Sukses

Lifestyle

Cinta adalah Ujian Kesabaran, Baru Dikaruniai Anak Setelah 8 Tahun Menikah

Kisah cinta kami tidaklah seromantis kisah Dilan – Milea, tokoh film Indonesia yang sekarang sedang digandrungi anak muda. Tidak juga setragis kisah Romeo dan Juliet, tokoh klasik karangan William Shakespeare yang mati sia-sia. Tapi kami punya cerita sendiri yang sederhana dan ini ceritanya.

25 tahun yang lalu, aku dipertemukan dengan dia yang kini menjadi ayah dari putera semata wayangku. Tak terbersit sedikit pun orang yang mengetesku saat wawancara kerja itu kelak menjadi pendamping hidupku. Sosok lelaki berkacamata yang serius dan kaku menurutku. Setelah wawancara itu, aku pun jarang bertemu karena aku ditempatkan di kantor proyek sedangkan dia di kantor pusat. Kami hanya sesekali bertemu di kantor pusat karena memang aku ada urusan di sana.

Namun setelah setahun berlalu, terlihat ia lebih sering ke kantor proyek. Kadang menemuiku sekadar memberikan gantungan kunci dari beberapa negara. Aku menganggapnya pemberian biasa saja, tidak ada yang istimewa karena memang tidak memiliki perasaan khusus padanya. Sampai seorang teman kantorku bilang kalau itu adalah sinyal-sinyal yang menandakan orang itu suka padaku.

Ternyata benar apa yang dikatakan teman kantorku kalau lelaki pewawancara itu suka padaku, karena tak lama setelahnya dia memberikan kertas yang bertuliskan penyataan bahwa dia suka padaku. Aku pun terkejut membacanya. Aku tidak suka. Seketika kertas itu kuremas dan kubuang ke sebuah tempat sampah di jalanan dekat rumah.

Aku tidak tahu kenapa aku tidak menyukainya. Mungkin karena dia bukan tipeku. Atau karena banyak yang bilang hal buruk tentang dia. Entahlah. Esoknya dia meneleponku, menanyakan perihal surat yang kubuang itu. Aku berkata jujur padanya, sekaligus minta maaf karena aku tidak punya perasaan suka padanya dan menganggapnya sebagai teman biasa, tidak lebih. Dia bilang dia akan menunggu sampai perasaanku berubah menjadi suka padanya.

Tekad dia untuk meluluhkan hatiku sungguh membuatku terkesima. Sebuah Compact Disk yang bisa dibaca melalui program komputer lengkap dengan langkah-langkah penggunaannya diberikan padaku pada suatu hari. Dia memintaku membukanya di rumah. Dan wow, aku terkesan. Sebuah tulisan berjalan, berkelap kelip dengan indahnya di layar monitorku, “Aku Suka Kamu”. Di bawahnya terpampang bait-bait puisi yang indah. Belakangan aku tahu bait-bait itu adalah lirik lagu berjudul Adinda, karya grup musik Bimbo.
“Adinda oh sayang adinda
Namamu tiada duanya
Adinda oh sayang adinda
Dikau intan permata…..”

Awalnya tidak suka./Copyright pixabay.com

Dia memang menyukai lagu itu. Sejak saat itu dia selalu memanggilku Dinda. Katanya nama itu lebih cantik buatku daripada nama pemberian orangtuaku yang seperti nama anak lelaki.

Sembilan bulan kemudian dia melamarku. Awalnya aku menolaknya bukan karena tidak yakin untuk menikah dengannya. Tapi karena lebih kepada keinginanku untuk memilih berkarier dulu. Apalagi usiaku yang masih terbilang muda, 22 tahun. Usianya terpaut lima tahun lebih tua dariku. Menurutku jika menikah nanti, lalu punya anak, aku akan kerepotan dalam berkarier. Dia pun berhasil membujukku untuk menikah secepatnya dengan berjanji tidak akan memaksaku untuk segera punya anak sampai aku siap.

Singkat cerita, kami menikah dengan pesta yang sederhana karena kami sama-sama bukanlah berasal dari keluarga berada. Yang kutahu ayahnya meninggalkannya sejak kecil. Cuma ibunya yang menjadi sandaran hidupnya. Ibunya bekerja serabutan demi membiayai dirinya dan dua orang adiknya di kampung. Untungnya dia bekerja, sehingga dia bisa menyisihkan sebagian gajinya untuk keluarganya itu.

Ujian pertama dimulai. Rencana kami untuk memiliki buah hati di tahun kedua pernikahan telah gagal. Sepertinya Allah marah pada kami yang menunda-nunda untuk mempunyai momongan. Tahun ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh pun berlalu. Doa kami masih belum dikabulkan. Aku hampir putus asa. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak orang yang mencibirku. Aku dianggap tdak mampu menjadi seorang ibu. Aku jadi malas datang ke undangan pesta pernikahan, pertemuan keluarga, arisan atau reuni teman sekolah. Aku malas menjawab pertanyaan yang sama, “Kapan punya anak?”

Menanti./Copyright pixabay.com

Beberapa teman memberiku saran untuk mengadopsi anak, berobat ke dukun bahkan yang paling menyedihkan adalah menyuruh suamiku menikah lagi. Namun aku hanya bisa menangis dan menangis saat itu. Suamiku lah yang setia mendampingiku, membesarkan hatiku untuk selalu sabar menghadapi mereka. Dia berjanji akan selalu ada di sampingku meskipun nantinya aku divonis tidak bisa punya anak. Aku pun percaya padanya.

Buah kesabaran itu akhirnya datang di tahun kedelapan. Yang Maha Kuasa telah menitipkan sebentuk janin di rahimku. Betapa bahagianya kami. Di bulan September 2003, bayi mungil kami lahir. Sebuah nama yang indah sudah kupersiapkan untuknya. Kini, berkat kehadiran putra kami, tidak ada lagi suara-suara sumbang yang dulu seringkali menggangguku. Terima kasih ya Allah.

Kesabaran berbuah manis./Copyright pixabay.com

Tak terasa tahun ini pernikahan kami memasuki tahun ke-23. Rambut kami sudah sama-sama memutih dan kulit kami sudah sama-sama keriput. Suamiku masih tidak berubah, dia tetap setia mendampingiku, memijitku kalau aku lelah, menggodaku kalau aku marah, mengajakku jalan-jalan kalau aku suntuk di rumah. Dan masih setia memanggilku “Dinda”. Jangan-jangan dia lupa namaku yang sebenarnya.

Perjalanan kami masih panjang, tapi kami berjanji untuk saling menyayangi karena Allah. Semoga kami kuat, tabah dan sabar menghadapi segala ujian, cobaan dan rintangan yang datang nanti. Semoga.




(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading