Sukses

Lifestyle

Bukan Kemewahan yang Diinginkan Orangtua, Tapi Melihat Anaknya Bahagia

Bukan uang atau kemewahan yang diinginkan orangtua. Melihat anak-anaknya bisa sukses dan bahagia itulah harapan setiap orangtua. Seperti kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini.

***

Sosok pahlawan tidak hanya seseorang yang berjuang pada masa lampau untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, tetapi sosok pahlawan bisa juga seseorang yang berada di sekeliling kita saat ini. Sosok yang rela melakukan apapun untuk kebaikan dan kebahagiaan kita.Seseorang yang selalu melakukan apapun agar orang di sekitarnya bahagia dan mendapat kenyamanan bisa disebut sebagai pahlawan. Sosok pahlawan di hatiku adalah cinta pertamaku, yaitu sosok laki-laki yang dari kecil kupanggil dengan sebutan Bapak. Iya, Bapak saya, Sugito namanya.

Ilustrasi./Copyright unsplash.comBapak adalah sosok lelaki dengan sedikit bicara dan ulet. Sosok yang jarang bisa memperlihatkan rasa sayangnya kepada keempat anaknya tapi juga merupakan sosok yang tegas. Pembawaan beliau memang tidak seterbuka Ibu, tapi Bapak yang tak mengenal kata lelah selalu bekerja untuk keempat anaknya agar terus mengenyam pendidikan yang sesuai dengan bakat dan kemampuan keempat anaknya pastinya demi kehidupan yang lebih baik di masa depan.Saya adalah anak ketiga dari empat bersaudara, dengan mempunyai dua kakak perempuan dan adik laki-laki. Keluarga saya bukan tergolong kaya, tapi cukup. Jadi tidak bisa dibilang kaya juga tidak bisa juga dibilang kekurangan. Bapak adalah satu-satunya yang menjadi tulang punggung di keluarga saya. Bapak adalah seorang karyawan di sebuah pabrik kayu. Hingga saat ini Bapak masih mengabdikan keterampilan yang beliau miliki di pabrik kayu dengan posisi yang sama seperti awal menjadi karyawan. Bisa dibilang tidak ada jenjang karier. Mungkin karena Bapak hanya tamat di bangku SMP. Di saat teman sebaya atau angkatan beliau telah pensiun, masa kerja Bapak tetap diperpanjang tiap tahunnya. Bapak pun bahagia dengan keadaan itu.

Ilustrasi./Copyright unsplash.comSaat ini Bapak berusia 64 tahun, tetapi Bapak masih tetap saja setia mengayuh sepeda ontelnya untuk sampai ke tempat kerja. Bisa dibayangkan yang seharusnya Bapak harus pensiun di usia 55 tahun tetapi sampai saat ini Bapak masih saja semangat untuk mencari nafkah dan membiayai pendidikan keempat anaknya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada kedua orangtua saya. Bahkan dulu saat Bapak masih muda, selain bekerja sebagai karyawan pabrik kayu, Bapak sempat bekerja sambilan menjadi tukang bangunan untuk menambah penghasilan.Alhamdulillah, meskipun Bapak saya bukan seorang yang berpenghasilan besar tapi ntah bagaimana Allah mencukupkan segala sesuatunya di keluarga saya. Kedua mbak saya juga merasakan bangku perkuliahan di peruruan tinggi negeri. Mbak Nur adalah kakak pertama saya telah menjadi seorang guru di salah satu SMA di kota saya dan Mbak Yuni yang merupakan kakak kedua saya menjadi sorang perawat di rumah sakit swasta dan alhamdulillah telah memegang peran cukup penting di rumah sakit tersebut. Saya lebih beruntung daripada kedua kakak saya, karena saya bisa merasakan duduk di bangku perkuliahan hingga program magister di salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya. Adik saya yang bernama Zaqi sekarang masih berjuang untuk menyelesaikan skripsi pada saat ini. Semoga adik saya kembali menggoreskan senyum di bibir Bapak saat hadir di wisuda dia kelak.

Ilustrasi./Copyright unsplash.comSalah satu cita-cita Bapak adalah anak-anaknya ada yang sekolah hingga mendapat gelar Magister. Saya adalah anak Bapak yang beruntung itu. Setahun setelah saya merasakan dunia kerja, saya mencoba-coba untuk mengikuti tes masuk program magister di perguruan tinggi negeri favorit di Surabaya. Alhamdulillah, semua syarat telah saya penuhi. Tidak disangka-sangka, hal yang awalnya coba-coba ternyata didukung penuh oleh Bapak.Tidak dipungkiri, kembali saya berpikir apakah ini benar? Saya baru saja lulus program sarjana dan merasakan belum membahagiakan Ibu Bapak saya, tapi Bapak saya ingin saya melanjutkan studi lagi. Saat itu terjadi perang batin di diri saya, antara mengambil kesempatan itu atau tetap bekerja. Hampir 3 hari saya tidak bisa tidur memikirkan hal itu. Sementara di sisi lain, Bapak terus saja mendorong saya untuk melanjutkan studi. Akhirnya saya memutuskan untuk mengambil program magister dengan niat mewujudkan cita-cita Bapak, yaitu ingin salah satu dari anaknya ada yang memiliki gelar magister. Alhamdulillah dua tahun berjuang, saya kembali menggoreskan senyum bahagia di bibir Bapak saya. Mungkin banyak yang mempertanyakan, kok bisa Bapak yang seorang karyawan pabrik kayu bisa menyekolahkan anaknya hingga jenjang magister? Iya, memang hal itu tidak lepas dari kuasa Allah yang mencukupkan semuanya. Dan tidak dipungkiri, hal itu terjadi karena kekuatan dan keyakinan Bapak, bahwa Bapak bisa dan Bapak mampu.

Ilustrasi./Copyright unsplash.comHari itu, Ibu Bapak menghadiri wisuda program magister, saya mendapat cerita dari Ibu bahwa ketika nama saya dipanggil maju ke depan Bapak meneteskan air mata bahagia. Maasyaa Allah, betapa bahagianya saya mendengar cerita itu dari Ibu. Seketika air mata saya pun jatuh.

Bersama bapak dan ibu./Copyright Wahyu Tria PratiwiFoto tersebut diambil setahun yang lalu. Dari foto tersebut bisa dilihat betapa bersahajanya Bapak. Senyum tipis dengan kerutan di wajahnya yang teramat membuatku bahagia. Sosok yang dari kecil berjuang untuk anak-anaknya, yang mempunyai cita-cita agar anaknya tidak merasakan kesulitan seperti yang Bapak saya rasakan. Sosok yang mengutamakan pendidikan untuk kemajuan hidup yang bermutu untuk keluarganya. Sosok yang mempunyai pemikiran jauh ke depan meskipun hanya tamatan SMP. Sosok berkarakter yang bisa dijadikan contoh untuk keempat anak-anaknya untuk selalu berjuang.Tidak dapat dipungkiri, tidak sedikit orang yang mempertanyakan kenapa Bapak tidak mengakhiri masa kerjanya yang telah terlewat lama? Apabila orang yang tidak mengetahui dengan jelas tentang keluarga kami, pasti mereka akan berkata, "Kenapa Zaqi tidak dibiayai oleh kakak-kakaknya saja, toh kakak-kakaknya sudah mapan. Biarkan Pak Gito pensiun." Andaikan semua orang mengetahui bahwa saya dan kedua kakak saya tidak bosan-bosannya selalu berbicara ke Bapak agar Bapak pensiun saja. Biarkan saya dan kedua kakak saya yang menanggung biaya adik saya untuk menyelesaikan studinya di tingkat S1. Tetapi apabila lebih didalami lagi, kenapa Bapak tidak mau pensiun dan tetap saja kekeuh ingin membiayai adik saya hingga sarjana adalah karena semata-mata Bapak tidak ingin merepotkan anak-anaknya yang telah mempunyai kehidupan masing-masing. Memang alasan itu terdengar klise, tapi memang benar itu adanya.

Ilustrasi./Copyright unsplash.comSaya yakin tidak hanya Bapak saya yang mempunyai pemikiran seperti itu. Pasti semua Bapak akan mempunyai pemikiran yang sama, yaitu tidak ingin merepotkan anak-anaknya. Dan itu pasti.Tidak sedikit yang heran, kenapa sampai-sampai Bapak seperti itu dengan tetap bertahan dan semangat bekerja di pabrik kayu kebanggaannya. Iya, memang itulah Bapak saya. Semangatnya tidak pernah luntur berjuang untuk anak-anaknya agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada beliau. Keuletannya dalam bekerja membuat masa kerjanya diperpanjang tiap tahunnya. Kesadaran dan keyakinan Bapak bahwa keempat anaknya dapat mengangkat derajat kedua orangtua agar tidak dipandang sebelah mata membawa saya dan kedua kakak saya berada pada titik ini. Oleh karena itu, siapa lagi saat ini orang terdekat saya yang pantas untuk disebut pahlawan selain Bapak?Dulu, saat musim hujan dan Bapak harus berangkat setelah maghrib dengan mengayuh sepeda kebanggaannya, seluruh anggota keluarga merasa teramat khawatir. Tidak hanya karena hujan yang menyebabkan licin saja yang menjadi alasannya, tapi jalur yang dilewati Bapak seringkali dilewati truk-truk bermuatan berat dan lampu penerangan yang masih dirasa kurang. Tapi keadaan itu tidak menjadi hambatan untuk Bapak tetap mengayuh ontelnya demi anak-anaknya. Seperti itulah semangat Bapak saya. Bapak tidak pernah bosan bahkan putus asa dengan kehidupan yang dijalaninya selama ini. Keyakinan Bapak untuk melewati segala hambatan adalah kesuksesan anak-anaknya kelak.Saat Bapak berangkat dengan menerjang hujan, keluarga di rumah pun hanya bisa berdoa agar Bapak selamat sampai tujuan. Memang benar, keluarga di rumah bisa mengetahui kabar Bapak sudah sampai apa belum menggunakan HP. Tetapi, berbeda dengan Bapak saya. Bapak saya tergolong seorang yang gaptek (gagap teknologi) dibanding dengan teman-teman sebayanya. Bapak tetap saja menolak apabila akan diajari anak-anaknya untuk menggunakan HP. Entah alasannya apa. Mungkin sudah dirasa tidak mungkin atau bagaimana. Memang itulah Bapak, sosok yang sangat sederhana.Kesederhanaan Bapak juga bisa dilihat dari kesetiaannya yang masih menggunakan sepeda ontelnya itu. Sebenarnya, kami anak-anaknya telah menawarkan kepada Bapak untuk membelikan motor. Tapi, Bapak menolaknya. “Gunakan uangmu untuk keperluanmu sendiri, Bapak sudah nyaman dengan mengontel," jelasnya.Di saat semua orang merasakan hari libur di rumah, Bapak tetap saja mengayuh sepedanya. Sesekali tetanggaku memberikan candaan kepada Bapak, “Nyari dolar terus Pak Gito ini." Bapak hanya tersenyum. Memang biaya hidup dan biaya sekolah saya dan ketiga saudara saya terbantu dengan Bapak tetap kerja di saat hari libur.

Ilustrasi./Copyright unsplash.comSampai saat inipun, Bapak yang menginjak umur 64 tahun masih saja memanfaatkan hari liburnya untuk mengambil lembur di pabrik kayu kebanggaannya. Karena faktor umur, pernah terjadi suatu kejadian yang amat disesalkan dan membuat semua anggota keluarga sedih. Kala itu Bapak mengambil lembur di hari Sabtu. Durasi lembur Bapak pada saat itu dimulai pukul 06.00 hingga 19.00. Sesampainya di rumah, seperti biasa Bapak langsung mengambil air wudhu untuk melaksanakan salat Isya’. Jika masih kebagian jamaah di masjid, bergegas Bapak akan ke masjid untuk berjamaah. Setelahnya Bapak baru makan malam. Tiba-tiba Bapak teringat bahwa Bapak lupa belum melakukan checking absen. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya hasil kerja keras yang seharian dilakukan oleh Bapak tidak diperhitungkan. Pengawas Bapak pun tidak memperjuangkan ke pihak kantor. Entahlah. Aku mendapat cerita itu hari Minggu pagi saat aku berkunjung ke rumah Ibu Bapak. Rasanya ingin langsung mengatakan ke pihak kantor saja. Tapi... ya sudahlah. Kutanyakan di mana Bapak saat itu. Ternyata Bapak kembali melaksanakan lembur di hari Minggu. Air mata ini tidak bisa terbendung. Rasanya semua yang kulakukan untuk membuat Ibu Bapak tersenyum tidak akan pernah terbalas dan tidak akan pernah bisa.Begitulah sedikit cerita perjuangan cinta pertamaku. Saya yakin semua anak juga pasti akan merasakan hal yang sama seperti saya, yaitu tidak akan pernah bisa membalas pengorbanan, keringat, dan air mata Bapaknya yang selalu bersemangat memperjuangkan kehidupan anak-anaknya agar lebih baik. Di masa tua orangtua kita, bukan uang atau kemewahan yang membuat bahagia Ibu Bapak kita. Cukup hanya dengan mendengarkan cerita Ibu Bapak mereka dan selalu ada untuk Ibu Bapak kita meskipun dari jarak jauh atau dekat. Hanya itu. Sesederhana itu yang bisa membuat orangtua kita merasa ada, yaitu didengarkan dan diperhatikan oleh anak-anaknya. Dan sebaiknya tetap diingat, Ibu Bapak kita yang merawat kita dengan kasih sayang hingga kita dewasa. Lalu, siapa lagi yang akan memperhatikan, merawat, dan menyayangi orangtua kita selain diri kita?

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading