Sukses

Lifestyle

Jodoh Istimewa! Di Usia 36 Tahun, Aku Dilamar Pria yang Berusia 24 Tahun

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.

***

Hal yang paling menyakitkan dan menyedihkan dalam hidupku adalah ketika melihat air mata ibuku menetes, ketika aku dipermalukan di depan umum oleh kerabatku sendiri. Salah satu keponakan perempuan yang seharusnya menghormati dan menghargai aku sebagai tantenya, dia dengan belagu menghina dan mempermalukanku sebagai sang perawan tua, tidak laku menikah. Di depan tetangga dan orang-orang di sekitarku, sedih dan rasa sangat malu. Keponakanku yang waktu kecil kugendong-gendong, aku manja, aku suapi dan sudah aku perlakukan seperti anakku, namun ketika dia beranjak dewasa entah kenapa tega dia menyakiti hatiku dan ibuku?

Keponakanku sudah menikah di usia muda (20 tahun) dia nekat untuk menikah dengan seorang pria yang baru dikenalnya. Hal itu sudah membuat dia sombong seolah-olah paling cantik merasa laku ada pria yang mau menikahinya. Dan kabar terakhir kudengar, ternyata dia hanya dimanfaatkan suami  dan keluarga suaminya untuk diambil hartanya dan uang hasil dia kerja. Mungkin ini karma atau balasan karena dia menghinaku dan keluargaku.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/erol ahmed

Sebenarnya aku bosan dengan omongan dan pertanyaan orang soal kapan menikah. Umurku sudah tua, orangtua juga sudah semakin tua. “Kapan dan kapan?” seolah menjadi pertanyaan yang menakutkan, menjadikan aku merasa tak berharga, merasa gagal dan mulai menjauhi mereka.

Rasanya muak banget, mengapa mereka mengurusi hidupku, padahal tiap orang juga masalah sendiri. Hal ini membuatku sangat depresi. Tiap hari aku menangis dalam doa-doaku memohon kepada Tuhan membantu menyelesaikan masalahku. Rasanya sudah malas untuk mencari pendamping hidup, karena beberapa kali gagal berpacaran. Karena  terakhir seorang pria (pacarku) meninggalkanku dengan menikahi wanita yang lebih muda, tanpa memutuskan hubungan kami.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/james bold

Dengan membohongi aku dan ibuku, dia bilang tidak menikah, karena dia bilang sangat mencintaiku, padahal kenyataannya dia menyakitiku dengan menikahi wanita lain. Saat ibuku bertanya kapan dia (pacarku) mau melamar untuk menikahiku, aku berbohong pada ibuku ,aku  jawab, “Maaf Bu saya sudah tidak mencintainya, aku bosan Bu." Ibuku hanya diam menghela napas. Beliau berkata, “Ya sudah, semua keputusan kamu ambil semoga jadi hal yang terbaik dalam hidupmu." Lega rasanya mempunyai ibu yang sangat pengertian dan menguatkan saat aku lemah.  

Mungkin bagi beberapa orang berpikir aku terlalu banyak memilih, seleranya ketinggian, dll. Padahal yang merasakan aku sendiri, bukan orang lain. Karena  orang  lain hanya bisa (melu tepok ora tombok) bertepuk/senang kalau kita susah, tapi nggak ikut merasakan susah. Hari-hari berlalu, aku sangat menikmati kesendirian alias kejombloanku, aku bebas kemana-mana tanpa ada yang cemburu, ataupun dicurigai.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/soroush karimi

Sebenarnya aku sudah biasa hidup mandiri karena almarhum ayahku mengajariku banyak hal. Aku pikir tanpa suami/laki-laki aku bisa menghadapi hidup. Namun ketika usiaku sudah menginjak 36 tahun, ada seorang pria dengan usia yang masih muda selisih 12 tahun di bawahku (24 tahun), berani melamar aku ke ibuku, dia tidak peduli dengan usiaku. Dia tak peduli dengan keadaanku. Dia nekat walaupun aku baru mengenalnya 3 bulan, aku mencoba menghindar, sampai dia menangis di depan ibuku. Memohon doa restu ibuku.

Ibu hanya bisa terdiam dan menyerahkan semua keputusan padaku. Dan berkata, “Dia laki-laki yang  baik, dia berani meminta untuk menikahi kamu, dia memberi kepastian dan keseriusan, jarang ada laki-laki seperti itu, masih muda tapi berani mengambil sebuah keputusan yang tidak lazim."  Setelah lama kuberpikir, akhirnya aku luluh dan menikah dengannya.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/tom the photographer

Sungguh suatu keadaan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Beruntungnya aku, keluarga suami sangat baik, memperlakukanku seperti ratu di rumahnya. Memberikan tempat tinggal yang layak, dalam kesederhanaan mereka tidak pernah mengeluh, selalu bersyukur, bekerja dan berusaha membuat orang lain bahagia. Dari situ aku belajar banyak hal, bahagia itu bukan hanya harta dan uang, tapi rasa syukur di setiap hal.

Dengan jalan kehidupan yang berliku,sungguh luar biasa nikmatnya. Di saat susah, lemah dan di saat merasa ditinggalkan, semua akan indah pada waktunya. Karena segala sesuatunya pasti ada waktunya, ada saat menabur kita juga akan menuai pada waktunya. Jadi syukurilah hidup ini dengan berbuat kebaikan, semua orang diuji, dan dicoba ditempa menjadi suatu pribadi yang berkualitas, yang kuat mental menghadapi dunia yang penuh dengan ketidakpastiaan. Selalu bersyukur, ikhlas, dan berserah kepada-Nya sang Pencipta.






(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading