Sukses

Lifestyle

Suami, Baca Ini Dulu Sebelum Kamu Memutuskan Berpoligami

Cerita perceraian penceramah Ahmad Al Habsyi dengan Putri Aisyah Aminah belum usai. Meski Al Habsyi masih mau melakukan mediasi, Putri Aisyah tetap ngotot bercerai.

Alasan Putri Aisyah cukup kuat, pasalnya ia merasa dibohongi. Sebelas tahun mereka membangun rumah tangga, ternyata tujuh tahun di antaranya disisipi oleh poligami. Aisyah pun baru tahu ada madu dalam pernikahan mereka pada setahun belakangan. Sakit hati dan terluka, Aisah menggugat cerai ke Pengadilan Agama Jakarta Timur, dengan nomor perkara 0478/pdt.G/2017/PAJT pada Februari 2017.

(Baca: Poligami Itu Pilihanmu, Tapi Jangan Bohongi Aku)

Namun demikian, pihak Al Habsyi tak mengungkap alasan poligami dalam proses mediasi yang tengah mereka jalani. Hal ini diungkapkan oleh Sandi Arifin, sebagai pengacara Al Habsyi.

"(Alasan poligami )itu belum masuk ke materi. Di dalam tadi kita masih bicara mengenai bagaimana caranya mencoba untuk memediasikan antara klien kami dan mbak Putri," ujar Sandi Arifin, pengacara Al Habsyi saat ditemui di Pengadilan Agama Jakarta Timur, Ciracas, Rabu (29/3), seperti Kapanlagi.com.

Mengapa poligami sebegitu menyakitkan?

Menurut Pingkan C. B. Rumondor, Psikolog Klinis Dewasa dan Dosen di Jurusan Psikologi, Binus University, Jakarta, penelitian evolusi menemukan bahwa manusia bukan makhluk yang monogami (setia pada satu pasangan) secara genetik. Manusia adalah makhluk yang lebih ke social monogamy, yaitu monogami karena norma sosial. Salah satu bentuk monogami sesuai norma ialah pernikahan.

"Dalam hukum, setidaknya hukum perkawinan di Indonesia, pernikahan dilihat sebagai persatuan suami dan istri untuk membangun keluarga. Dari sudut pandang psikologi, pernikahan menjadi sarana pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang, dan sarana berbagi tanggung jawab dan saling mendukung menjadi orangtua. Bahkan pernikahan yang bahagia turut berdampak pada kebahagiaan dan kesehatan individu yang menjalaninya," ujar Pingkan dalam korespondensinya dengan vemale.com.

Pingkan C. B. Rumondor/Dok.Pribadi

Pada dasarnya, saat manusia saling tertarik dan mulai membina hubungan intim yang monogami, terbangun ikatan emosional (attachment) dengan pasangannya. Ikatan ini bukan sekadar perasaan (emosi) seperti bahagia, atau cinta saja, tapi juga melibatkan kerja hormon, misalnya hormon oksitosin.

Dari sudut pandang evolusi, ikatan ini penting untuk membina rasa saling percaya dan pada akhirnya mendapatkan rasa aman untuk bisa survive di dunia. Sehingga menjadi wajar, kita komitmen dilanggar maka timbul rasa sakit hati karena kepercayaan dikhianati.

"Perasaan sakit hati ini bukan sekadar emosional belaka, tapi bagian otak yang 'aktif' saat kita sakit fisik, misal terkena air panas, juga menjadi aktif saat seseorang mengalami penolakan sosial," tambahnya.

Ditambahkan pendiri situs setipe.com ini dibutuhkan kesiapan mental untuk bisa menjalani kehidupan hubungan monogami yang langgeng. Pertama-tama, kedua belah pihak perlu punya persepsi yang sama tentang pernikahan, yaitu sama-sama memandang pernikahan sebagai komitmen untuk monogami --hubungan eksklusif, selain ikatan psikologis, juga ikatan seksual.

"Setelah itu, untuk menjaga komitmen, maka pasangan perlu memiliki skill untuk menjaga relasi pernikahan tetap berkualitas dan memuaskan," jelas Pingkan.

Skill yang bisa membantu antara lain: komunikasi (kemampuan mendengarkan, mengungkapkan perasaan), resolusi konflik, mengenali pasangan, life skills (kemampuan menjalani keseharian hidup: mempertahankan pekerjaan, menjaga kesehatan), self management (mengenali kekuatan dan kelemahan diri), sex and romance, serta manajemen stres.

(vem/zzu)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading