Sukses

Lifestyle

Perceraian Menjatuhkanku, Tapi Membangkitkanku Lebih Kuat Lagi

Selama 3 tahun ... ya selama 3 tahun aku menahan, memendam dan menyembunyikan rasa sakit hati, kecewa sekaligus jijik padanya. Semenjak aku pertama kali melihat dengan mata kepalaku sendiri, foto-foto tak senonoh penuh nafsu yang dipertontokan oleh sepasang manusia berbeda jenis kelamin di HP suamiku. Ya, salah satu dari sepasang manusia yang ada di foto itu memang suamiku. Atau tepatnya mantan suamiku kini.

6 tahun lalu kami menikah. Beda umur kami memang cukup jauh. Saat aku masih di awal usia 20 an, suamiku telah mendekati usia 40-an. Namun ternyata usia memang tak pernah menjamin seseorang untuk memiliki sisi-sisi kebajikan dan kedewasaan. Lakilaki yang kuharapkan menjadi kepala rumah tangga yang baik, pemimpin keluarga yang bisa diteladani dan seorang pelindung yang mampu mengayomi, ternyata adalah laki-laki penurut hawa nafsu yang hanya mendahulukan kepentingan dan kesenangannya sendiri. Tak lama setelah kelahiran bayi laki-laki kami, kuketahui dia selingkuh dengan seorang perempuan muda. Peristiwa yang terjadi kurang saat usia perkawinan kami kurang dari 2 tahun. Peristiwa yang menghancurkan semua mimpi dan harapan masa depan rumah tanggaku serta mengikis habis cinta dan rasa hormatku padanya.

Kuputuskan untuk tetap bertahan menjalani cobaan ini. Mencoba bergantung pada ‘seutas tipis’ harapan bahwa dia akan sadar akan dosa dan kesalahannya serta bertobat ke jalan yang benar. Karena perselingkuhan dan perzinahan yang dilakukannya, melulu hanya menurutkan hawa nafsu yang keliru bahkan dikutuk oleh ajaran agama manapun di dunia ini. Aku bertahan demi bayi laki-lakiku yang saat semua terjadi baru berumur kurang dari 1 tahun. Anakku masih membutuhkan kehadiran sepasang orang tuanya, terutama figur seorang ayah. Bayi yang tak berdosa dan tak memahami apa yang sedang terjadi pada ibu dan ayahnya.

Selama menahan diri, mencoba menerima apa yang sudah terjadi, aku masih berupaya menjadi istri yang selalu sabar dan setia melayani suamiku. Walau perasaan nyeri dan sakit hati serta jijik, bercampur menjadi satu saat aku melakukannya semua demi dirinya. Hanya karena memikirkan nasib bayi laki-lakiku sajalah, yang menjadikanku mampu melewati semua deraan batin ini. Hanya bayi laki-lakiku yang menjadi penghibur dan pemberi semangat diriku untuk tetap melanjutkan hidup berumah tangga bersama laki-laki yang telah mengkhianati cintaku.

Sadarkah dia? Bertobatkah dia? 7 kali dia berbuat zina dan melakukan perselingkuhan itu, 7 kali pula aku memaafkan dan mencoba untuk menerimanya sebagai bagian dari cobaan hidupku dan bayi laki-lakiku. Setelah 7 kali itu pula, dia tak juga kunjung berubah apalagi menyadari dosa dan kesalahannya. Malah justru semakin menjadi-jadi. Aku dan bayi laki-lakiku semakin diabaikannya, ditelantarkan bahkan dia mulai melakukan kekerasan-kekerasan fisik saat dia melampiaskan amarahnya padaku.

Kekerasan fisik yang yang dilakukannya, sedemikian tak tahu diri dan tak berperikemanusiaan. Walau demikian, aku masih tetap bertahan dan menyembunyikan semua peristiwa dan nestapaku ini dari keluargaku dan keluarganya, dua keluarga terpandang di kotaku. Ini semua demi anakku, bayi laki-lakiku. Dengan tetap bergantung pada harapan yang semakin menipis atas munculnya kesadaran dari suamiku atas semua perbuatan tak bertanggungjawab dan perilaku nistanya.

Akhirnya, siksaan terakhirnya sudah sedemikian tak terperi lagi. Luka dan lebam tubuhku mungkin terasa sakit namun tak senyeri luka di hati yang semakin menganga dan tak sanggup lagi aku tanggung bebannya. Akhirnya aku mengadukan ini semua kepada keluarga diiringi permintaan cerai kepadanya. Kepada laki-laki yang dulu meminangku dengan janji-janji seorang suami kepada istrinya. Janji untuk mencintai, menghormati, tak menyakiti, dan untuk tak berkhianat. Sudah cukup bagiku 3 tahun menahan ini semua. Sudah tak tertahankan lagi walau demi bayi perempuanku sekalipun. Harapan yang selalu kupertahankan sudah lenyap bersama dengan siksaan terakhirnya pada diriku. Istri yang harusnya dia lindungi sekuat tenaga dari sakit dan luka.

Setahun setelah perceraian kami, aku masih belum bisa menghapus trauma akan biadabnya seorang laki-laki yang menuruti nafsu untuk kesenangan diri sendiri. Namun setidaknya hidupku kini lebih tenang dan tenteram bersama bayi laki-laki yang kini sudah berusia 4 tahun. Bayi laki-laki yang kini semakin menjadi penguat diriku untuk bangkit dari kehancuran dan memulai lagi perjalanan hidup yang baru. Walau trauma itu masih melekat kuat padaku, namun sedikit demi sedikit aku mulai menyadari dan memahami makna akan semua peristiwa yang telah terjadi ini.

 

“Tuhan sebenarnya selalu memberikan kesempatan kepada makhluknya, jika saja makhluknya tahu diri dan mau berusaha untuk berubah. Seperti aku pernah memberikan kesempatan pada suamiku dulu yang ternyata tak dihargainya dan justru larut dalam perbuatan keji perselingkuhan dan perzinaanya.”

 

Dan kini, kesempatan itu tertutup sudah. Aku pun semakin menyadari bahwa semua peristiwa yang telah terjadi adalah ujian kesabaranku sebagai manusia, sebagai perempuan untuk menjadi sebagai seorang ibu yang diharapkan mampu mendidik anak laki-lakinya. Mendidiknya untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Jauh lebih baik dari ibunya sendiri, terlebih dari laki-laki yang menjadi ayah kandungnya. Dan kini aku merasa bahwa aku boleh jadi telah jatuh bangun sejumlah 7 kali, namun tetap bisa bangkit dan akhirnya dan bebas di kejatuhanku yang ke 8.

Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom. Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/

(vem/wnd)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading