Sukses

Lifestyle

Pertanyaan Kapan Nikah Itu Membuat Hubunganku dengan Ibu Jadi Tak Nyaman

Kisah salah satu sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Stop Tanya Kapan ini mungkin juga dialami oleh orang-orang di sekitarmu. Soal pertanyaan kapan nikah yang kadang sangat mengganggu, bahkan sampai membuat hubungan dengan orang tua jadi tidak nyaman.

***

“KAPAN?”

Tak terhitung berapa puluh senyuman yang aku lempar, candaan-candaan untuk menjawab pertanyaan favorit orang Indonesia kepada kami perempuan atau laki-laki yang sudah berumur 29-30 tahun atau lebih. Serba salah rasanya ketika ditanya apa aku punya pacar, dijawab jujur tidak ada mereka tidak percaya, "Ah, masa kaya kamu nggak punya pacar?" Dijawab agak-agak ngawur, “Ada yang deket sih tapi belum serius,” padahal aslinya semua cuma teman dekat saja tidak pernah lebih. Mereka lebih percaya dan ujungnya menyalahkan, katanya aku terlalu pemilih. Aku selalu berkata pemilih itu kalau ada yang dipilih, kalau tidak ada yang dipilih itu namanya... .

Dalam kasusku ini walaupun punya banyak teman laki-laki tapi tidak satupun yang pernah mengajak serius. Sebagai cucu terakhir yang belum nikah dan terancam dilangkahi oleh cicit pertama aku juga pernah diberondong, “Ayo dong cepetan nikah, kapan nih?” dan aku menjawab totally desperate, “Jangan nanya terus dong. Aku sudah usaha, tidak pernah putus doa minta jodoh, nongkrong di tempat yang ramai berharap ketemu jodoh, minta dikenalin, flirting, sampai traveling kemana-mana siapa tahu di tempat itu jodohku. Tapi entah kenapa sampai sekarang belum nikah juga.” Semenjak itu mereka tidak lagi bertanya. Kebanyakan aku tidak terlalu peduli dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Belum nikah di usia 30 tahun, berdosakah?/Copyright pixabay.com

Kebetulan beberapa waktu terakhir ini aku kembali mendapat pertanyaan itu, di titik inilah aku merasa orang-orang yang seenaknya terus menanyakan “kapan nikah”  lalu meninggalkan pendapat sarkasme mereka dengan tidak bertanggung jawab adalah orang-orang jahat yang sudah tertutup hati nuraninya.

Yang pertama adalah teman serumahku, dia seumuranku, ibu dua anak. Suatu siang, saat kami makan siang bersama di rumah, kami mulai mengobrolkan tentang relationship. Dia pun bertanya kapan aku akan menikah, dan aku menjawab aku tidak tahu doakan saja secepatnya, tahun ini. Dia mulai membandingkan aku dengan dirinya yang sedari dulu punya cita-cita menikah muda dan akhirnya kesampaian. Dia punya pernikahan bahagia dengan dua anak yang lucu. Lalu aku mencoba jujur padanya bahwa aku yang sebenarnya tidak mempunyai keberanian untuk berkomitmen. Komentar darinya sungguh membuatku sulit menelan nasi di tenggorokanku, “Aneh banget ya. Mungkin ada yang salah di kamu. Aku tuh nggak habis pikir dengan kalian yang punya pemikiran hidup mandiri itu asyik. Apa enaknya hidup melajang lama-lama? Kalau aku sih nggak bisa hidup tanpa pasangan. Asal kamu tahu, punya pasangan itu enak lho.”

Dia menambahkan aku harus cepat-cepat menikah dan jangan lupa mengundangnya agar dia ada alasan untuk sekalian liburan bersama suami dan anak-anaknya. Duh! Pembicaraan ini tidak selesai di situ, saat sore kami bertemu di dapur ia menceritakan seorang teman prianya yang umurnya sudah hampir 40 tahun tapi belum juga menikah. Banyak teman yang sudah menjodohkannya tapi tidak pernah ia seriusi, lalu aku berkata, "Tidak semua orang merasa nyaman bertemu orang lewat perjodohan. Mungkin dia tipe orang yang lebih suka bertemu pilihannya sendiri.” Dengan cepat ia menampik, “Ah enggak, emang dia aneh. Kelainan kayaknya, masa umur udah expiredgitu belum juga mau nikah. Apalagi yang dia tunggu?”

Aku langsung menghela napas panjang. Astaghfirulloh. Kenapa dia bisa men-judgeorang segampang itu padahal dia tidak pernah tahu alasan di baliknya. Mungkin seperti ini kebanyakan pemikiran orang, kalau lama tidak menikah-menikah orang tersebut akan dicap kelainan seperti homo/lesbian. Tapi aku tidak tertarik berdebat dengannya karena aku tahu betul pembawaannya yang lebay dan reaktif. Aku segera membawa cangkir tehku ke dalam kamar. Sakit hati pasti tapi aku memilih melupakannya.

Yang kedua, suatu sore aku sedang menyapu halaman rumah orang tuaku di Surabaya. Tetanggaku yang baru menikahkan anak perempuannya yang usianya 4 tahun lebih muda dari aku menyapa dengan bertanya ke mana saja aku tidak pernah terlihat lalu bertanya apakah aku sudah menikah dengan mimik wajah ikut prihatin. Bukan kali itu aku melihat wajah-wajah antara prihatin dan nyinyir dari para tetangga.

Sebelumnya sebulan sekali aku pulang ke rumah orang tuaku, namun setelah banyak melihat dan mendengar komentar “telat kawin” itu aku memutuskan mengurangi intensitas kepulanganku demi menjaga perasaan orang tuaku terutama ibu. Khawatir dengan kehadiranku orang-orang akan sering bertanya, “Kapan Ratih nikah?”

Hubunganku dengan ibu jadi terasa tidak enak./Copyright pixabay.com

Kemudian suatu saat karena hampir 3 bulan aku tidak pulang, ibu menelepon menanyakan kabarku. Kami mengobrol banyak lalu beliau menyinggung tentang rencana pernikahan anak tetanggaku yang lain, saat aku bertanya detail rencana pernikahan itu pada ibuku, beliau menjawab tidak tahu. Aku terheran, karena tetanggaku ini salah satu tetangga yang dekat dengan orang tuaku dulu.

Lalu ibuku berkata bahwa sudah jarang keluar rumah. Aku tahu betul ibuku suka mengobrol dengan para tetangga apalagi sekarang ketika sudah tidak aktif bekerja lagi. Lalu aku bertanya kenapa jarang keluar rumah? Apa karena sering ditanya kapan anak bungsunya nikah. Ibuku mengelak, beralasan sedang malas saja keluar rumah. Tapi aku yakin itu penyebabnya, aku menghela napas lalu memintanya untuk bersabar.

Di situ ada keheningan di mana kami tidak bisa berkata, sebelum akhirnya kami mengakhiri pembicaraan. Aku tersadar bahwa pada akhirnya orang-orang ini akan menyakiti orang tuaku. Aku merasa gagal menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dengan memberi mereka cela karena belum juga menikah di umurku yang sudah 30 tahun ini.

Kenapa orang-orang ini tidak menimpakan semua pertanyaan itu kepadaku saja? Aku selalu merasa mampu melalui hal terburuk yang bisa menimpaku. Kenapa karena belum menikah membuatku seperti pelaku kriminal dan menanggung aib besar sampai-sampai bisa mengganggu komunikasi anak dan orangtuanya.

Semua orang pasti menginginkan sesuatu yang baik hadir tepat waktu seperti umumnya orang lain. Namun, jika memang belum waktunya dan kami sedang berproses mencapainya maka dukunglah kami dengan tidak memojokkan kami.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading