Sukses

Lifestyle

Tak Usah Menahan Pria yang Tak Setia, Sebab Dirimu Punya Hak untuk Bahagia

Aku kembali mengingat betapa kata menjaga itu cukup menyakitkan. Bahkan janji tak cukup kuat untuk meyakinkan kata itu. Ya, mungkin sudah saatnya kumulai untuk bercerita.

Lima huruf, yang tak lain cinta, mulai bersemi dan menyatukan kami saat masih duduk di bangku SMA. Sebagian mengatakan itu cinta monyet, dan sebagian lainnya mengatakan bahwa cinta itu bisa kokoh karena sudah berada di jenjang menengah atas. Itu tidak perlu bagiku, yang pastinya tiap hari aku menikmati nuansa cinta yang indah bersemi.

Biarlah orang menilai bagaimana. Untuk remaja seusiaku, hal ini sangatlah biasa, apalagi masih puber-pubernya. Bisa kuceritakan sedikit sosok lelaki yang mampu memekarkan benih cinta yang ada di hatiku. Sosoknya yang tidak agresif alias pendiam menjadikan aku semakin penasaran cara dia mencintaiku. Ya, apalagi secara kasat mata, menurutku lelaki yang seperti itu akan lebih setia. Waktu terus berlalu, hingga kebersamaan penuh akrab yang hanya bisa kugambarkan di waktu SMA itu. Terlebih kami adalah teman sekelas.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/dung anh

Aku pernah ditanya pasal tipe lelaki idaman, namun aku tak bisa secara pasti mengatakannya. Menurutku yang penting nyaman dan saling menjaga sudah cukup. Aku sangat menomorsatukan kata "menjaga" dalam tiap hubungan. Karena menurutku menjaga benih cinta yang sudah terlanjur tumbuh bagaikan menjaga tanaman. Kau harus mampu menjaga dengan selalu memberikan asupan padanya. Demikian dengan hubungan percintaan, asupannya adalah menjaga hati masing-masing, mengokohkannya dengan komitmen, dan menghilangkan keegoisan dengan saling menerima. Dan kau tahu? Aku sepertinya telah menemukan itu dalam dirinya. Kau bisa saja setuju atau tidak setuju denganku, dan kau harus dengar ceritaku sampai habis. Karena di akhir aku akan perkenalkan kata menjaga versi cinta yang telah kualami sendiri dalam hidupku.

Waktu yang tidak bisa kuhentikan kembali menyeretku ke ujung masa-masa sekolah. Aku bersamanya masih bertahan hingga masa perpisahan sekolah itu tiba. Meski atas nama sekolah perpisahan telah terjadi, namun atas nama cinta kami semakin berkomitmen untuk saling menjaga. Kami tahu bahwa kami semakin dewasa demikian halnya dengan cinta kami. Cinta yang dewasa adalah cinta yang paham arti menjaga. Meski lelaki yang memikat hatiku ini selalu tampak diam, dia selalu menunjukkan sikap humoris di hadapanku. Berbagai hal yang bisa membuatku senang akan turut dia lakukan.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/katarina milosevic

Kebersamaan untuk saling mendukung terus terjalin di antara kami. Hingga kami sepakat melanjutkan masa depan dengan mendaftar di masing-masing perguruan tinggi yang berbeda. Bukan suatu masalah bagiku, karena duat tahun cinta yang telah terjalin di SMA telah cukup menjadi bukti betapa kata saling menjaga telah berhasil kami terapkan. Namun aku bukan orang munafik, aku tahu bahwa kata menjaga itu akan semakin kami butuhkan untuk mempertahankannya hingga nanti. Apalagi kami tidak akan menempuh pendidikan di tempat yang sama lagi. Ya jelas berbeda dengan waktu SMA dulu, di mana kelas mampu menyatukan kebersamaan diantara kami.

Hari demi hari terus berlalu, kami berdua bersyukur bisa diterima di universitas masing-masing. Tidak ada yang berbeda darinya. Masih dengan penampilan cuek diamnya. Terlebih lagi kalau dirinya datang menjemputku ke kampus, rata-rata temanku mengatakan bahwa ia adalah sosok yang cuek dan tidak ramah. Padahal menurutku dia tak seburuk itu, hanya saja dia tipe orang yang perlu kenal dulu baru bisa akrab dan menampakkan sifat aslinya. Kebersamaan dan komunikasi masih terjalin lancar. Kalau kabar-kabaran hampir tiap hari dan setiap ada kesempatan. Sampai terkadang aku menyempatkan komunikasi dengannya di sela-sela kegiatan kampus. Jelas saja hal itu mendatangkan ledekan teman-temanku. Biasanya tiada balasan lebih indah untuk ledekan itu kecuali senyuman yang merekah dariku.

Satu tahun tanpa masalah berarti menjadi pondasi kuat saat kami mulai dihantam kerikil-kerikil kecil di tahun berikutnya. Aku mulai merasakan kerisauan karena jadwal komunikasi kami yang semakin berkurang. Sebenarnya aku tetap meyakinkan diri bahwa itu hanyalah praduga keegoisanku saja. Aku juga mulai suka meminta saran kepada teman-teman terdekatku di kampus. Jelas saja mereka mengatakan hal yang sama dengan apa yang kupikirkan. Ah, entahlah, yang pastinya seorang wanita tak akan nyaman jika ada perubahan sikap dari orang yang disayanginya.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/yousef alfuhigi

Aku mulai merenungi apa yang kurasakan. Harapanku tetap sama, ya, berharap supaya ini hanya keegoisanku saja. Namun, dengan sebuah buku, aku mencoba membuat coretan perbandingan. Alhasil memang dia telah berbeda dengan yang sebelumnya. Setelah renungan itu, aku selalu meminta waktu agar bertemu. Benar saja, ketika bertemu aku langsung menanyakan kenapa ia sudah mulai jarang memulai komunikasi denganku. Tiap harinya, akulah yang selalu menghubunginya lebih dahulu. Ya, alasannya memang bisa tertebak sebagaimana alasan-alasan yang dipertontonkan di ftv yang sering ku tonton. Meskipun begitu, hatiku lumayan lega karena dia masih berusaha meyakinkan aku akan alasan itu. Kutatap matanya dan berharap ia tak lupa kata "menjaga" yang harus selalu ada di antara kami.

Sudah bisa menerima perubahan sikap darinya malah membuatku semakin tak nyaman dan mulai menaruh kecurigaan. Karena kecurigaan ini pula lah aku dan dirinya sering bertengkar. Pertengkaran demi pertengkaran pun tidak bisa dihindarkan, aku semakin greget dengan sikapnya dan mulai menelusuri apa saja yang telah ia lakukan dibelakangku. Mulai dari nanya-nanya dengan temannya hingga stalking akun-akun medsosnya.

Hingga suatu hari aku tahu, hal menyakitkan untuk tipe wanita seperti aku. Dia menjalin komunikasi dengan wanita lain. Wanita itu merupakan teman kampusnya. Jelaslah mereka selalu jumpa. Tidak sangkanya diriku dengannya, diamnya yang mengelabuiku. Komunikasi yang mulai terhambat karena dia tak lagi menjaga cinta itu seutuhnya. Hal yang membuatku semakin geram adalah, saat itu kami break, otomatis aku merasa seperti digantung oleh ketidakpastian. Alasannya tidak lain karena ingin memperbaiki diri masing-masing. Hari-hariku mulai buram karena hal itu. Aku tak sabar langsung menemuinya dan meminta penjelasan akan hal yang telah kudengar itu. Hingga akhirnya pertemuan yang tak kuinginkan terjadi.

Suasana saat itu kebetulan mendung ditambah gerimis. Namun perasaan dan hatiku terlanjir bergejolak, hingga aku tak bisa menahan langkah untuk menemuinya. Aku beranjak dari kos kosan menuju rumah kos nya. Kedatanganku pun tanpa sepengetahuannya.

"Tok...tok...tok...," aku mulai mengetuk pintu kosnya. Seorang lelaki yang merupakan teman kosnya datang menghampiriku. Tanpa bertanya lagi, dia langsung memanggil kekasihku itu karena mereka tahu bahwa aku adalah ceweknya.

"Fauzan! Fauzan!" panggil temannya. Tak berapa lama keluarlah dia. Dengan tatapan sedikit bingung dia langsung mengajakku duduk di sebuah bangku di depan kos kosannya. Aku masih membungkan dalam ribuan kalimat yang rasanya sudah ingin kusampaikan. Aku masih menunggu kalimat pertama yang akan dilontarkannya.

"Ngapain ke sini?" ucapnya.
"Jumpa sama kamu dan minta penjelasan kamu," aku mulai berbicara dengan nada tegas.
"Penjelasan apa?" ucapnya kembali.
"Sini, aku mau lihat handphone kamu. Sini," sambil mengulurkan tanganku.
"Ada apa dengan handphoneku? Nggak ada apa-apa di sini," ucapnya dengan nada meyakinkan diriku.
"Kamu keberatan? Sini aku bilang ya sini," sambil menarik handphone dai tangannya.
Untung saja handphone-nya tidak terbanting karena kerasnya rampasan tanganku.

Kulihat dirinya mulai tidak karuan dan menunduk. Kau tahu? Apa yang kutemukan? Yang kutemukan adalah benarnya dugaanku. Ada komunikasi yang terjalin di belakangku. Komunikasi dengan wanita lain. Saking emosinya, aku sampai menghubungi wanita itu, namun dia menghalang-halangiku saat itu. Saking emosinya saat itu, aku sampai menampar dirinya. Tamparan yang menurutku tak seberapa jika dibandingkan dengan sakitnya perasaanku saat itu. Mendaratnya tamparan itu, menjadi akhir pertemuan piluku dengannya pada hari itu. Hujan mulai turun, menyatu dengan air mata yang tidak bisa lagi kubendung.

Kau lihat sakitnya keadaan yang menimpaku? Di mana aku bisa menemukan kata menjaga itu? Sementara dalam penjagaan itu tidak ada kata saling. Tidak seimbang, ada yang goyah. Pendiam, setia, cuek, menjaga, saling, komunikasi mulai hancur dan memudar dalam hidupku. Tanpa komunikasi, perjumpaan yang diakhiri dengan pertengkaran, status hubungan yang tidak jelas, membuatku semakin tersiksa. Aku tak bisa konsentrasi belajar di kampus. Pikiranku hanya ada pada masalah percintaanku itu. Tiada hal yang lebih kubutuhkan saat itu selain kejelasan status hubungan kami.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/robin benzrihem

Dengan tekad dan keberanian diri, aku kembali menghubunginya. Meminta waktu untuk bicara berdua dengannya. Dengan susah payah aku menghubungi dan mengusahakan agar pertemuan itu segera terjadi. Akhirnya usahaku pun berhasil. Pertemuan itu terjadi. Masih dengan luka yang sama, aku memantaskan diri untuk bertanya tentang status hubungan kami.

Di situ aku jujur mengungkapkan isi hatiku yang sangat menolak ketidakjelasan status hubungan kami. Aku merasa, dengan menggantung status hubungan seperti itu, menjadikan diriku semakin tersiksa. Lagi-lagi aku menanyakan kepadanya apa yang ia harapkan dari status hubungan kami saat ini. Jawaban konyol itu kembali muncul. Dengan alasan memperbaiki diri, dia nyaris mengakhiri binaan kasih yang telah terjalin.

Suasana saat itu cukup mencekam meski hari tidak terlalu larut malam. Perdebatan lebih hebat terjadi malam itu, derai air mata turut membasahi pipiku. Hingga kami berakhir di sebuah pilihan. Ya, aku memberi pilihan padanya. Jika ia pergi dari tempat itu, berarti ia telah memutuskan binaan kasih yang terjalin selama ini. Kau tahu apa yang terjadi? Dia memilih pergi dari tempat itu dan meninggalkanku.

Tiada yang bisa kurasakan saat itu kecuali sakitnya ketulusan yang telah kurajut selama ini. Semua musnah ditelan keegoisan yang memihak. Kata menjaga yang kujaga selama ini telah timpang dan tak lagi seimbang. Waktu dan kebersamaan yang tak lagi sama telah menggerusnya pergi.

Akhirnya aku tahu bahwa menjaga dalam sebuah jalinan kasih bukanlah hal yang mudah, semua butuh pengorbanan dan komitmen. Satu lagi hal yang perlu diingat bahwa apapun dugaan yang kau alamatkan kepada pasanganmu, tidak akan bisa mengukur seberapa besar kesetiaan yang ia miliki.

Teruntuk NHT. Bersabarlah, cinta yang indah akan menanti.






(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading