Sukses

Lifestyle

14 Tahun Menikah Belum Punya Anak, Suatu Hari Suami Membuat Tangisku Pecah

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.

***

Saya menikah dengan suami saya (ya iya lah ya) hampir 14 tahun yang lalu. Salah satu hari yang paling berbahagia dalam hidup saya. Suami saya cinta Tuhan, mengasihi saya, bertanggung jawab dan apa adanya. What more to ask, right? Selain itu, karier saya pun sangat baik saat itu.

Waktu terus berjalan, setahun, dua tahun, tiga tahun, dan belum ada tanda-tanda saya mengandung. Setiap ke dokter, selalu diberitahu bahwa saya stres. Mungkin karena pekerjaan? Karena saya sih tidak merasa stres, tetapi kata dokternya begini, “Mungkin Ibu tidak tahu kalau Ibu stres, tapi badan Ibu merasakannya lho.” Akhirnya setelah mendapatkan diagnosa yang sama dari dokter yang berbeda, lama-lama saya pikir iya juga kali ya.

Sampai suatu waktu selama satu tahun saya bolak balik masuk rumah sakit. Panjang ceritanya, singkatnya akhirnya kami memutuskan agar saya berhenti bekerja. Harapan saya dan suami, dengan berhenti bekerja saya lebih santai dan bisa mengandung. Please note that we already know the problem is with me.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/janko ferlic

Ternyata tidak juga. Saya sih sebenarnya sudah kebal dengan pertanyaan, “Kapan punya anaknya nih?” dari teman dan keluarga. Yang masih berasa sedih dan stres adalah kalau yang bertanya orangtua. Bagaimana ya, saya sedih karena saya tahu mereka khawatir. They want me to  be happy and I want them to be happy. Kayak lingkaran, muter-muter di situ.

Tapi yang paling membuat saya terpuruk adalah kalau suami saya bertanya, “Kamu sebenarnya mau kita punya anak nggak sih? Kapan kamu mau kita punya anak?” Jleb! It hurts so much. Saya tahu dia tidak bermaksud menyakiti saya.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/gabby orcutt

Puji Tuhan, hubungan kami berdua sangat baik. Dia hanya frustasi karena usia kami terus bertambah dan tidak ada tanda-tanda bahwa saya akan mengandung. Dan semakin dia frustasi, dia akan semakin diam. Semakin dia diam, saya semakin terpuruk. Saya tidak tahu harus bercerita kepada siapa. Jadi saya makin diam, banyak berdoa dan menangis di kaki Tuhan sendiri. Mau mengadu ke mana lagi?

Semua hal saya selalu berbagi dengan suami, and for this one, I felt so alone. Suami saya tidak sering bertanya mengenai hal ini, saya rasa dia menjaga perasaan saya. Tapi ada waktu-waktu di mana tiba-tiba pertanyaan ini muncul. Hal ini tidak sampai membuat pertengkaran di antara kami, tapi jadi seperti ada duri yang bisa tiba-tiba menusuk sewaktu-waktu. Saya dibayang-bayangi rasa takut kalau-kalau suami saya bertanya "kapan" lagi.

Waktu terus berjalan. Suatu saat ketika kami sedang ngobrol berdua, saya lupa apa yang diobrolkan, tiba-tiba pembicaraan mengarah ke anak-anak yang lucu. Mungkin kami sedang melihat sesuatu di TV atau internet, entahlah. Lalu tiba-tiba air mata saya mengalir. Sedih sekali. Biasanya saya tahan, tapi ini entah kenapa saat itu rasanya hati saya sakit sekali, and I cried.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/thomas curryer

Saya berusaha untuk menyembunyikan air mata tapi kelihatan oleh suami. “Lho kamu kenapa, Yang?”
“Aku minta maaf ya Yang. Maaf,” nggak bisa ngomong apa-apa lagi hanya bisa bilang itu. And he understood immediately what I was talking about.

And this is what he did (saya selalu berkaca-kaca setiap mengingat yang dia lakukan saat itu). Dia mendudukkan saya dengan tegak, melihat mata saya dalam-dalam, lalu bilang begini, “Dengar aku ya, Yang. Aku bahagia. Kalau memang kita harus berdua saja, tidak apa-apa. Aku bahagia.” Tangisan saya tambah menjadi-jadi dalam pelukan suami saya. Tuhaaannn... how blessed I am to have him as my husband. I thank You, I praise You endlessly.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/hannah busing

Sampai saat ini, kami masih terus berharap Tuhan memberikan kami keturunan. Tapi kami berserah kepada-Nya, rancangan-Nya pasti yang terbaik bagi kami. Dan saya tidak lagi merasa sendiri, sungguh bersyukur, Puji Tuhan untuk suami yang sangat pengertian dan sangat mengasihi Tuhan dan saya. Kata-kata “kapan” masih sering dilontarkan oleh keluarga dan kenalan. Susah ya, namanya orang timur, kalau ketemu basa-basinya pasti mengenai keluarga. Saya sih pasrah saja, selama kami menghadapinya berdua dan bersama Tuhan, I know we’ll be OK.




(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading