Sukses

Lifestyle

Merantau Sambil Bekerja, Ini Salah Satu Caraku Berbakti pada Orangtua

Sesuatu yang tidak mudah bagi anak bungsu hidup mandiri, bahkan untuk lebih mandiri daripada kakaknya. Secara psikologis anak bungsu cenderung berwatak keras kepala, dimanja dan hidup ketergantungan. Namun, hal berbeda terjadi di hidupku, entah bagaimana dadu nasib memutar alurnya.

Aku anak terakhir dari empat bersaudara, hanya aku yang jauh merantau ke ibu kota dari Yogjakarta, bahkan mendalami sekolah agama di sebuah universitas Islam terkemuka. Dahulu ketiga kakakku lulusan UGM (Universitas Gadjah Mada) yang terkenal di kalangan para mahasiswa. Namun takdir berkata lain padaku, aku melangkah berbeda dari ketiga kakakku.

Enam tahun aku hidup di pesantren sejak menduduki bangku SMP hingga lulus Aliyah. Merantau sudah menjadi hal yang biasa kujalani, dan saat menempuh perguruan tinggi aku harus merantau jauh dari rumah. Jarak aku dan ketiga kakakku tidaklah dekat, selisih dengan kakakku yang ketiga tiga belas tahun.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Ibuku melahirkanku saat berusia empat puluh tahun, sesekali aku menatap ibuku aku melihatnya dengan rasa iba dan sayang, kini kulit wajahnya mulai menekuk keriput kecoklatan, rambutnya terselimuti uban. Begitu juga dengan ayahku yang hampir setiap hari sakit-sakitan.

Ayahku sosok yang pekerja keras dan tak kenal letih saat mudanya hingga terus memaksakan dirinya bekerja dan saat berusia lanjut, banyak tulangnya yang rapuh tak sekokoh dulu. Setelah pensiun dari pegawai Ayahku kembali ke kampungnya yakni di Pangandaran, meninggalkan rumah di Jogja untuk keluarga kakak, kemudian membangun gubuk baru di Pangandaran. Di gubuk kami, tinggal Ayah, Ibu dan aku, karena ketiga kakakku sudah disibukkan dengan kehidupan rumah tangga mereka masing-masing.  

Gubuk coklat yang kutinggali selama liburan semester ini telah memberiku banyak pelajaran, dari kesederhanaan, bagaimana cara bersyukur dan kebahagiaan tanpa materi yang lebih. Saat aku kembali ke ibu kota, Ayah dan Ibu tinggal di gubuk sederhana itu beratapkan seng abu yang tersusun.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Konon Ayahku ingin hidup berzuhud bersama Ibu setelah datang masa pensiun dari kepegawaiannya, yakni kehidupan sederhana  seperti zaman sahabat Rasullulah dulu. Sungguh niat mulia mereka mengetuk relung hatiku, hingga aku terus prihatin setiap langkahku untuk menimba ilmu di ibu kota kusibukan diriku dengan bekerja sebagai sambilan.

Mengajar beberapa les privat ke rumah-rumah, syukurku sebagai anak kostan uang saku bertambah, walau sudah kudapat beasiswa di universitas, tetap saja kuingin menabung untuk mewujudkan citaku yakni menghajikan kedua orangtuaku. Untuk mencapai hal tersebut, tentu tidaklah cukup berdoa namun ikhtiar dengan menabung agar harapanku terwujud kelak.

Kusisihkan waktu setiap harinya untuk mengajar, mulai pukul sembilan pagi mengajar privat dekat kost tempatku tinggal, diteruskan saat siang mengajar privat empat anak yang cukup jauh dari kost, dan sore mengajar di TPQ Masjid Al Ikhwan sekitar kampus. Walau tak seberapa yang kudapat, setidaknya aku bisa menabung dan barakah berbagi ilmu.

Semenjak kumengajar, tersadar bahwa guru adalah sosok yang mulia tanpa tanda jasa, harus pandai menyembunyikan kesedihan di balik keceriaan. Saat bosan dan lelah tak boleh tampak depan anak didik, selalu semangat dan tersenyum untuk mengajarkan satu huruf pada mereka, keberhasilan mereka dalam menerima ilmu yang kita berikan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi seorang guru. Itulah rutinitas keseharianku, bahkan di hari libur aku tetap mengajar privat di rumah yang berbeda.

Aku bersyukur, semua ini sebagai aktivitas selingan selama liburanku walau terkadang rasa lelah menyelubungi setiap harinya. Tapi aku tahu ini tak seberapa dengan perjuangan kedua orangtuaku dulu, hingga aku bisa berdiri dengan sempurna sekarang.

Pemuda yang sekedar sekolah dan merantau semata-mata bermain, pengangguran, menghabiskan uang kedua orangtuanya itu sudah biasa, tapi disini aku berusaha mandiri menjadi sosok yang pekerja keras mencari uang untuk mewujudkan citaku sebelum napas terakhir dari kedua orangtuaku berhembus. Aku ingin menghajikan keduanya, menjadi kebanggaan dengan sejuta kabar kebahagiaan yang akan kubisikkan, menjadi anak solehah dan berbakti yang dapat mengantarkan mereka ke surga nantinya.

 

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading