Sukses

Lifestyle

Berjauhan dengan Suami Saat Hamil, Aku Kuat demi Kebahagiaan Bersama

Tak ada pengorbanan yang sia-sia, apalagi bila dilakukan demi orang-orang tercinta. Seperti kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini.

***

Perkenalkan saya Ida seorang ibu rumah tangga berusia 32 tahun. Sejak awal menikah di tahun 2012 saya dan suami menjalani LDR. Saat itu gaji saya dan suami hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja. Suami pun mendapat tawaran pekerjaan yang lebih baik yaitu bekerja di Kalimantan, bekerja di bidang kontraktor di mana perusahaan memberi izin cuti setiap 3 bulan sekali. Karena bekerja di bidang proyek di mana 1 atau 2 tahun ke depan pasti pindah-pindah, saya tidak ikut suami pindah karena memikirkan juga nanti kalau kami punya anak kasihan anaknya pindah-pindah sekolah. Jadi saya tetap bekerja di Jakarta.

Setahun setelah kami menikah, saya hamil. Perasaan campur aduk antara senang dan sedih. Senang karena diberi rezeki anak dan sedih karena hamil pertama tapi berjauhan dengan suami. Suami selalu mendukung saya via telpon kata suami, "Harus kuat, sabar dan jangan sedih terus nanti kasihan bayinya di dalam perut."

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Saat harus cek pertama kali ke dokter kandungan, teman-teman kantor sempat menyarankan agar diantar sama teman laki-laki dari kantor daripada dikira hamil di luar nikah ke dokter kandungan tapi nggak ada suaminya, huhuhu sedihnya. Tapi akhirnya saya memberanikan diri cek ke dokter kandungan sendiri, alhamdulillah calon bayi kami sehat.

Selama sembilan bulan saya diantar suami ke dokter hanya dua kali saat dia pulang cuti ke Jakarta. Selebihnya saya selalu ke dokter sendiri sepulang kerja. Pernah saya antre sampe jam 12 malem. Karena dokternya telat datangnya. Saat itu belum ada layanan transportasi online seperti sekarang. Sedih sekali rasanya cek sendiri, terus lihat ibu-ibu yang lain selalu diantar suami sambil dielus -elus perutnya, pulang larut malam, sampai dokternya nawarin, "Mau dianter pulang nggak, Bu." Saya bilang, "Nggak usah, Dok. Makasih banyak."

Saya mencoba kuat demi calon anak yang saya kandung. Tapi satu permintaan saya kepada suami, tolong izin sama bosnya kalau saya lahiran pengen banget ditemenin suami.

Alhamdulillah saat putri kami lahir suami bisa menemani proses persalinan. Tetapi setelah 3 hari putri kami lahir, suami sudah harus kembali lagi ke proyek.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Setelah cuti melahirkan saya habis, saya kembali bekerja. Ada adik dari mama (bude) yang menjaga putri saya, Marsya. Selang satu tahun bude bilang nggak bisa jagain Marsya lagi mau menyusul anaknya ke Lombok. Karena di Jakarta saya tinggal sendiri jadi saya harus mencari orang yang saya kenal betul untuk menjaga Marsya. Akhirnya dapat mbak yang satu kampung dengan saya dan saya pun kenal.

Satu tahun pertama semua berjalan lancar. Di tahun kedua baru saya mendapat laporan dari tetangga di rumah kalau mbaknya suka bawa masuk laki-laki di saat saya bekerja, terus saya juga mendapati ternyata mbaknya sering pulang jam 12 malam padahal izin hanya sampai jam 9 malam. Karena setelah pulang kerja saya pasti lelah langsung mandi dan menidurkan anak saya.

Kunci rumah saya percayakan ke mbaknya. Dia izin pergi sebentar saya izinkan karena kan dia juga butuh bermain mungkin dengan teman-temannya. Akhirnya setelah diskusi dengan suami, suami meminta saya untuk keluar kerja, menjaga dan merawat anak saya sendiri tanpa bantuan orang lain.

Di satu sisi sebetulnya saya masih ingin bekerja karena ingin mempunyai penghasilan sendiri dan berjaga-jaga misalnya suami sakit tidak bisa bekerja lagi atau meninggal saya masih punya penghasilan. Tapi karena pertimbangan susah mencari orang yang benar-benar bisa dipercaya menjaga anak di kala saya bekerja dan anak hanya berdua dengan mbak di rumah, saya berangkat kerja jam 6 pagi pulang jam 7 malam, sedangkan suami pulang 3 bulan sekali dan anak saya jadi kurang perhatian.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Saya mencoba ikhlas melepas karier saya dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Karena pada dasarnya anak adalah titipan Tuhan yang harus saya jaga dengan baik. Insyaallah rezeki selalu datang dari mana saja.

Alhamdulillah setelah saya tidak bekerja, perkembangan Marsya sangat bagus. Tadinya anaknya malu dan pendiam, sekarang jadi anak yang ceria dan berprestasi, mungkin karena dia senang ibunya menjaga dan merawat dia langsung dan banyak perhatian yang tercurah untuk Marsya jadi berpengaruh terhadap kepercayaan diri dan kecerdasan putriku.

Dari usia 3,5 tahun Marsya sudah juara lomba mewarnai. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan bagi saya kecuali melihat Marsya tumbuh jadi anak yang ceria dan pintar. Percayalah tidak ada pengorbanan yang sia-sia.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Dan sekarang meskipun saya dan suami masih LDR, tapi suami lumayan sering bolak balik ke Jakarta meskipun hanya 1 atau 2 hari di rumah saya bersyukur intensitas suami bertemu dengan anak lebih sering. Saya hanya bisa berdoa semoga suatu saat kami bisa berkumpul seperti keluarga lain pada umumnya bisa tinggal satu atap.







(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading