Sukses

Lifestyle

Sejujurnya Aku Tak Mau Selamanya Menumpang di Rumah Mertuaku

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Angin sejuk dari jendela kamarku melambaikan ujung hijabku. Aku termenung sejenak memikirkan tentang masa depan. Jauh lamunanku dan kata-kata andai bertaburan dalam pikiranku. Sudah tiga tahun lamanya aku berumah tangga, dan Filzah, anakku, sudah beranjak balita. Selama itu jua kami masih menumpang di rumah mertuaku. Kamar inilah yang menjadi benteng privasi kami bertiga. Menumpahkan semua asa dan mimpi bersama. Melihat keluar jendela yang penuh dengan penghijauan di kebun sebelah menjadi pengobat penat hati yang terus dirundung mimpi.

Suamiku bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta. Aku juga mencoba menambah penghasilan dengan berjualan online sambil mengasuh anakku di rumah. Ia anak pertama dari 3 bersaudara. Kedua adik perempuannya masing–masing sudah bekerja juga. Namun mereka belum menikah. Meskipun kami berusaha berdua untuk mencari penghasilan, namun hasilnya belum juga cukup untuk kami bisa mewujudkan mimpi kami untuk memiliki dan pindah ke rumah sendiri.
Ilustrasi./Copyright unsplash.com/kevin schmid

“Kapan punya rumah sendiri?” pertanyaan yang selalu membuat sesak dadaku. Entah itu memang sindiran atau usaha mereka mengingatkan. Namun pertanyaan itu selalu membuatku tersinggung. Sebagai istri dan menantu aku pun tidak berkeinginan selamanya menumpang di rumah mertuaku. Sepenuh hati kami mengusahakannya. Namun dengan gaji suamiku yang pas-pasan, kami belum sanggup membeli sebuah rumah.

Momen lebaran atau arisan menjadi ajang silaturahmi yang lengkap antar anggota keluarga. Namun justru pertanyaan ini lebih kerap muncul dan membuatku kehilangan kata-kata. Hanya bisa menjawab, “Amin,” atau, “Mohon doanya saja." Orang lain memang tak mengerti apapun tentang kita. Mereka hanya berpikir jika kita punya segalanya dan bisa melakukan apa saja sekehendak kita. Namun kita enggan karena kemanjaan kita. Terkadang prasangka tersebut datang pada lisan-lisan mereka. Sungguh sakitnya mendengar hal-hal semacam itu.  
Ilustrasi./Copyright unsplash.com/lopez robin

Sebelumnya kami pernah menjadi “kontraktor” alias mengontrak rumah sana sini. Namun karena lingkungan yang kurang baik dan berbagai hal akhirnya kami kembali ke rumah mertuaku. Rasa tak berdaya membuatku hanya pasrah dan berdoa, semoga kami bisa menjawab kapan kami akan bisa punya rumah sendiri dan menghuninya selayaknya keluarga yang lain di luar sana. Tak jarang air mata ini menetes di sela-sela sujud dan doa.

Kini kami tak menghiraukan pertanyaan, “Kapan punya rumah?” Kami berusaha yang terbaik untuk keluarga kecil kami. Kami yakin semuanya akan indah pada waktu yang tepat. Hanya Tuhan yang tahu jawabannya ketika hamba-Nya sudah berusaha. Kami pun tak putus asa memotivasi suamiku untuk giat bekerja hingga kami dapatkan rumah impian yang masih dalam angan.
(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading