. Jadi pertanyaan-pertanyaan orang tidak saya anggap momok menakutkan. Tidak juga menjadi hal yang mengganggu pikiran. Juga tak perlu dijelaskan karena orang lain sebenarnya tak butuh penjelasan, karena pertanyaan mereka itu saya anggap bentuk lain dari, “Apa kabarmu sekarang?”

Intinya menurut saya, kita tidak bisa mengontrol orang lain menanyakan kapan ini itu, tapi kita bisa mengontrol diri sendiri bagaimana untuk tidak terganggu dengan pertanyaan seperti itu. Karena meskipun sans-enfants atau tanpa anak, bukan berarti saya tidak bisa menikmati hidup. Seperti hal-nya ketika saya masih melajang hingga awal umur 30-an, saya tetap bahagia dan menikmati hidup. Sekarang pun masih seperti itu. Carrie Bradshaw  bilang ke Mr. Big suaminya, “We’re adults without children; we have the luxury to design our lives the way we want. So why bothered?"




(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading