Sukses

Lifestyle

Bodoh Sekali Jika Kamu Baper pada Orang yang Bahkan Belum Pernah Kamu Temui

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.

***

Pertanyaan, “Kapan punya pacar?” cukup membuat saya pusing dan lelah tiap kali mendengar kata-kata itu keluar dari mulut teman-teman saya. Setiap tahun di hari ulang tahun saya mulai dari ulang tahun ke 17, 18, 19, 20, hingga 21 sekarang, wish yang selalu berada di urutan paling atas adalah, "Semoga cepat dapet pacar ya, Jos." Memang dia ntara semua teman-teman saya, cuma saya yang belum pernah pacaran, bahkan di-pdkt-i saja belum pernah saya cicipi. Bukannya tidak mau mencoba menjalin hubungan dengan cowok, tetapi kenyataannya memang tidak ada yang mendekati saya. Apakah saya orang yang kuper dan tidak mau bergaul dengan orang lain? Tidak. Sejak SD hingga kuliah saya memiliki cukup banyak teman, baik cowok maupun cewek. Saya termasuk murid yang aktif. Bukan aktif dalam organisasi di sekolah, tetapi saya adalah orang yang tidak pernah absen dalam setiap acara kumpul-kumpul bersama teman, bahkan saya tidak pernah melewatkan pesta ulang tahun teman saya, sampai MC di pesta teman-teman hafal dengan saya yang pasti selalu ada di setiap acara sweet seventeen. Lantas mengapa saya tidak kunjung punya pacar disaat semua teman-teman saya lagi asyik-asyiknya memadu kasih? Saya juga tidak tahu. Pada saat SMP dan SMA saya merasa baik-baik saja tidak punya pacar, karena masih banyak teman saya yang jomblo, walaupun yang punya pacar juga tidak sedikit. Tetapi ketika lulus SMA dan mulai memasuki dunia perkuliahan, teman-teman saya berkurang cukup banyak karena sebagian besar mengadu nasib di luar kota, bahkan luar negeri. Saya juga merantau tetapi teman-teman yang kota perantauannya sama dengan saya tidak banyak. Saya mulai kesepian. Saya mulai ingin punya pacar. Pertanyaan teman-teman saya, “Kapan punya pacar?” kembali terngiang-ngiang kembali. Tetapi saya juga tidak tahu harus bagaimana agar memiliki pacar. Teman-teman cowok saya memang banyak, tetapi semua teman, tidak lebih. Karena tidak tahu harus beruat apa, saya akhirnya menyibukkan diri dengan mengikuti kegiatan di dalam dan di luar kampus, saya juga melamar kerja part time di sebuah event organizer. Saya agak lupa sejenak dengan kejombloan saya.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/daria litvinovaPada saat libur semester saya pulang kampung dan berjumpa dengan teman-teman SMP, SMA saya yang juga sedang libur semester. Senang sekali rasanya bisa bertemu dengan mereka, bercerita, bercanda, dan menghabiskan waktu bersama. Dan kemudian pertanyaan itu terucap kembali dari teman saya, “Udah ada cowok, Jos?” dan sekali lagi jawabannya adalah, "Tidak." “Kapan punya pacar?” Tidak tahu. Ingin sekali rasanya merasakan pacaran, dicintai, upload foto di Instagram bareng pacar seperti yang teman-teman saya lakukan, tapi tidak bisa. Lalu teman saya berkata kepada saya untuk mencoba terbuka pada cowok, mulai memperbaiki diri, memperhatikan penampilan, lebih feminim. Saya memang kadang tidak bisa mengontrol diri ketika tertawa, pasti akan ngakak keras dengan mulut terbuka seperti singa mengaum. Sulit sekali memang memperbaiki kelakuan yang satu ini. Di satu sisi, saya sendiri juga takut patah hati. Sejak SMP hingga sekarang kuliah, saya sudah puluhan kali melihat teman-teman saya menangis karena cowok. Diselingkuhi, diputuskan, disakiti, dan banyak lagi hal-hal yang membuat hati teman-teman saya hancur berantakan gara-gara cowok. Saya melihat betapa menyiksanya punya pacar, setiap hari ada saja masalah yang terjadi. Tetapi teman saya pernah menasihati bahwa tidak semua cowok seperti itu, pasti ada pria yang tepat dan tidak akan menyakiti. Saya agak tidak percaya dengan ucapan teman saya, melihat banyak sekali cowok yang bisanya hanya mempermainkan perasaan teman-teman saya, dan ketika putus, teman saya berjuang untuk move on sementara cowok itu sudah punya cewek baru. Sungguh tidak adil. Tetapi di satu sisi, teman saya yang lain berkata jatuh cinta dan patah sati satu paket. Jika kamu sudah jatuh cinta, makan kamu harus siap patah hati. Karena keduanya merupakan proses yang harus dijalani di tahap-tahap pdkt hingga jadian. Tidak mungkin pacaran isinya yang manis-manis terus. Pasti ada pahitnya. Ini yang membuat perut saya mules dan mulai takut lagi untuk menjalin hubungan dengan cowok. Tapi saya sangat ingin punya cowok.Tidak terasa sudah semester 6. Sebentar lagi saya magang, skripsi lalu lulus. Dan pertanyaan itu muncul lagi, “Kapan punya pacar, Jos?” Kalimat itu tidak lagi terdengar seperti sebuah pertanyaan melainkan pemaksaan yang harus segera dipenuhi, yaitu memiliki pacar. Bahkan mama saya juga mulai ikut-ikutan seperti teman saya. Tapi mama saya tidak bertanya kapan punya pacar, melainkan “Ya... kuliah itu kesempatanmu buat cari pacar, nanti kalau udah masuk dunia kerja, bakal lebih susah nyarinya.”

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/collins lesulieSaya mulai pusing-sepusingnya. Sepenting itukah punya pacar? Ya memang penting tetapi kalau Tuhan belum mengizinkan saya untuk memiliki pacar, apa yang harus saya lakukan?Di semester ini saya sibuk untuk mencari perusahaan yang layak untuk dijadikan tempat magang. Akhirnya saya dan teman saya memutuskan untuk melamar di salah satu perusahaan besar di Jakarta. Setelah menunggu berminggu-minggu, akhirnya kami dipanggil untuk interview ke sana. Teman satu jurusan saya ini sama dengan saya, tidak pernah pacaran. Tetapi sepertinya dia tidak sedepresi saya yang sangat ingin punya pacar. Teman saya ini bermain aplikasi dating online. Saya yang awalnya tidak mau akhirnya ikut main juga. Sehari, dua hari bermain, saya mulai chat dengan pria-pria yang tidak jelas siapa mereka, tinggal dimana, dan masih banyak pertanyaan lain dalam kepala saya mengenai cowok-cowok yang saya temui via aplikasi. Empat hari di Jakarta membuat saya tidak bisa lepas dari aplikasi tersebut. Saya seperti kecanduan bermain aplikasi ini. Saya tidak pernah merasakan chat dengan cowok seperti yang saya rasakan ketika bermain aplikasi ini. Ya saya memang pernah chat dengan cowok, tetapi tidak dalam konteks pdkt. Ada beberapa yang mengajak ketemuan, tetapi saya tidak mempunyai nyali untuk bertemu. Saya memang aneh, mau punya cowok, tetapi menolak untuk diajak bertemu.Singkat cerita, kami pulang dari Jakarta. Ketika masih di bandara saya meminta teman saya untuk menon-aktifkan location saya di aplikasi. Saya tidak mau bermain aplikasi itu lagi ketika di rumah nanti. Aplikasi itu benar-benar membuat saya kecanduan. Saya baper kepada orang yang bahkan belum pernah saya temui, saya harus menghilangkan perasaan itu sebelum saya patah hati dengan orang yang tidak jelas. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Liburan semester kemarin saya berlibur ke Bandung dan kembali bermain aplikasi kencan online. Dari beberapa pria yang match, saya tertarik kepada salah seorang pria. Dia lebih tua 2 tahun dari saya, sedang pulang kampung ke Bandung, dia kuliah dan bekerja di Sydney. Kami chat cukup lama, dan lagi-lagi saya baper.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/brooke cagleKami ngobrol mengenai banyak hal, kami juga saling follow Instagram. Dan pada suatu hari dia berkata bahwa sebentar lagi dia akan kembali ke Sydney dan akan meng-uninstall aplikasinya. Saya agak sedih, tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Pagi keesokan harinya dia sudah tidak membalas pesan saya. Kemudian saya berkata, “Have a safe flight!” dan ternyata muncul tanda seru di chatnya, dia benar-benar sudah menonaktifkan aplikasinya. Tetapi tidak lama kemudian dia mengirim pesan lewat DM Instagram dan berkata bahwa pesan saya masuk, kemudian dia menghapus accountnya. Saya juga ikut-ikutan menghapus karena saya tidak tertarik dengan pria-pria yang masih chat selain dia. Kami chat beberapa hari di DM Instagram. Perasaan baper tidak jelas itu muncul lagi. Dia bercerita pesawatnya di-delay karena Gunung Agung meletus sehingga dia harus ke Surabaya dulu baru ke Jakarta dan lanjut ke Sydney. Ingin sekali rasanya bertemu dengannya ketika dia transit ke Surabaya.Singkat cerita dia sudah sampai di Sydney dengan selamat. Dia mulai kembali bekerja, dan di situlah chat kami juga berakhir. Sedih sekali rasanya. Tapi saya juga tidak mungkin terus-terusan chat dia apabila dia memang tidak ingin berkomunikasi dengan saya. Akhirnya saya mulai melupakan dia dan menjalani aktivitas saya seperti biasa. Di situ saya belajar bahwa bodoh sekali jika kamu baper pada orang yang bahkan belum pernah kamu temui, video call pun tidak pernah. Jangan membiarkan perasaanmu hanyut terlalu dalam pada orang yang bahkan belum kamu kenal dengan baik, ini merugikan dirimu sendiri. Pertanyaan itu tetap muncul dari orang-orang di sekitar saya, “Kapan Joss punya pacar?” tetapi saya tidak lagi sedih dan meratapi nasib apabila pertanyaan itu muncul. Saya tidak lagi berusaha mencari-cari cowok kesana kemari seperti yang saya lakukan dulu. Saya harus fokus memperbaiki dan menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, sehingga ketika pria itu datang, saya sudah siap. Saya semakin yakin bahwa Tuhan mempunyai rencana yang indah dalam hidup saya. Tuhan mau jodoh saya nanti adalah yang pertama dan terakhir. Tuhan tidak mau saya merasakan hancurnya patah hati dan hubungan putus nyambung seperti yang dialami oleh teman-teman saya. Tuhan tahu saya belum siap untuk itu semua sehingga Ia mempersiapkan saya terlebih dahulu sampai pada akhirnya pria yang tepat hadir dalam hidup saya.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading