Sukses

Lifestyle

Untuk Suamiku Tersayang, Tetaplah Bersamaku dalam Suka dan Duka

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Pernikahan adalah awal baru dari sebuah kehidupan. Kehidupan yang sesungguhnya. Menjalani biduk rumah tangga bersama seseorang yang tadinya hanya kita ketahui sisi baiknya saja. Menyatukan dua hati dalam satu cinta. Menyatukan pola pikir dan sudut pandang yang berbeda. Melebur keegoisan dan belajar meredam amarah.

Pernikahan bertujuan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis semata tetapi menyempurnakan separuh agama. 06 Februari 2011 adalah awal yang baru bagiku. Saat di mana kuserahkan seluruh hidupku pada seorang lelaki pilihanku sendiri. Berharap doa restu dari bapak dan ibu menjadi kunci dari sebuah pintu yang mengantarkanku melangkah untuk mengarungi bahtera rumah tangga.

Masa-masa indah bulan madu kami berlalu begitu cepat, berakhir bersama habisnya masa cuti suami yang hanya 10 hari. Suamiku adalah orang yang sangat bertanggungjawab. Dia termasuk orang yang sangat tekun dengan pekerjaannya. Bahkan tak jarang hatiku menjerit memohon sedikit perhatian darinya. Tapi semua kukubur hanya dalam hatiku saja.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com/jeremywongweddings

Tak jarang pula aku tergugu di sudut ranjang memandang wajahnya yang lelap karena kelelahan. Oh, seperti inikah dirimu yang sesungguhnya? Sungguh bukan seperti ini lelaki yang kukenal dulu. Bukan pernikahan seperti ini yang kuimpikan. Dan aku semakin merasa kesepian setiap kali dirinya menghabiskan waktu libur dengan kesibukannya sendiri. Seolah aku tak ada artinya.

Seringkali aku mengalah saat perhatiannya teralih oleh game, komik ataupun acara televisi favoritnya. Dalam hatiku merutuki, seandainya dulu aku tidak berhenti bekerja mungkin aku tidak akan merasa kesepian seperti ini. Aku akan sering bertemu dengan orang-orang baru, memiliki banyak waktu bersama teman-temanku dan banyak aktivitas lainnya yang kulakukan di luar sana. Tidak terbelenggu oleh kesunyian yang seperti merantai setiap langkahku.

Penyesalan itu semakin menggedor-gedor hatiku manakala ada yang bertanya, “Kenapa tidak bekerja?” diikuti dengan komentar pedas “Sia-sia sekolah tinggi kalau ijazah cuma disimpan dalam lemari, masih berguna bungkus kacang. Cuma buang-buang uang. Kalau tahu bakalan ndak kerja, mending dulu sekolah cuma buat tahu baca sama nulis aja, SD aja cukup.” Dan masih banyak sederet komentar lainnya yang tak kalah menyakitkan. Kalau hanya aku yang mendengar hal itu mungkin aku tidak akan terlalu mengambil hati, tapi saat kalimat-kalimat seperti itu mampir di telinga orang uaku rasanya seperti seribu pisau ditancapkan di hatiku.

Menjadi ibu rumah tangga full time bukanlah keputusan yang mudah bagiku. Keputusan itu kuambil dengan pemikiran yang matang dan jernih. Aku tidak mau menjadikan orangtuaku sebagai babysitter bagi anak-anakku lantaran aku tidak bisa memercayakan mereka pada orang lain. Sudah cukup keletihan mereka merawat dan membesarkanku dulu. Ini saatnya aku menerapkan apa yang sudah mereka ajarkan padaku. Inilah bentuk pengabdianku. Please... jangan buat aku menyesali keputusanku. Hatiku menjerit dalam diam.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com/jeremywongweddings

Suamiku semakin sibuk dengan pekerjaannya. Seiring waktu aku seakan terbiasa. Bahkan aku tak banyak protes saat kulahirkan anak pertama kami tanpa kehadirannya di sisiku. Kelahiran putra kami membawa banyak kebahagiaan. Rezeki kami semakin berlipat. Suamiku naik jabatan diiringi kenaikan gajinya yang lebih dari cukup untuk kehidupan kami. Selain itu kami juga membuka usaha kecil-kecilan untuk memberikanku kesibukan.

Kami pun akhirnya mampu membangun sebuah rumah dari hasil jerih payah kami sendiri. Kami sadar tidak baik untuk terus tinggal bersama orangtua. Kami ingin mandiri dan itulah langkah awal yang kami lakukan.

Memasuki tahun ketiga pernikahan, Allah memberi kepercayaan pada kami untuk kembali memiliki buah hati. Tapi sebuah kecelakaan lalu lintas hampir merenggutnya dari kami saat kandunganku menginjak usia tujuh bulan. Aku bedrest hampir sebulan penuh. Semacam pertanda buruk, segalanya berubah sejak saat itu.

Pekerjaan suamiku tidak lagi lancar seperti sebelumnya. Kebijakan pemerintah yang membatasi ekspor batubara membuat perusahaan tempatnya bekerja menjadi goyah. Seperti menunggu bom waktu yang akan meledak, akhirnya surat pemutusan hubungan kerja suamiku kami terima dibarengi dengan penonaktifan seluruh kegiatan perusahaan. Suamiku akhirnya resmi menjadi pengangguran tepat saat kelahiran anak kami yang kedua.

Usaha sampingan kami pun ikut kena imbasnya. Pengangguran di mana-mana membuat usaha tersebut menjadi sepi. Sebelumnya, menjelang proses persalinanku, kami memercayakan usaha tersebut untuk dikelola oleh seorang teman. Tapi hati orang siapa yang tahu. Sungguh tega, orang itu justru menghilang dan membawa kabur hasil usaha. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Usaha kami bangkrut dan suamiku adalah seorang pengangguran.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com/carissarogers

Semenjak itu suamiku menjadi sering uring-uringan dan sangat pemarah. Sedikit kesalahan kecil saja mampu membuat kami bertengkar dan saling mendiamkan selama berhari-hari. Tentu hal ini bukan hal yang sehat bagi hubungan kami. Komunikasi kami semakin terbatas karena suamiku menjadi lebih irit bicara. Aku tidak mau melihatnya terpuruk seperti itu, kuyakinkan dirinya untuk bersabar dan terus berusaha.

Suamiku kembali menebar lamaran pekerjaan di beberapa perusahaan. Tapi dari beberapa perusahaan itu justru menolak secara halus dikarenakan latar belakang dan jabatan suamiku di pekerjaan sebelumnya. Selama suamiku menganggur, kami menyambung hidup dengan uang pesangon suami dan sedikit tabungan kami sambil menunggu panggilan kerja.

Sering kukatakan biar aku yang bekerja, untuk sementara waktu, paling tidak sampai suami mendapatkan pekerjaan. Tapi dirinya tidak pernah memberikan izin. Mungkin sebagai lelaki dia takut harga dirinya jatuh karena istrinya yang mencari nafkah. Padahal bagiku sudah sepatutnya suami istri bahu-membahu dalam menghadapi setiap kesulitan. Bukankah seperti itu seharusnya seorang teman hidup? Untuk saling melengkapi, menutupi kekurangan satu sama lain.

Setahun berlalu, tetapi suami masih belum mendapatkan pekerjaan. Tabungan kami semakin menipis. Pernah suatu kali aku menagih utang pada seorang yang masih ada hubungan ‘keluarga’, itupun karena sudah terdesak. Tapi jawaban yang kuterima sungguh menyakitkan. Bukannya mendapatkan kembali hakku,aku malah mendapatkan hinaan. Aku tidak mendapatkan apa-apa selain rasa sakit hati. Tak pernah kuharapkan banyak sewaktu ‘menolongnya’ dulu. Aku hanya berharap saat aku yang menghadapi kesulitan, dia akan berbalik memberikan pertolongan. Ternyata kenyataan berbanding terbalik dengan harapanku.

Saat kami mulai merasa putus asa, akhirnya suami mendapatkan info lowongan pekerjaan dari sebuah situs di internet. Suami kembali mencoba peruntungannya. Dengan berbekal pengalaman kerja terdahulu, suami mengirimkan lamaran ke perusahaan yang dimaksud. Seminggu kemudian suami mendapatkan panggilan kerja dari perusahaan tersebut. Sayangnya perusahaan tersebut hanya mempunyai lowongan yang sesuai dengan skill suami di anak perusahaan yang berada di Pontianak.

Suami akhirnya diminta untuk membayar sejumlah biaya tertentu yang ‘katanya’ untuk akomodasi dan penginapan selama pelatihan di sana. Tak pernah terlintas pikiran buruk sebelumnya, entah karena keputusasaan atau terlalu bahagia karena mendapatkan pekerjaan baru. Kami lengah dan baru menyadari kalau telah menjadi korban penipuan setelah suami mentransfer sejumlah uang yang diminta tersebut.

Tabungan kami terkuras, nyaris habis. Ini adalah kesekian kalinya kami terjatuh dan tertimpa tangga. Saat itulah suamiku yang ‘kuat’ menumpahkan kesedihannya di pelukanku. Pertahanannya roboh. Dia menangis tersedu-sedu, hal yang sebelumnya tidak pernah dilakukannya di hadapanku. Tak bisa kukatakan bagaimana perasaanku saat itu, semua rasa bercampur aduk menusuk-nusuk hatiku.

Jauh di dalam hati akhirnya timbul sebuah pertanyaan, “Apakah kesalahan kami sehingga Dia memberikan kami cobaan seberat ini?” Demi menguatkan hatinya, kutahan sekuat hati agar air mataku tidak berjatuhan di hadapannya. Kukatakan bahwa ini semua akan segera berlalu dan akan ada kebahagiaan jika kami ikhlas. Aku yakin ada berlipat-lipat kebahagiaan menanti kami di balik musibah yang berturut-turut ini. Ada rencana indah yang sudah disiapkan-Nya untuk kami. Aku yakin.

Pertengahan Mei 2016, suami kembali mendapatkan panggilan kerja. Kali ini bukan dari perusahaan batubara lagi, melainkan dari sebuah organisasi kemanusiaan. Setelah melewati berbagai tes, suami akhirnya dinyatakan lolos seleksi dan diterima bekerja dengan posisi sebagai sopir. Alangkah bahagianya kami. Kami berpelukan erat sambil tak henti-hentinya mengucap  syukur. Alhamdulillah, segala puji bagi-Mu ya Allah.

Jangan tanya seberapa besar perbedaan penghasilan kami per bulan saat ini. Sungguh jauh bila dibandingkan dengan masa lalu. Yang tadinya menjabat sebagai supervisor saat ini beralih menjadi seorang supir. Tapi kebahagiaan yang kurasakan saat ini jauh lebih besar. Suami saat ini punya lebih banyak waktu untukku dan anak-anak kami. Suami menjadi orang yang lebih ceria dan murah senyum. Suamiku juga menjadi orang yang lebih sabar dan perhatian.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com/nikstam

Ah, kebahagiaan itu ternyata sederhana. Tak perlu mencarinya jauh-jauh, karena kebahagiaan itu letaknya pada hati yang dipenuhi rasa syukur. Dan kami akhirnya sama-sama menyadari bahwa materi bukanlah hal yang mendatangkan kebahagiaan meskipun tak dapat dipungkiri bahwa materi adalah salah satu hal penting dalam kehidupan ini. Kebersamaan kami untuk saling menguatkan dalam menghadapi segala rintangan itulah yang paling penting. Dan komunikasi yang baik adalah kuncinya.

Satu lagi yang kami pelajari, jangan sekali-kali meremehkan utang. Jangan sampai orang yang tadinya ikhlas menolong menjadi teraniaya karena kita menyepelekan masalah utang tersebut. Seberapapun besarnya utang tersebut, meskipun itu hanya sekedar janji. Karena masalah utang itu juga akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.

Untuk suamiku tersayang, tetaplah bersamaku dalam suka dan duka. Dengan bergandengan tangan kita akan saling menguatkan. Jangan pernah merasa sendiri saat menghadapi kesulitan karena aku akan selalu ada untukmu. Dengan cinta kasih kita besarkan dan ajarkan anak-anak kita agar selalu dekat dengan Penciptanya.

Dalam diam, doaku akan selalu menyertai langkahmu. Biar hanya Allah yang tahu. Bersama kita bangun keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Semoga keberkahan dan kasih sayangNya selalu mengiringi langkah kita. Aamiin Allahumma aamiin.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading