Sukses

Lifestyle

Takdir di Tangan Tuhan Tapi Jalan Hidup Ini Kita Sendiri yang Menentukan

Aku masih rapuh dan luruh oleh rintang yang datang menghadang tanpa ampun. Tapi tak apa, ketika jatuh untuk kali pertama aku memang tersedu. Seolah dunia menimpakan berton-ton beban di atas tubuhku. Seolah semua usai tanpa menyisakan sejarah. Lelah, itu pasti. Bahkan sampai-sampai untuk berdiripun terasa berat. Kakiku terasa kaku. Jangankan berdiri, duduk tegak saja aku tak mampu. Itulah masa ketika aku harus menerima keterpurukan perdanaku.

Terlahir sebagai anak tunggal membuatku terbiasa merasakan kasih sayang yang utuh dari Ayah dan Mama, begitulah aku memanggil kedua orangtuaku. Aku tidak tahu bagaimana menjengkelkannya jika harus berebut remote TV dengan adik. Aku pun tidak tahu bagaimana mengesalkannya jika disuruh ini-itu oleh kakak. Tapi aku tahu, sebagai kepala keluarga banyak sekali beban yang Ayah pikul, meski ia tidak pernah menunjukkan kesedihannya sedikitpun. Ayah seolah-olah menjelma bagai sosok yang paling kuat. Padahal di balik kekuatannya tersimpan kerapuhan yang tidak ingin ia tampakkan.

Aku pun tahu, tugas seorang ibu tak kalah berat dengan seorang ayah. Ibu harus mengerjakan pekerjaan rumah yang melelahkan. Belum lagi mengurus kebutuhan suami, anak dan kebutuhan rumah tangga lainnya.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com 

Sampai detik ini aku belum bisa membanggakan kedua orangtuaku. Aku  belum bisa memberikan yang terbaik untuk mereka. Padahal mereka selalu memberikan yang terbaik untukku. Maafkan aku, Yah. Maafkan aku, Ma.

Aku ingat betul saat pengumuman SNMPTN beberapa tahun lalu. Pengumuman SNMPTN diumumkan secara online. Hari keramat khususnya bagi siswa kelas XII itu benar-benar dinantikan. Pasalnya, SNMPTN merupakan suatu penentuan apakah kita akan langsung masuk ke universitas dan prodi pilihan kita atau justru sebaliknya? Memposisikan diri kita untuk bertempur kembali di medan perang. Berjuang lebih keras lagi untuk menempuh tahap selanjutnya: SBMPTN.

Aku segera memasukkan nomor pendaftaran serta tanggal lahir. Dan klik "lihat hasil seleksi". Aku gulir mouse ke bawah. Tangan dan kakiku dingin bukan main. Sedetik kemudian terpampang warna merah di layar laptopku beserta pernyataan "Maaf Anda gagal".

Ilustrasi./Copyright unsplash.com 

"Ya udah nggak apa-apa. Jangan putus asa gitu dong!" Ayah menepuk pelan pundakku. Berusaha menyemangatiku bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya. Yang artinya masih banyak tantangan di luar sana yang mau tak mau harus kulewati setelah ini.

Hatiku miris. Aku sadar ada raut kekecewaan di wajah Ayah dan Mama. Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya aku gagal membanggakan orang tuaku. Aku memang sedih lantaran tidak lolos seleksi SNMPTN, tapi aku jauh lebih sedih karena melihat Ayah dan Mama kecewa, walaupun mereka sudah berusaha menutupinya.

Kegagalanku tak berhenti sampai di situ. Saat mengikuti seleksi berikutnya yaitu tahap SBMPTN dan UM, lagi-lagi aku dinyatakan gagal. Kegagalan yang kurasa begitu menyakitkan. Saat teman-teman lain sudah memiliki rencana yang jelas, aku justru sebaliknya. Aku berpikir, apakah aku harus mengubur harapanku untuk masuk ke universitas impianku ataukah aku harus tetap melanjutkan pendidikan di universitas lain, yang jelas-jelas bukan universitas impianku.

Berhari-hari aku mengurung diri, murung dan merenung. Akhirnya, setelah melalui pemikiran panjang aku pun memantapkan pilihan. Aku mendaftar di salah satu universitas swasta di Yogyakarta, dengan memilih prodi lain, yang jelas-jelas bukan prodi impianku.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com 

Melanjutkan pendidikan di kota orang memaksaku harus merantau dan jauh dari keluarga. Padahal, aku tipikal orang yang susah betah jika harus meninggalkan rumah sehari atau dua hari saja. Tak disangka, kali ini aku harus merantau dalam jangka waktu yang lama.

Waktu itu, aku mengemasi barang-barangku. Hanya dalam hitungan jam, maka aku akan meninggalkan semuanya. Meninggalkan kamar kesayanganku, meninggalkan rumah yang kuanggap sebagai tempat ternyaman selama ini. Meninggalkan dua sosok malaikat yang takkan pernah meninggalkanku di saat aku rapuh. Arghhhhh, rasanya aku tak sanggup!

Keesokan harinya, aku berpamitan kepada keluargaku karena sebentar lagi travel akan menjemputku. Sebelum berangkat, ayah memberikan wejangan-wejangan yang akan selalu kuingat sampai kapanpun. “Kamu hati-hati di sana. Jaga diri baik-baik karena Ayah dan Mama tidak bisa menjagamu dari jarak dekat,”pesan ayah. Aku mengangguk. Hatiku diliputi perasaan nelangsa.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com 

Beberapa menit kemudian travel sudah nangkring di depan rumah. Ayah dan Mama membantuku membawa barang-barang. Eyang putri dan eyang kakung tak ingin kehilangan momen untuk menyaksikan cucu kesayangannya berangkat ke Jogja. Perpisahan kali ini memang mengharu biru, tapi aku berjanji perpisahan ini akan berakhir dengan tangis bahagia suatu saat nanti.

“Kamu jaga kesehatan ya nduk. Hati-hati dalam bergaul,”eyang putri mengelus punggungku. Sekali lagi aku berbalik menatap mereka. Terlihat jelas sorot mata yang sayu, seolah tak rela melepasku pergi jauh. Jujur, kakiku terasa berat untuk meninggalkan mereka. Sangat berat! Tapi tetap kupaksakan.

Aku menaiki travel. Pak supir menutup pintu mobil. “Antar anak saya ke tempat tujuan ya, Pak,” Ayah masih sempat-sempatnya berpesan pada pak supir. “Pasti pak!”balas pak supir ramah.

Eyang putri dan eyang kakung tak berkedip menatapku. Ayah dan Mama melambaikan tangan mengiringi kepergianku. Aku pun balik melambaikan tangan dari balik kaca mobil. Travel melaju diiringi tetesan air mata yang tak sanggup lagi kubendung.

Jatuh, gagal, kalah dan sejenisnya memang tak dapat ditolak. Mau apalagi? Mereka ada dalam satu paket penciptaan dalam diri kita. Ada suka-duka. Susah-senang. Bahagia-nestapa. Jatuh-berdiri. Gagal dan bangkit lagi. Tak masalah berapa kali frekuensi jatuhku. Tak apa berapa kali air mata tak terbendung. Alhamdulillah, Tuhan masih memberiku kekuatan untuk bangkit.

Aku yakin cepat atau lambat awan gelap yang menaungi hidupku saat ini akan berganti menjadi awan terang yang menemani hari-hariku selanjutnya. Bukankah mendung tak berarti hujan? Ya, takdir memang di tangan Tuhan. Tapi jalan hidup kita? Kita sendirilah yang menentukan.


 

 

 

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading