Sukses

Lifestyle

Suami Tidak Memanusiakan Aku dan Anak-Anakku, Dia Malah Nikah Lagi

Ketika suami malah mendua dan menikahi wanita lain, hati seorang istri pasti remuk redam. Meski cobaan ini begitu berat, seorang wanita bisa tetap membuat pilihan untuk bertahan dan mencari jalan keluar. Seperti kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini.

***

Aku adalah perempuan berumur 27 tahun yang sudah menikah dan memiliki 2 orang anak. Aku menikah pada tahun 2015, suamiku merupakan seorang aktivis, sedangkan aku adalah dosen di salah satu kampus swasta.

Suamiku memiliki banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang dia mau sesuai dengan perintahnya sendiri sedangkan aku terikat oleh aturan yang sudah ditetapkan oleh kampus, itulah mengapa aku tidak dapat mendampingi suamiku kemanapun dia pergi. Sebagai seorang Istri, aku selalu ingin mendukung suamiku menjadi orang yang berhasil dengan apa yang dia cita-citakan, maka aku memberinya kepercayaan 100 % kepadanya untuk mendaftar sebagai anggota panwaslu di kota kelahirannya, Indonesia bagian Timur sementara aku di ibu kota bersama anak-anak.

Tak seperti biasanya pagi ini begitu dingin sisa hujan semalaman, kulitku beku karena embun pagi begitu menusuk pori-pori kulitku. Jendela di sudut kamar masih tertutup rapat namun kaca jendela berembun mengaburkan pandangan kumelihat pohon beringin yang berada tepat di luar pagar rumahku.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Setahun lalu, tepatnya, ditinggalkan oleh suamiku di luar kota adalah perjalanan yang menguras emosiku, tiga bulan dia berada di luar kota aku masih menjalani rutinitas kehidupan dengan normal rasa rindu kepadanyapun setiap hari bertambah,  senantiasa menunggu hari-hari di mana dia akan kembali ke rumah kami yang penuh kehangatan  pasalnya aku tidak pernah ditinggalkan olehnya dalam waktu yang begitu lama. Kepergian suamiku dalam urusan pekerjaan adalah keputusan berat namun aku harus rasional demi mendukung suamiku untuk maju.

Hari-hari aku isi dengan mengasuh anak-anakku yang masih balita dan bayi, anak pertamaku berumur 18 bulan dan yang kedua berumur 2 bulan. Sebelum suamiku pergi aku dititipkan ke rumah orangtuaku di Yogyakarta.

Saat anak-anak sudah tidur aku membuka media sosial sebagai hiburan pendekku, iya media sosial facebook. Ada pesan yang memerintahkanku untuk aku terima, dalam pesan itu ada nama yang bermarga, oh… aku pikir pasti orang dari daerah suamiku, karena suamiku kebetulan berasal dari timur Indonesia.

Rasa ingin tahuku memang begitu tinggi karena aku ingin banyak bersilaturahim dengan orang ini, maka aku bukalah profil dari pengirim pesan ini deskripsinya perempuannya manis dan sepertinya lebih tua umurnya denganku. Setelah aku membuka dindingnya betapa aku kaget dan gemetar, ada foto suamiku sedang berfoto memeluk perempuan pengirim pesan itu. Tidak hanya satu foto, dua foto, tiga foto hingga empat foto. Perempuan itu memposting dalam kolom-kolom komentar, aku sudah mengira perempuan ini belum mahir bermedia sosial.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Aku menarik napas panjang dan kemudian bergegas menelepon suamiku. Suamiku, kala itu suamiku menjawab dengan singkat itu keponakan bukan pacar dengan nada emosial yang tak pernah kudengar, singkat cerita aku mencari kebenaran melalui saudara-saudaranya via telepon dan media sosial, benar adanya suamiku sering berjalan dengan perempuan itu, bahkan ada yang mendapati mereka dalam satu kamar.

Menurut Informasi yang aku dapatkan, suamiku selalu mencari pacarnya di mana pun pacarnya singgah, suamiku sering menginap di kamar kos pacarnya atau kadang suamiku mengajaknya ke hotel terdekat untuk melepas hajat bersama pacarnya.

Benar saja, ketika aku menelepon suamiku, suamiku tidak seperti biasanya yang penuh kehangatan dan kebahagiaan, tetapi dia menjawab singkat dan terburu-buru, karena keyakinanku begitu kuat dia sedang bersama pacarnya, terkadang aku coba untuk mengirim pesan, pesan itu berbalas dengan gaya SMS yang itu bukan ciri khas dari suamiku. Gaya tulisan SMS tidak teratur dan penuh dengan nada emosional. Perasaanku hancur dan kecewa meskipun suamiku tidak mau mengakuinya kalau perempuan itu adalah pacar gelapnya.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Di tengah persoalan yang mendera, gejolak batin antara marah, benci dan takut dengan segala risiko yang akan kuterima ketika aku melawan suamiku, aku memikirkan kedua anak-anakku serta kedua orangtuaku yang sudah mendukungku selama ini.

Sebagai seorang ibu aku harus bertanggung jawab terhadap anak-anakku, sebagai wanita karier aku harus melanjutkan tanggung jawabku. Sebagai anak perempuan aku tidak boleh mengecewakan kedua orangtuaku yang sudah membiayaiku kuliah dengan susah payah.  

Maka Oktober 2017, aku kembali ke ibu kota meneruskan karierku sebagai dosen di salah satu kampus swasta di Jakarta. Dengan perasaan sedih dan kecewa aku harus meninggalkan kedua anakku, kupandang wajah ayahku yang sudah tampak tua dan nampak sedih melepas anak perempuan satu-satunya kembali dengan penuh luka dan pelukan ibu sebagai pelukan semangat bahwa aku harus kembali tegak untuk anak-anakku.

Kendaraan travel yang kutumpangi terus jauh meninggalkan rumahku artinya semakin jauh pula jarak antara kedua anakku, di tengah menahan sakitnya kedua payudaraku yang telah penuh ASI yang seharusnya kususukan untuk anak keduaku, aku harus terus mencari kos untuk tempat tinggal sementara karena aku takut kembali ke kontrakan yang dulu kami tinggali karena suamiku tak membayar tagihan kontrakan yang sudah empat bulan berlalu.

Komunikasi dengan suamiku terus berjalan, aku berakting seolah aku masih di Yogyakarta, setiap aku ditanya soal anak-anak aku selalu mengatakan mereka sedang bermain dengan kakeknya. Namun aku tak berhenti mencari kebenaran tentang suamiku dan selingkuhannya, tak jarang selingkuhannya memaki-maki aku ketika aku menelepon suamiku, aku hanya diam tak kujawab, tiga bulan lalu aku sudah capek saling berbalas makian, ujaran benci dan ketidaksopanan antara aku sebagai istri sahnya dan dia sebagai selingkuhannya.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Desember 2017, aku berkenalan dengan perempuan yang mengaku keponakan suamiku via Facebook sebut saja namanya Ija. Aku berkomunikasi dengannya dengan baik, aku cerita dengan perempuan itu perihal selingkuhan suamiku, yang galak dan kasar denganku.

Dia berempati kepadaku dan akupun merasa terharu atas sikapnya yang lembut padaku. Pagi datang, yah seperti biasa aku membuka Facebook suamiku, aku mendapati suamiku mengirim chat mesra perempuan yang mengaku padaku sebagai keponakan suami.

Gemetar, keringat dingin dan emosiku meluap.”Permainan apalagi ini?," aku langsung bertanya kepada perempuan itu melalui telepon, dia mengaku suamiku meminta menjadi pacarnya, namun dia belum mengiyakan.

Aku begitu emosi mendengarnya, suamiku tanya perihal perempuan itu. Suamiku mengatakan aku ingin mencari perempuan yang bisa mengurus ibu di sini, karena menantu ibu tidak ada yang mau mengurus ibu dengan baik, dan hanya dia yang bersedia menjadi istri keduaku.  

Permainan perasaan antara aku, suamiku dan Ija pun terjadi. Ija menggunakan strategi sangat lembut dalam memenangkan suamiku, sementara aku? Aku masih meluap-luap menyikapi segala permainan ini hingga akhirnya aku memutuskan untuk bercerai dengan suami, karena suamiku tidak bersikap adil, isu pernikahan semakin dekat, pengiriman uang ke anak-anak sudah dihentikan suamiku sejak mengenal Ija, dan komunikasi kepadakupun selalu tegang.  

Maret 2018, aku resmi dicerai melalui telepon oleh suamiku dengan bahasa sadis melalui makiannya bahwa aku perempuan yang kurang sabar. Pertama aku mendengar perceraian itu aku langsung mematikan teleponnya, saat aku mematikan teleponnya dia mencoba memakiku lewat SMS, aku urungkan untuk membalasnya.  

Jangan pernah bertanya perasaanku lagi, hancur, kalah dan rasa membesarkan anak-anak sendiri namun memasrahkan kepada Tuhan segala yang akan bertanggung jawab untuk kedua anakku adalah pilihanku agar aku bisa hidup tenang dan memutuskan pernikahan yang sudah tidak sehat ini.

April 2018, suamiku menikah dengan Ija tanpa perceraian secara hukum antara aku dan suamiku, kala itu aku tegar mengucapkan selamat via SMS kepada suamiku. Namun suamiku tak membalasnya sementara postingan foto mesra mereka terus di publish oleh Ija sebagai istri barunya.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Dan aku pun terus menjalani hari-hariku sebagai dosen. Capaian demi capaian atas kerja kerasku, rezeki mengalir begitu mudah. Di kampus semasa dulu aku kuliah magister aku dipercaya beberapa teman untuk membantu mengedit artikel ilmiah berbahasa inggris yang hendak mereka publish di Jurnal Internasional itu adalah pekerjaan freelance yang kulakukan di samping pekerjaanku sebagai dosen tetap di salah satu kampus swasta di Jakarta.

Setiap bulan aku selalu diliputi ketakutan tidak bisa mengirim uang susu untuk anak-anakku pasalnya nominalnya tidak sedikit, ketakutan itu mendorongku untuk bekerja keras, cepat, dan tepat hingga Tuhan menunjukkan tanggung jawabnya terhadapku dan anak-anak.

Kini aku menjadi dosen yang bisa membantu orang-orang di sekitarku, dosen yang selalu berderma kepada siapapun dan terpenting anak-anakku selama ini belum pernah kekurangan apapun. Aku begitu merasakan kedamaian, kemenangan pasca kekalahan ini membuat hidupku merdeka dan rasional dalam menyikapi masalah.

Inilah pengorbananku menuju kebebasan yang membahagiakan, kebebasan dari suami yang tidak bertanggung jawab dan suami yang tidak memanusiakanku dan anak-anakku.






(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading