Sukses

Lifestyle

Menunggu Jodoh, Cobaan Terberatnya Menghadapi Cibiran yang Menusuk Hati

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.

***

Usiaku 29 tahun. Mei tahun depan, usiaku telah menyentuh kepala tiga. Bagi sebagian besar masyarakat di kotaku, usia segitu sudah termasuk lebih dari sekedar layak untuk menikah. Alias sudah calon perawan tua. Tetapi pada kenyataannya, aku masih single. Jangankan menikah, pacar pun aku tak punya.

Secara penampilan, aku tidak termasuk buruk. Ya walaupun bukan high quality juga. Aku bertubuh kurus dan putih. Kata sebagian orang, aku cantik. Bukan memuji diri sendiri, tetapi kata mereka seperti itu. Aku bekerja sebagai pegawai honorer di salah satu sekolah negeri di kotaku. Aku bukan tipe orang yang kuper alias kurang pergaulan juga. Aku cukup aktif dan mudah bergaul. Mungkin karena aku juga sering tergabung dalam beberapa organisasi-organisasi sejak saat aku masih sekolah. Banyak yang mengira aku sangat mudah untuk mendapatkan seorang pasangan. Namun pada kenyataannya, hingga usia 29 tahun, aku masih sendiri.

Aku pernah hampir menikah di usiaku 23 tahun. Saat itu, aku dan pacarku ingin memutuskan untuk menikah. Orangtua dan keluarga besar kami pun sudah setuju. Kami juga telah saling mengenal seluruh keluarga besar kami masing-masing. Tak ada yang tak merestui. Hanya Tuhan yang tak mengizinkan kami untuk menikah saat itu.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/andrew le

Dalam perjalanan hubungan kami, tiba-tiba ada satu permasalahan yang tidak dapat kami selesaikan dan sepakati. Akhirnya, kami putus. Lalu setahun kemudian, dia menikah dengan perempuan yang aku kenalkan alias teman ku sendiri. Sekitar dua tahun setelah menikah, dia meninggal. Banyak yang berkata, “Tuh kan, Tuhan itu sayang sama kamu. Kalau kamu nikah sama dia,sekarang kamu pasti sudah jadi janda.” Entah harus bahagia atau harus bersedih, semuanya saat itu terasa campur aduk. Aku benar-benar mengikhlaskannya menikah bersama temanku. Aku hanya berharap perempuan itu bisa lebih membahagiakannya dibanding aku.

Beberapa tahun setelah putus dengannya, aku mencoba untuk membuka hati untuk yang lain. Aku berpacaran dengan seorang mahasiswa semester akhir. Usianya lebih muda tiga tahun dibanding aku. Di awal pacaran, kami sepakat bahwa di tahun pertama kami pacaran, dia harus menyelesaikan kuliahnya. Lalu di tahun kedua, dia meminta waktu untuk bekerja. Sembari mengumpulkan modal untuk kami menikah. Kami sepakat. Namun hanya beberapa bulan, kami putus. Aku tak tahan dengan sikapnya yang kekanakan. Kupikir, cukup aku saja yang manja dan kekanakan. Dia jangan.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/bjorn grochla

Beberapa bulan kemudian, aku menjalin hubungan baru kembali. Kali ini, usianya lebih muda empat tahun dibanding aku. Entah mengapa aku selalu menjalin hubungan dengan mereka yang berusia lebih muda dibanding aku. Hanya saja, kali ini dia adalah sosok yang jauh lebih dewasa daripada aku. Dia juga telah bekerja. Dia juga tak ingin hanya sekadar pacaran. Dia ingin menikah. Dan aku setuju. Namun, kali ini permasalahannya adalah restu orang tua. Ibunya menginginkan dia menikah dengan perempuan yang sukunya sama dengan keluarga mereka. Dan dia berkata, bahwa dia akan menuruti apa kata ibunya. Hatiku benar-benar terkoyak. Aku merasa didiskriminasi oleh suku. Akhirnya, kami memutuskan untuk mengakhirinya.

Banyak pengalaman buruk yang akhirnya membuatku enggan untuk mencoba menjalin hubungan yang baru. Setelah mama meninggal, aku lebih fokus untuk memikirkan dan merawat ayah dan adik lelakiku. Bukan aku tak ingin menikah. Hanya saja aku menyerahkannya kepada Tuhan saja. Biar Tuhan yang mengaturnya.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/david clarke

Terkadang aku juga merasa ingin menyerah. Apalagi cobaan terberat itu bukanlah menunggu jodohnya datang, tetapi cobaan untuk tetap sabar saat omongan orang-orang di sekelilingmu sudah mulai nusuk-nusuk di hati.

Di lingkungan kerjaku, didominasi oleh para orang-orang tua. Sudah pada memiliki anak bahkan memiliki cucu. Yang usia muda hanya sekitar 10 orang, termasuk aku. Usia mereka rata-rata lebih muda dibanding aku, ya hanya sekitar beda dua hingga empat tahun. Dan dalam waktu dua tahun belakangan ini, mereka bergantian membagikan undangan pernikahannya. Seolah seperti latah, menikah satu, lalu beberapa bulan kemudian disusul oleh yang satunya, kemudian yang satunya, lalu yang satunya lagi.

Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan, “Kapan menikah?” atau “Kamu kapan?” atau “Kapan bagi undangan?” dan pertanyaan lainnya yang setipe dengan pertanyaan tadi. Pertanyaan itu semakin sering terdengar. Baik itu dilontarkan di depan wajahku atau pun di belakangku.

Aku selalu biasa saja menanggapinya. Ya paling aku jawab, “Doain aja semoga cepet nyusul” atau “Nantilah masih nunggu jodohnya." Terkadang aku jawab juga dengan bercanda, “Belum nemu pasangannya nih, carikan dong,” atau, “Aku kapan ya? Kalau nggak Sabtu ya Minggu." Jawaban-jawaban yang berusaha untuk membuat suasana jadi tidak serius. Dan jawaban-jawaban yang sebenarnya berusaha untuk menenangkan hati sendiri.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/judy ann dayot

Aku tak akan marah jika hanya sekadar ditanya kapan menikah. Namun terkadang, yang justru menjengkelkan hati adalah ketika mereka harus men-judge kita sebagai perempuan perawan tua, perempuan tak laku-laku atau alasan-alasan yang mereka lontarkan sebagai penyebab aku belum menikah. Seperti berkata, "Belum nikah-nikah karena kebanyakan milih,” atau, “Terlalu keras kepala, jadi laki-laki banyak yang nggak suka.”

Bahkan ada yang pernah mengatakan di depan mataku, “Susah punya anak perempuan, kalau dia belum nikah-nikah jadi beban buat kita, malu.” Ya Tuhan, mendengar omongan-omongan seperti itu justru ingin membuat ku bertanya balik. “Benarkan situ punya Tuhan? Jangan-jangan hanya beragama tapi tidak percaya Tuhan.”

Sering kali mendengar perkataan seperti itu, justru semakin membuatku merasakan ngeri luar biasa. Ada begitu banyak orang yang merasa lebih tahu dibanding Tuhan. Mereka men-judge seenak mulut mereka tanpa memikirkan perasaan dari orang yang mereka singgung. Padahal mereka tak pernah tahu bagaimana usaha yang telah dilakukan oleh kami para pencari jodoh. Mereka tak pernah tahu seberapa seringnya kami memanjatkan doa kepada Tuhan. Mereka tak pernah tahu bagaimana tiap hari kami harus berusaha melapangkan hati kami untuk bersabar dan terus bersabar.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/zuza reinhard

Aku tahu aku tak mampu untuk menutup mulut mereka. Walaupun aku mampu, kupikir itu tak perlu dilakukan. Itu hanyalah sebuah kesia-siaan. Karena itulah pekerjaan mereka. Mengomentari hidup orang lain. Lebih baik kita menghindari untuk mendengar perkataan mereka. Dengan menghindari mendengar apa yang mereka katakan, akan menghindarkan kita juga dari keinginan untuk membalas berkomentar.

Aku bukan tak ingin menikah. Aku sangat ingin. Perempuan mana yang tak ingin menikah. Memiliki pasangan yang menjadi sandaranmu. Yang memperhatikan mu. Bahkan menjauhkan mu dari fitnah. Selain omongan orang yang suka nusuk di hati, fitnah-fitnah karena single pun terkadang tak dapat dihindari. Aku bahkan beberapa kali dilabrak oleh istri atau pacar orang.

Beberapa dari mereka mengatakan bahwa aku perhatian sekali dengan pasangannya. Padahal aku hanya berkata bahwa rokok itu tidak baik. Entah apa yang terjadi dalam rumah tangga mereka hingga hal seperti itu bisa menjadi sangat sensitif. Aku sendiri menjadi bingung harus bersikap baik seperti apa dengan mereka yang sudah memiliki pasangan. Sementara niat ku hanya mencoba berbuat baik pada siapa pun.

Aku sering kali lelah harus menanggapinya. Pertanyaan yang kepo dengan kehidupan pribadi aku, omongan-omongan jelek, hingga fitnah-fitnah. Aku selalu mencoba mengabaikannya. Aku selalu mengingatkan diriku untuk fokus menjaga ayah dan adikku. Dan pengalaman yang telah terjadi kepadaku membuatku semakin terus yakin dengan apa yang telah Tuhan tentukan.

Jodoh itu milik Tuhan. Tak ada yang mampu mengubahnya walaupun dipaksa-paksa. Aku hanya bisa bersabar dan terus memperbaiki diri. Yakin bahwa Tuhan menciptakan semuanya berpasang-pasangan. Terus menikmati setiap proses dalam hidupku. Kejutan Tuhan itu selalu datang di waktu yang tepat. If God is all you have, you have all you need.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading