Sukses

Lifestyle

Cara Terbaik Bangkit dari Kondisi Terpuruk adalah Membuat Pilihan Baru

"Kapan kerja?" adalah dua kata yang akan selalu menjadi momok bagi tiap sarjana begitu euforia hari wisuda berakhir, dan toga yang dipinjam telah dikembalikan ke pihak kampus. Ya, suka atau tidak, orang-orang akan selalu bertanya tanpa sadar bahwa mereka sedang melakukan intimidasi dengan pertanyaan yang paling sensitif. Pertanyaan seperti itu jugalah yang senantiasa dilontarkan kepadaku, baik itu dari keluarga, kerabat, teman, keluarganya teman, tukang bakso, tukang fotocopy, bahkan mantan pun ikut-ikutan. Aku terkadang tidak menjawab dan bahkan menatap sinis si penanya agar dia sadar bahwa pertanyaan semacam itu 'haram' untuk ditanyakan padaku.

Frontal memang, tapi aku yang waktu itu masih berusia 17 tahun, yang seharusnya beban terberatku hanyalah kebingungan memilih outfit yang cocok untuk dipakai hang out, benar-benar  merasa tertekan dengan pertanyaan (yang bagiku lebih bisa disebut “sindiran”) itu.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Berawal dari kelulusanku di salah satu sekolah menengah kejuruan kedinasan yang tersyohor di negeri ini, namaku mulai menjadi perbincangan hangat seantero kampung terutama di kalangan emak-emak yang lagi cari-cari kandidat calon menantu. Orangtuaku pun ikut dipuja-puja lantaran memiliki anak perempuan sepertiku.

Sekolahku dikenal sebagai sekolah elit dengan seragam bak aparat negara, fasilitas yang memukau, serta makanan high class, yang semuanya diperoleh dengan cuma-cuma alias gratis dari pemerintah. Akan tetapi, hal yang paling membuat ribuan orangtua ingin anaknya masuk sekolah ini adalah lulusan dari sekolah ini akan langsung bekerja di instansi pemerintah (kementerian terkait) tanpa harus melalui tes, bahkan sarjana pun tidak memperoleh kesempatan seperti ini. Namun, sekolahku ini hanya menerima 44 siswa dan 16 siswi setiap tahunnya untuk regional Sumatera. Aku adalah salah satu dari 16 siswi yang beruntung itu.

Aku begitu dibangga-banggakan keluarga besarku. Ayahku selalu memperkenalkanku kepada rekan kerjanya. Ia juga tidak lupa memberitahu mengenai sekolahku meskipun temannya itu tidak bertanya. Teman-teman ibuku selalu membicarakanku saat arisan. Paman dan bibi menjadikan aku contoh bagi anak-anaknya. Bukan hanya itu, aku bahkan dijadikan contoh lulusan yang sukses oleh kepala SMP-ku dulu di hadapan para wali murid baru.

“We never know what the future holds.”

 

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, begitu angkatanku diwisuda, sistem penerimaan pegawai di kementerian yang menaungi sekolah kami berubah total. Yang awalnya semua lulusan diterima dan langsung mendapatkan penempatan, pada tahun itu dilakukan seleksi dan hanya 16 orang yang diterima. Aku adalah salah satu dari 44 orang yang tidak beruntung itu.

Kehidupanku berubah total.

Pujian yang biasanya diberikan kepadaku berubah menjadi sebuah pertanyaan kejam yang menusuk jantungku. Awalnya aku biasa saja dan berusaha menyesuaikan keadaan. Aku pikir pertanyaan semacam itu hanya akan berlangsung beberapa hari saja. Ternyata tidak.

Setiap kali aku ke warung, pemilik warung tidak bertanya, “Mau beli apa?”, tetapi, “Kapan mulai kerja?”

Saat reuni SMP teman-temanku bukannya menanyakan kabarku, mereka malah menyindirku, “Lulusan kedinasan yang katanya langsung kerja tu, traktir ya!” sungguh ucapan tidak manusiawi yang sayangnya keluar dari mulut manusia.

Ketika aku mengantar adikku ke sekolah, guru adikku yang aku bahkan tidak kenal sama sekali juga menanyakan hal yang sama “Oh ini kakak kamu yang itu ya? Kapan mulai kerja?” Bu M, teman arisan ibuku yang dulunya berapi-api ingin menjodohkan aku dengan anak laki-lakinya yang lagi kuliah di Bandung pun tidak absen bertanya, “Loh, kok udah lama lulus nggak kerja-kerja juga?”

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Acara keluarga pun menjadi 'neraka' bagiku karena paman, bibi, dan sepupu-sepupuku tidak bosan-bosannya menanyakan pertanyaan serupa. Tetapi, yang paling membuatku down dan benar-benar sedih adalah ucapan Bu E (yang dari dulu memang sentimen kepadaku lantaran anaknya dulu tidak lulus di sekolahku).

“Tapi katanya sekolah kedinasan? Kok enggak kerja-kerja juga? Percuma aja dong, capek-capek tiga tahun sekolah di sana, mending kemarin masuk SMA biasa saja!” ujarnya saat kami bertemu di sebuah toko pakaian, terang saja semua mata langsung tertuju padaku.

Kemana pun aku pergi, orang-orang yang aku jumpai selalu bertanya “kapan kerja?” kepadaku. Aku mulai merasa kehidupanku tidak berjalan normal. Di saat teman-teman seusiaku sibuk mempersiapkan hari pertamanya kuliah, aku hanya diam di rumah dengan menyandang status “pengangguran”. Pada waktu itu, sudah terlambat untuk mendaftar ke perguruan tinggi.

Jika dibayangkan sekilas, mungkin aku tampak membesar-besarkan cerita. Tetapi itu murni adanya. Pertanyaan “Kapan Kerja” itu seperti hantu yang terus gentayangan di sekitarku. Orang-orang hanya terus menanyakan alasan ini itu kenapa aku tidak kunjung bekerja.

Aku sadar, ekspektasi mereka yang terlalu tinggi membuat mereka selalu penasaran. Karena bosan ditanya dengan pertanyaan yang sama terus menerus, aku berkali-kali melamar pekerjaan. Mulai dari instansi pemerintah, swasta, hingga BUMN.

Aku bahkan sempat lulus hingga tahap wawancara di salah satu perusaan kertas di Riau. Akan tetapi, mereka menolakku dengan alasan mereka butuh karyawan laki-laki karena akan ditempatkan di lapangan.  6 bulan lamanya aku kesana-sini untuk mencari pekerjaan tapi tidak ada yang mau menerimaku. Beberapa hanya menerima sarjana, beberapa lagi beralasan bahwa hanya laki-laki yang bisa diterima.

Aku semakin merasa terpuruk dengan kondisiku. Teman SMK-ku yang sama-sama tidak lulus dari perekrutan pegawai dulu sama paniknya denganku. Sayangnya, beberapa dari mereka menempuh cara-cara yang tidak “elegan” untuk mendapatkan pekerjaan. Ada yang menggunakan suap, ada juga yang bisa bekerja lewat orang dalam. Ya begitulah, pertanyaan “kapan kerja” itu mampu membuat orang keluar dari jalan yang benar.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Hari demi hari berlalu. Ketidakjelasan nasib membuatku larut dalam kesedihan. Aku iri melihat mereka yang gagah menggunakan jas almamater kampusnya. Aku iri melihat mereka yang ber-selfie ria dengan seragam kantornya (meski ditempuh dengan cara yang tidak elegan). Sementara aku, masih harus menerima pertanyaan “kapan kerja”  dari orang di sekelilingku.

Pertanyaan itu terus mengiang di telingaku. Pertanyaan itu membuatku merasa tidak pantas memakan nasi dari beras yang dibeli dengan uang orang tuaku. Pertanyaan itu membuatku merasa bersalah untuk menerima sedikit uang jajan dari ayahku. Pertanyaan itu membuatku takut untuk bertemu orang lain. Aku mengurung diri di kamar jika ada teman ayah ataupun teman ibuku yang datang. Aku takut ditanya, lebih tepatnya aku tidak ingin ditanya.

Aku tidak bisa tidur setiap malamnya. Pikiranku menerawang. Apa yang harus aku lakukan? Aku sudah melamar kerja kesana sini. Aku sangat kecewa kepada diriku yang sudah menjadi pengangguran di usia dini.

Orangtuaku melihat dengan jelas perubahan yang terjadi pada diriku. Wajah yang muram, lingkar mata yang hitam, serta badan yang kian kurus. Suatu hari, ayah dan ibu memanggilku dan mengajakku berdiskusi. Mereka menguatkanku dan meberitahuku agar tidak perlu khawatir.

Ayahku bilang jalan hidup masih panjang. Aku masih muda dan masih banyak yang bisa aku lakukan. Ayah juga memberitahu bahwa aku juga bisa kuliah di tahun depan kalau aku mau. Ibuku juga menasihatiku agar tidak terlalu memikirkan perkataan orang. Ya, selama ini aku sudah melupakan satu hal, yaitu aku masih memiliki orang tua yang menyayangiku. Yang selalu bersamaku bahkan di masa-masa sulit. Berkat orang tuaku, aku menyadari bahwa apa yang aku alami adalah hal yang biasa. Tidak ada yang perlu disesalkan dan aku tidak melakukan  kesalahan yang harus membuatku merasa malu.

Dua tahun telah berlalu. Berkat usaha dan dukungan orang tuaku serta ridho Tuhan, aku berhasil lulus SBMPTN. Aku sekarang sudah menjadi seorang mahasiswi di universitas negeri terbaik di pulau Sumatera.

Sekarang, pertanyaan “kapan kerja” menjadi motivasi bagiku untuk sungguh-sungguh dalam belajar. Aku ingin nantinya bisa mendapat pekerjaan yang bagus sehingga tidak akan ada lagi pertanyaan “kapan kerja” yang dilontarkan kepadaku. Selain itu, aku menyadari satu hal. Aku menjadi lebih sadar bahwa hidup di luar sana sangat keras sehingga aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatanku semasa kuliah.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading