Sukses

Lifestyle

Sehari Setelah Aku Melahirkan, Kekasih Suamiku Muncul di Hadapanku

Banyak hal di dunia ini yang menjadi misteri. Salah satunya adalah masa depan atau kisah hidup seseorang. Semuanya gelap, penuh teka-teki dan menggelitik rasa ingin tahu hati. Meski kadang masa depan telah dirancang semenjak jauh-jauh hari dengan begitu jelas, rinci dan penuh percaya diri akan terjadi. Begitu juga dengan masa depanku.

Semenjak remaja, aku sudah membingkai dan membayangkannya yang kukatakan sebagai mimpi. Tak muluk-muluk mimpiku saat itu, tak jauh beda dengan remaja lain pada umumnya. Bisa lulus kuliah, menikah, memiliki anak dan hidup bahagia dengan pasangannya.

Semula semuanya berjalan dalam trek yang sudah dirancang dari awal. Lulus kuliah tepat waktu, setelah itu bekerja dan tak lama kemudian aku menikah dengan laki-laki pilihanku sendiri. Yeah! Sampai babak ini hidupku berjalan dengan penuh pesona. Meski riak-riak kecil juga tak segan datang menghampiri,  memberi warna yang berbeda bagi hidupku. Semua aku hadapi dengan senyuman, aku anggap semuanya sebagai bagian dari hidup yang mesti dijalani.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Namun, takdir, siapa yang bisa menebaknya? Tanpa aku sadari, riak-riak kecil itu berkumpul, menyatu satu sama lain hingga menjadi ombak yang bergulung-gulung menyapu keluarga kecilku.

Tepatnya saat itu, sehari setelah aku berjuang mengantarkan bayi mungilku ke dunia. Tiba-tiba datang seorang perempuan bersama laki-laki paruh baya. Perempuan itu mengaku sebagai kekasih suamiku. Bergetar hati ini menahan amarah menghadapi pengakuan perempuan muda di depanku. Tenagaku yang masih lemah karena persalinan kini semakin hilang berganti gelap di setiap sudut hidupku.

Hatiku semakin remuk mendengar pengakuan dari bibir lelaki yang sudah tiga tahun ini mengisi kehidupanku. Tapi hati kecilku sebagai seorang ibu tidak ingin memberi luka pada bocah yang masih merah, yang bahkan kehadirannya bagai tunas yang baru keluar dari tanah. Melihat wajahnya yang  terlelap dalam tidur sunyi, memberi damai bagi hatiku yang sedang terhujam lara. Kuputuskan untuk menutup luka dan melanjutkan kehidupan keluarga kecilku dengan utuh.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Detik kehidupan berputar menjadi menit, menggulung menjadi jam, berganti hari, bulan dan tahun. Bara yang dulu padam, kembali hangat karena penatnya hati kami hidup dalam kekosongan. Rumah tangga yang dipertahankan nyatanya tak memberi bahagia bagi masing-masing anggotanya.

Lelah sangat menguasai jiwa kami, mengurai ikatan yang menyatukan kami dalam sebuah keluarga. Tak ada satu hal pun yang mampu menahannya, bahkan tawa bocah yang kini sudah bisa berlarian. Tahun kelima pernikahan, kami tak merayakannya tapi tak pula segera meresmikan perpisahan.

Masing-masing kami hidup sendiri. Awalnya sangat sulit untuk dilalui, malu pada diri sendiri, keluarga dan orang lain. Beban mental karena hancurnya pernikahan membuat jiwaku lunglai, enggan melakukan apapun selain bekerja untuk menghidupi diri dan anak. Tak terasa aku sudah terlalu jauh menarik diri dari lingkungan. Tak ada teman, tak ada kawan. Hidupku benar-benar dalam kesendirian.  

Sampai suatu hari, seorang karib semasa kuliah yang ternyata memendam rindu padaku menyapa melalui What's App. Entah dari mana dia mendapatkan nomor kontakku. Dia bertanya tentang kabarku, dan mendesakku untuk bertemu.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Aku tak kuasa menolaknya, karena aku pun sangat merindukannya. Dalam perjumpaan itu, aku tak mampu menyembunyikan semua yang terjadi. Di hadapannya aku seperti bocah yang bebas menangis di pangkuan ibunya. Tangisanku begitu pecah. Beban yang mendekam di dalam dada selama dua tahun ini seolah keluar bersama air mata dan sesenggukan yang tak kunjung berhenti.  

Selama ini sifat pendiamku yang menahanku untuk sekadar mencurahkan isi hati pada seseorang. Aku pun bukan orang yang mudah percaya pada orang lain. Semenjak kuliah kami memang sangat dekat, dan dia adalah seseorang yang bisa kupercayai. Sehingga di hadapannya aku tak segan berbagi kisah pilu hidupku.

Pertemuan hari itu memberi warna baru bagi jiwaku yang sedang layu. Dia terus memberiku semangat untuk bangkit. Bahkan dia lah yang selalu menyapa lebih dulu di tengah kesibukan bekerja dan sebagai ibu rumah tangga.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Tak lelah juga dia bertanya, “Kapan kau akan mencari pendamping hidup lagi?” Aku yang selama ini sudah terlena dengan kesendirian hanya menjawab asal-asalan. Selama ini tak ada bayangan di benakku untuk kembali membina rumah tangga. Aku bahkan masih belum mampu membedakan apakah ini trauma karena kegagalan dulu atau karena rasa nyaman hidup sendiri.

Bukan sahabat karib namanya jika dia hanya usil bertanya, “Kapan menikah lagi?” Nyatanya hujanan tanya darinya memang telah menyentuh hatiku yang telah beku bahwa menikah bukan hanya tentang laki-laki dan perempuan tapi ada tujuan yang lebih utama yaitu untuk meraih ridho-Nya dengan menunaikan separuh perintah agama.

Baiklah kawan, akan segera kuselesaikan masa laluku dan akan segera kuraih kesempatan yang kedua karena setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua dalam hal apapun.



(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading