Sukses

Lifestyle

Moms, Nggak Usah Baper Kalau Ada yang Nyinyirin Tumbuh Kembang Anak

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.

***

Anak adalah hal yang paling berharga dalam hidup seorang ibu. Dari saat dalam kandungan hingga terlahir ke dunia, bahkan hingga dia tumbuh dewasa pun doa-doa seorang ibu selalu tercurah untuknya. Kelahirannya menjadi sesuatu yang dinanti-nanti. Begitu sejuk rasanya menatap bayi yang kita lahirkan sendiri dari rahim kita. Cinta yang sudah terjalin saat mengandungnya, tercurah dan membuncah saat pertama kali menatap matanya. Sungguh kebahagiaan yang tidak terkira.

Namun kebahagiaan yang sempurna itu tak berlangsung lama. Sesaat setelahnya, berdatanganlah sanak kerabat menjenguk kita. Ada yang penuh sopan santun dengan memuji bayi itu cantik atau tampan, mirip kita, atau sekedar berseru, “Ih lucunya.”

Tapi ada pula kalangan yang sangat hobi mengomentari bayi kita, dengan serentet wejangan untuk mengurus bayi. Biasanya mereka adalah orang yang sudah berpengalaman. Dari bentuk kepala, peyang atau tidak, hidungnya mancung atau tidak, berat badan, bentuk kaki, hingga kelingking-kelingking dikomentari. Tentu saja hal itu membuat kita tidak nyaman. Padahal kita sendiri sudah menerima bayi kita apapun kondisinya. Jika pun mereka tidak sempurna, toh kita juga bukan manusia yang sempurna.

Tidak cukup sampai di situ, tahap tumbuh kembang anak pun tidak luput dari komentar negatif orang. Terutama saat bayi memasuki tahap berjalan. Biasanya setiap bayi memiliki tahap pertumbuhan yang berbeda-beda. Ada yang jalannya cepat, ada juga yang lumayan lambat. Biasanya anak perempuan cenderung memasuki tahap berjalan yang lebih cepat. Ada yang sekitar umur 9 bulan sudah berjalan, ada juga yang menunggu hingga usia 18 bulan baru bisa jalan. Tapi normalnya anak akan memasuki tahap berjalan pada usia 12-14 bulan.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/jenna christina

Terkadang, ibu yang memiliki anak pada usia satu tahun belum bisa jalan biasanya dia akan stres sendiri. Karena akan ada saja orang iseng yang berkomentar, lebih-lebih jika dibandingkan dengan anak orang lain yang tahap pertumbuhannya lebih cepat daripada anaknya. Seperti yang pernah aku alami.

Anak pertamaku baru bisa jalan pada usia 14 bulan. Normal sebenarnya, tapi hal itu cukup menjadi celah bagi sepupuku yang memiliki anak seumuran dengan anakku dan dia sudah bisa jalan sejak usia 9 bulan. Anakku memang terlahir dengan berbagai sanjungan, ya wajah tampannya lah, ya kulit putihnya lah, ya hidung mancungnya lah, juga sikapnya yang tenang dan tidak mudah rewel. Berbeda jauh dengan anak sepupuku yang meski perempuan tapi (mungkin menurut orang) kurang rupawan. Sehingga keterlambatan tahap berjalan anakku dibanding anak sepupuku menjadi momok yang selalu diperbincangkan dalam setiap kesempatan. Bahkan tak jarang sepupuku mengucapkan kata-kata kasar kepada anakku.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/priscilla du preez

“Wah gimana nih, anak laki kok kalah saing sih?” katanya.
Aku sebagai ibunya, sedih melihatnya. “Duh Nak, masih bayi kamu sudah mengalami bullying dari orang dewasa!” kataku dalam hati. Padahal, di samping tahap jalannya yang lambat, anakku adalah anak yang pintar dan menggemaskan. Dia anak yang selalu ceria dan tidak pernah rewel. Dia selalu menyenangkan orang-orang yang mengasuhnya. Tawanya selalu menyenangkan hati setiap orang. Apalagi jika dia sudah mulai berceloteh, bahkan di usia 10 bulan dia sudah bisa menghafal beberapa huruf Hijaiyah. Pintar, bukan?

Sebenarnya jika aku perhatikan, anakku bukan orang yang memiliki kelebihan dari segi fisik, melainkan dia lebih banyak berpikir. Terbukti, di saat teman-teman seusianya belum pandai berhitung, dia sudah pandai berhitung dari angka satu sampai sepuluh. Itu semua dia capai sebelum usianya genap satu tahun. Meski dengan logat yang cadel, tapi dia cukup fasih menyebutkan angka-angka itu. Aku sangat bangga kepadanya dengan semua itu. Aku juga tidak peduli anakku akan kalah saing atau tidak dibanding anak sepupuku! Aku tetap bangga padanya. Jadi tolong jangan pernah singgung lagi kapan anakku bisa jalan!

Suatu hari, sepupuku sedang membawa anaknya jalan-jalan ke taman. Anak itu terlihat sangat lucu berlari-lari dengan kaki mungilnya. Sedangkan anakku, masih aku tuntun untuk belajar jalan. Mereka menghampiri kami. Aku menyapanya duluan ketika mereka datang menghampiri kami.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/liana mikah

“Hai cantik,” kataku kepada anak sepupuku dengan penuh keramahan. Namun sepupuku justru membalas sapaanku dengan perkataan yang menyakitkan.

“Loh kok masih dituntun-tuntun aja sih? Kapan bisa jalannya? Jalan sendiri dong, tuh biar kayak si Cantik,” kata sepupuku.
“Nggak apa-apa, Cinta,” kataku kepada anakku. “Kapan-kapan aja jalannya nggak apa-apa ya, asal kamu sehat aja. Kata dokter juga nggak apa-apa kok normal,” kataku lagi.

Aku berharap perkataanku bisa menjadi tamparan untuk sepupuku. Bahwa anakku alhamdulillah selalu sehat dan tidak pernah rewel. Aku juga selalu rutin mengonsultasikan tumbuh kembangnya dengan dokter anak dan bidan. Berbeda dengan sepupuku yang bahkan ada posyandu gratis tiap bulan saja enggan hadir. Anaknya pun seringkali tantrum dan terkena demam.

Hingga pada suatu hari yang mengejutkan dan menggembirakan, saat itu anakku sedang menderita penyakit kulit, aku membawanya ke dokter kulit anak di sebuah klinik kesehatan kulit. Kebetulan dokter yang memeriksa anakku itu masih muda dan cantik, juga ramah. Anakku sangat senang, dia terus-terusan mengajak dokter itu tertawa. Sampai dokternya merasa gemas dengan tingkah lucunya. Dia terus mengajak dokternya tertawa sampai tidak mau pulang.

Sepulang dari klinik, aku tidak langsung membawanya pulang. Aku membawanya ke taman. Di sana sedang diadakan kegiatan khusus anak-anak. Anakku bertemu dengan kakak-kakak pengasuh yang biasa mendampinginya dalam kegiatan bermain yang diadakan oleh sebuah komunitas bermain anak. Sehingga dia yang tadinya sedih karena harus berpisah dengan dokter cantik itu, kini terobati karena bertemu dengan “teman bermain” baru. Nampaknya hari itu dia sangat senang, sampai dia tidak sadar jika dia sedang tidak aku pegangi.

Dia berjalan sendiri, dengan sumringahnya. Dia terus tertawa sambil berjalan, mengikuti setiap permainan yang diinstruksikan oleh kakak-kakak dari komunitas bermain anak itu. Aku hanya bisa takjub memandangnya. Aku ingat sekali, saat itu usia anakku tepat 14 bulan. Aku sangat senang dan bangga, karena itu sangatlah normal. Anakku tidak menderita folio atau apa lah seperti yang diprasangkakan orang-orang hanya karena dia “kalah saing” dengan anak sepupuku.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/bastien jaillot

Kakak-kakak pengasuhnya pun ikut takjub mendengar ceritaku, bahwa anakku baru bisa jalan sendiri saat itu juga. Kami sepakat untuk tidak mengganggunya. Dia tidak menyadarinya, sampai aku memanggilnya dari belakang, karena dia sudah berjalan terlalu jauh. Dia menoleh saat kupanggil, dan sepertinya saat itu juga dia sadar jika dia sedang tidak kupegangi. Akhirnya dia terjatuh. Kami semua tertawa melihat tingkah lucunya.

Dia pun ikut tertawa. Lalu aku membangunkannya, memancingnya untuk berjalan lagi dengan kakak-kakak pengasuhnya yang memanggil namanya. Tadinya aku khawatir dia tidak mau berjalan lagi, tapi ternyata dia malah menikmati stimulasi yang kami berikan. Dia terus memamerkan dirinya yang baru bisa jalan di depan semua orang. Setiap namanya dipanggil, dia akan segera bangun dan menggerakkan kaki mungilnya, dengan menyunggingkan tawa memamerkan gigi kelincinya yang baru tumbuh beberapa.

Ah, aku lega, Nak. Semoga hari-hari berikutnya tidak ada lagi omongan tidak enak yang tertuju kepadamu. Setelah bisa jalan, dia semakin suka bermain. Dia malah tampak lebih bijak dari anak sepupuku yang lebih dulu bisa jalan. Mungkin karena dia laki-laki, dan anak pertama. Dia tampak mengayomi teman-temannya, terutama anak perempuan dan anak yang lebih kecil darinya. Saat bermain dengan anak-anak lain, dia tampak seperti seorang kakak yang sedang mengasuh adik-adiknya. Dia selalu mengalah memberikan mainan yang dia pegang jika anak lain menginginkannya. Dia juga akan memeluk anak lain yang menangis, sehingga anak itu berhenti menangis.

Duh Nak, terima kasih, kamu selalu membanggakan buatku. Semoga ceritaku bisa menguatkan seluruh ibu yang sedang berjuang mengasuh anaknya, terutama ibu muda yang baru pertama kali memiliki bayi. Sebagai ibu muda yang masih idealis, berat memang menghadapi tantangan semacam itu. Tapi semoga kita tidak terpancing, sehingga mempengaruhi psikis kita. Yang perlu kita tanamkan adalah bonding kita terhadap anak.

Kita harus percaya kepada anak kita bahwa dia bisa. Jangan dipaksakan meski teman-temannya sudah berkembang melebihi perkembangannya. Dia akan melalui tahap perkembangannya sendiri. Satu lagi, dia pasti memiliki bakat lain yang tidak dimiliki anak lain. Kita harus percaya itu.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading