Sukses

Lifestyle

Menanti Momongan Selama 7 Tahun, Akhirnya Kudapat Sebuah Jawaban

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.

***


Aku dan laki-laki yang kucinta mulai berpacaran saat aku masih sekolah SMA kelas 1. Dia usianya jauh lebih tua dariku, 8 tahun. Orangnya dewasa dan bisa ngemong aku. Berlawanan dengan diriku yang masih labil. Kebetulan rumahku dan dia masih satu RT. Mungkin bisa dibilang cinlok. Meski begitu, dia mau bersabar menunggu sampai sekolahku kelar. Begitu aku lulus SMA, kami masih berpacaran. Aku mencoba-coba mencari pekerjaan. Akhirnya aku mendapatkan pekerjaan sebagai guru les privat, meskipun pendidikanku hanya tamatan SMA. Entah mengapa, aku menyukai profesiku, yaitu mengajar anak-anak. Tak memandang penghasilan yang kecil, tapi ada kepuasan tersendiri bagiku.

Suatu hari, pacarku datang ke rumahku dan membawa kabar, bahwa nanti malam dia akan datang bersama keluarganya untuk melamarku. Di dalam hati ada jujur ada rasa kaget. Tak menyangka bahwa hubungan kami akan berakhir di pelaminan. Kaget tapi senang bahwa laki-laki yang selama ini jadi pacarku punya iktikad baik kepadaku. Aku berpikir, mungkin karena kami sudah lama berpacaran, ada sekitar 6 tahunan. Dan tiap aku bertemu dengan ibunya pacarku, beliau selalu menanyakan kepada kami kapan kami akan menikah. Dan kemudian pada saat acara lamaran itu berlangsung, tanpa pikir panjang, aku menjawab, "Iya." untuk pinangan pacarku itu. Meski begitu, kami berpacaran masih dalam batas kewajaran. Tidak ada istilah married because of accident.

Tepatnya bulan Agustus 2009 aku dan dia menikah. Waktu itu usiaku sudah 21 tahun dan dia 29 tahun. Usia yang sudah cukup matang untuk berumahtangga bagi wanita. Aku pun bersyukur, jodohku datang tidak lama-lama. Pernikahan kami digelar di rumahku dengan sederhana. Kami merasa bahagia di hari spesial itu. Semoga ini pernikahan yang pertama dan yang terakhir bagi kami. Dan setelah itu, lembaran hidup yang baru pun dimulai.

Setelah menikah, kami tinggal di rumahku. Masih menyampur dengan ibuku, 3 orang kakakku dan nenekku. Setelah sah menjadi suami istri, tinggal seatap, aku mulai beradaptasi menjalani peranan baruku sebagai istri. Aku belajar segala hal. Termasuk juga mengenal karakter asli dari pasangan. Kami mencoba untuk saling terbuka, saling menghargai dan saling gotong royong. Sebisa mungkin, kami belajar bersabar dan membuang rasa egois. Aku ingin rumah tanggaku sakinah, mawaddah dan warahmah. Tidak ingin gagal dalam membina rumah tangga.

Sampai akhirnya, suamiku mengajakku dan memboyongku untuk tinggal di rumahnya. Sebagai istri, aku pun menurut dan kamipun tinggal di rumahnya, serumah dengan ibu mertuaku. Di rumah suamiku, ibu mertuaku hanya seorang diri karena beliau sudah lama resmi bercerai dengan bapak mertuaku. Tapi kami tidak sendirian di sana. Ada 3 orang kakak iparku yang rumahnya bersebelahan dengan rumah suamiku. Mereka tinggal dengan istri dan anaknya masing-masing, meskipun masih satu ruang lingkup. Dan pada suatu hari, aku ditawari oleh tetangga depan rumah ibuku untuk mengajar di PAUD miliknya. Aku sangat tertarik dengan tawaran itu dan akupun mengiyakannya. Suamiku juga mengizinkan aku untuk mengajar di PAUD.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/artem kovalev

Aku punya banyak murid-murid baru, minimal usia 3 tahun dan maksimal usia 6 tahun. Aku dengan sabar dan telaten mengajari mereka. Aku sangat menikmati dan mencintai pekerjaanku sebagai guru les privat dan guru PAUD. Aku bisa membagi waktu untuk keduanya, termasuk waktu untuk mengurus suami dan rumah. Tapi kalau hari Sabtu dan Minggu aku libur mengajar dan bisa full time di rumah sebagai ibu rumah tangga.

Dan tak terasa, sudah dua tahun usia pernikahan kami. Sebenarnya ada rasa gundah kenapa sampai sekarang aku dan suami belum punya momongan. Apalagi kalau dengar pertanyaan dari tetangga, "Kok belum hamil-hamil sih kamu?" Pertanyaan yang bagiku cukup mengganggu. Tapi aku berusaha agar tidak stres memikirkan itu.

Pikiranku seketika calm down saat aku mengajar. Di situ hatiku merasa terhibur oleh murid-murid kesayanganku. Tak jarang, ada juga orangtua murid yang care dan selalu memberi aku support agar aku tidak stres memikirkan soal momongan. Di sekolah, ada salah seorang orangtua murid mengatakan kepadaku, "Kak Puput, percayalah Allah sudah mengaturnya dengan baik ke depannya. Anak kan rezeki dari-Nya." Aku pun hanya bisa terharu dan tersenyum menanggapinya sambil mengamininya.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/janko ferlic

Kalau dari pihak keluargaku, seperti ibu dan kakak-kakakku, mereka tidak ada yang bawel, tidak pernah menanyakan kepadaku soal kehamilan. Aku bersyukur punya ibu yang selalu mau mendengar curhatanku, memberikanku masukan dan support. Ada juga nenekku, beliau sangat menyayangiku dan mengatakan kepadaku bahwa di setiap salatnya beliau selalu mendoakan aku semoga diberikan anak oleh Allah SWT. Aku senang punya orangtua yang selalu menyayangiku dan mendoakan kebaikan untuk diriku dan suamiku. Aku beruntung memiliki mereka.

Dan waktu itu, aku pun punya ide dan aku utarakan ke suamiku. Aku ada rencana mau memeriksakan diriku dan suamiku ke dokter spesialis obgyn. Dan kemudian, suamiku menuruti saja kemauanku itu. Toh demi kebaikan kami juga. Pada waktu itu, belum ada BPJS. Jadi semua biaya rumah sakit, kami tanggung sendiri. Tapi tak mengapa, soal biaya tak jadi masalah. Yang penting kami ada ikhtiar. Manusia hanya bisa berencana, hanya bisa berusaha dan Allah yang menentukannya.

Mulai dari diriku, aku diperiksa USG baik internal maupun eksternal. Hampir tiap sebulan sekali aku menjalani USG itu, dilihat apakah sel telur sudah matang atau belum. Sebelumnya, aku diberi resep obat yang harus ditebus oleh kami di apotek. Semacam obat penyubur kandungan. Obatnya ukurannya kecil, isinya sedikit tapi harganya juga tidak murah. Ditambah biaya administrasi rumah sakit, biaya konsultasi dokter spesialis obygn, biaya pemeriksaan lab karena suamiku harus menjalani prosedur analisa sperma dan biaya ke bagian radiologi karena aku harus menjalani prosedur semacam rontgen di bagian rahim sampai ke indung telur, bernama HSG. Entah sudah berapa total biaya yang kami keluarkan, sekali lagi yang tadi saya bilang, biaya tidak kami pikirkan. Karena kami berdua bekerja jadi harus pintar-pintarnya kami dengan bijak dalam mengatur anggaran rumah tangga. Yang ada di kami, hanya niat, ikhtiar dan berdoa. Selebihnya kami bertawakal berserah diri kepada-Nya. Apalagi kalau aku ingat saat sedang menjalani HSG, ada rasa sakit, tidak nyaman di bagian perut bawah, sakitnya seperti nyeri haid tapi masih hebat lagi. Rasa sakit masih bisa aku tahan. Yang penting, kemauan keras.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/paul lin

Setelah rampung serangkaian prosedur yang telah kami jalani di rumah sakit tempat kami konsul ini, suatu hari sang dokter spesialis obygn pun menyimpulkan kepada kami, menyatakan bahwa kami sehat, tidak ada masalah. Cukup lega juga kami mendengarnya. Merasa lega karena kami tidak ada penyakit dan dinyatakan sehat secara medis. Tapi kenapa kami belum kunjung juga punya momongan? Apanya yang salah di diri kami? Bukankah kami juga sama dengan yang lain, punya hak untuk bahagia, ingin merasakan lengkapnya hidup dengan hadirnya buah hati? Hal yang manusiawi menurutku kalau ada pertanyaan-pertanyaan semacam itu di benak kami.

Kadang aku melihat tetanggaku, teman-temanku, mereka menikah dan tak lama bisa positif hamil. Senangnya menjadi mereka, pasti bersyukur banget, pikirku dalam hati. Tapi aku belajar untuk legowo dan tidak iri pada orang lain. Aku berusaha keras untuk tidak mengotori hatiku dengan penyakit hati semacam iri atau dengki. Dan tak terasa, usia pernikahanku dan suami sudah menginjak 5 tahun. Begitu rindunya kami akan sosok anak, kapan dia hadir di tengah-tengah  keluarga kami ini. Rahasia Allah namun kita tidak boleh berprasangka buruk kepada-Nya.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/rocknwool

Tak jauh dari rumah, kebetulan ada tukang jual gorengan yang mangkal, dan orang yang berjualan gorengan itu masih tetanggaku, seorang ibu-ibu setengah tua. Dan tiap aku ke sana mau beli gorengan, ibu itu selalu menanyakan kepadaku, "Kok belum hamil-hamil sih? Rahim kamu kering kali."  Akupun hanya bisa menjawabnya dengan senyum singkat dan bergegas pergi meninggalkannya. Bukan apa-apa. Tapi perkataannya itu semacam menyakiti perasaanku. Seolah-olah aku ini makhluk hidup yang tak punya perasaan. Tapi kembali lagi, aku kembalikan perasaan sedihku ini, aku mengadu kepada Allah.

Pasangan mana sih yang tidak mau punya anak. Aku rasa sih tidak ada. Setiap pasangan suami istri pasti sangat mendambakan adanya kehadiran anak di dalam rumah tangganya, termasuk aku. Pernah juga terbesit dalam benakku pikiran untuk mengadopsi anak. Dan kemudian, aku mencoba membicarakan hal tersebut kepada suamiku. Respon suamiku seolah membingungkanku. Katanya dia mau rundingan dulu dengan kakak-kakaknya. Waktu itu, aku sedikit kesal juga sama suamiku. Kenapa sih dia sepertinya tidak pro sama aku? Kenapa harus rundingan dulu dengan keluarga? Bukankah rumah tangga ini hanya aku dan suami yang menjalaninya? Terus nanti kalau kakak-kakak suamiku keberatan dan tidak mengizinkannya, terus bagaimana dengan kami? Sementara kesedihan, kesepian dan kerinduan akan sosok anak, hanyalah aku dan suami yang merasakannya. Semua kakak-kakak iparku sudah pada punya anak. Kemudian aku pun berusaha tenang dan bersabar. Kalau aku balik bersikap keras ke suamiku, nanti yang ada kami malah bertengkar.

Kalau lagi ada acara kondangan, tak pelak kami sering mendengar pertanyaan, "Kapan punya anak?" Karena di momen itulah kami selalu bertemu dengan teman-teman di mana mereka membawa serta anak mereka di acara kondangan itu. Aku bisanya jawab apa. Paling aku hanya bisa senyum singkat saja dan lalu aku mencoba untuk mengalihkan ke topik pembicaraan yang lain. Dan tiap tahun, setiap momen lebaran, sering banget aku dengar pertanyaan itu, "Kapan nih punya anaknya?" dari pihak keluarga besar suamiku.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/toa heftiba

Pernah sekali, salah seorang kakak iparku bilang ke aku bahwa suamiku dari keluarga yang punya keturunan banyak. Aku iyakan saja. Aku tetap menghormati dan menghargai beliau, aku tak mau menunjukkan rasa amarahku. Biarlah kuredam dengan beristighfar. Aku positive thinking saja bahwa mereka begitu karena mereka menyayangiku, ikut empati dengan keadaan kami.

Kalau ada orang yang pergi berangkat ibadah umroh, aku selalu berpesan agar dibawakan oleh-oleh kurma muda untuk aku dan suamiku makan. Karena aku pernah dengar bahwa makan kurma muda juga salah satu ikhitiar agar punya momongan, meskipun aku juga tahu itu rahasia Illahi.

Suatu hari, aku dengar kabar bahwa budeku yang di Padang, sedang menjalani ibadah umroh. Ibuku memang selalu intens komunikasi dengan kakak perempuannya itu. Dan saat bude sedang berada di Mekah itulah, beliau menelepon ibuku di Jakarta. Aku pun lalu ikut berbicara dengan bude via telepon bahwa aku minta dibawakan oleh-oleh kurma muda dan aku minta didoakan di depan Kakbah semoga aku diberikan Allah keturunan yang sholeh sholehah. Bude pun mengiyakannya. Aku senang mendengarnya dan mengucapkan terima kasih kepada beliau.

Dan pada akhirnya nenekku jatuh sakit. Memang nenekku sudah tua dan renta, usianya sudah 90 tahun. Tiba-tiba kaki beliau tidak kuat lagi untuk berjalan. Dan aku kasihan lihat mamaku sering kelelahan dalam merawat nenekku. Memang pada saat itu posisinya aku masih tinggal di rumah suami. Jadi aku sering bolak-balik ke rumah ibuku untuk merawat nenekku. Aku pun mengambil keputusan untuk resign dari pekerjaanku mengajar. Aku ingin fokus merawat nenekku yang sakit.

Setelah satu tahun nenekku sakit, cobaan hidupku bertambah lagi. Ibuku tiba-tiba ngedrop dan harus dilarikan ke IGD Rumah Sakit. Dan vonis dokter, ibuku sakit gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah. Bagai petir di siang bolong menyambar. Aku terkejut dan menangis sejadi-jadinya.

Aku sangat mengkhawatirkan keadaan beliau. Ibuku adalah orangtua tunggal di dalam keluargaku karena ayahku sudah lama berpulang ke rahmatullah. Suamiku selalu mendampingiku dan memberiku suport agar aku tegar dan sabar. Saat itu aku berpikir, betapa berat ujian dan cobaan hidupku ini. Sudah lima tahun lebih aku dan suami belum punya momongan, ditambah nenekku sakit lalu menyusul ibuku divonis sakit gagal ginjal. Ya Allah, beri aku kekuatan, doaku di setiap salat dan doaku.

Waktu berlalu, perlahan ibuku sudah mulai ada perkembangan. Yang tadinya ibu hanya bisa berbaring saja di tempat tidur, sekarang ibu sudah bisa berjalan sendiri, seperti sedia kala. Meskipun ibu harus tetap menjalani cuci darah dua kali dalam seminggu, setiap Rabu dan Sabtu pagi.

Semenjak ibuku sakit, beliau tidak bisa merawat nenekku. Tak mengapa bagiku. Aku dan suamiku dengan senang hati mau merawatnya, tak hanya nenek, tapi juga ibu. Aku dan suami merawat dua orangtua yang sedang sakit. Kami tak pernah mengeluh, kami melakukannya dengan ikhlas. Termasuk meninggalkan pekerjaan mengajarku. Tak punya penghasilan tak mengapa bagiku. Masih ada suamiku yang bekerja. Yang penting, aku mengurus dan merawat nenek dan ibuku. Mengerahkan seluruh waktu dan tenagaku.

Setelah satu tahun nenekku dengan keadaan sakitnya ini, rupanya Allah lebih sayang dengan beliau. Nenekku wafat di usianya yang telah menginjak 91 tahun. Aku benar-benar tak menyangka, nenek pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Rasanya aku masih belum puas, aku masih mau nenek hidup, aku masih ingin nenek ada di dunia ini. Tapi siapa yang bisa melawan takdir Allah. Ini sudah menjadi kehendak-Nya dan kita harus bisa lapang dada menerimanya. Aku sedih sekali kehilangan sosok nenek kesayanganku ini. Karena dari aku lahir, aku tidak pernah bertemu dengan sosok kakek karena kakekku telah lama wafat jauh sebelum aku lahir. Jadi aku hanya mengenal sosok nenek saja di dalam hidupku.

Setelah 40 hari nenek meninggal, aku pindah rumah di daerah Depok. Tadinya aku dan suami tinggal di Jakarta Selatan. Alhamdulillah kami ada rezeki dan kemudian kami bisa membeli sebuah rumah yang sederhana. Jadi sekarang aku dan suami sudah misah dari ibu mertuaku. Ibu mertuaku tinggal bersama anak-anaknya yang lain. Dan suamiku adalah anak bungsunya. Tapi kebetulan, ibu mertuaku sama sekali tidak keberatan kalau kami pindah rumah.

Memang sudah lama aku ingin hidup mandiri, tinggal hanya dengan suamiku saja. Dan sejak itulah, aku tinggal hanya berdua saja dengan suamiku. Tak terasa sudah 7 tahun usia pernikahan kami, masih belum ada momongan. Tapi kami masih mencoba sabar. Sabar yang tiada ada habisnya. Di rumah baru, kami seolah membuka lembaran hidup yang baru. Tetangga-tetangga baru kami sudah pada tahu kalau kami masih berdua, belum punya momongan. Tapi sejauh ini, sudah ada satu tahun kami tinggal di Depok, belum pernah aku dengar pertanyaan, "Kapan hamil?"

Suatu hari di pagi hari, aku ingin menyusul ibuku di sebuah rumah sakit. Beliau sedang menjalani cuci darah seperti biasanya, setiap Rabu pagi. Ibuku tadi berangkat ke rumah sakit diantar oleh kakakku yang laki-laki sekalian dia mau berangkat kerja. Jadi aku mau menyusul ke sana  untuk menemani beliau. Aku lalu minta diantarkan oleh kakak iparku, karena suamiku sedang pergi.

Sebelum berangkat, ibuku meneleponku bahwa beliau minta dibelikan obat batuk sirup. Aku pun di dalam perjalanan ke rumah sakit, mampir ke sebuah apotek. Aku beli obat batuk sirup untuk ibuku. Dan tidak tahu kenapa, tiba-tiba aku iseng-iseng mau beli testpack. Aku sebenarnya sudah siap mental. Karena bukan baru pertama kalinya aku beli testpack. Sebelum-belumnya sudah beberapa kali aku periksa pakai testpack sendiri dan hasilnya selalu negatif, aku belum hamil.

Sampai di rumah sakit, aku mampir ke kantin beli sebuah air mineral kemasan cup. Air mineralnya aku minum sampai habis dan tutupnya aku buka semua. Dalam cupnya aku lap dengan tisu kering yang bersih. Aku pun bergegas ke kamar mandi untuk buang air kecil. Dan aku mulai memakai testpack dengan air urinku tersebut. Dan apa yang terjadi, membuatku gemetar. Tangan dan dengkulku seketika gemetaran. Buat bicara juga bibirku gemetaran. Yang aku lihat, ada dua garis merah di testpack-ku ini. "Mungkinkah aku positif hamil, Ya Allah?" tanyaku dalam hati.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/wes hicks

Lalu aku mencoba tenang dan menyusul ibuku ke ruangan cuci darah. Aku bisik-bisik ke ibuku dan menceritakan apa yang telah terjadi barusan. Lalu respon ibuku, aku disuruh menunggu dulu sampai seminggu ke depan, baru aku periksa ke bidan. Aku lalu buru-buru menelepon suamiku ingin memberitahukan berita bahagia ini kepadanya. Respon suamiku, dia senang. Kami sangat bersyukur kalau nanti memang benar aku hamil.

Seminggu sudah berlalu, aku dan suami pergi ke bidan. Memang pada saat itu, aku belum kunjung juga datang bulan. Aku bawa testpack yang sudah aku pakai itu dan aku tunjukkan ke bu bidan. Bu bidan lalu menanyakan kepadaku kapan tanggal terakhir aku dapat haid. Setelah aku beri tahu, bu bidan mulai menghitung dengan kalender kesuburan. Dan bu bidan bilang, aku sudah hamil 5 minggu. Waktu itu pertama kali aku periksa ke bidan di Bulan Juni 2016. Lalu aku diberikan vitamin oleh bu bidan dan berpesan supaya vitaminnya diminum, aku juga dianjurkam minum susu hamil. Aku diberi buku pink yang bernama KIA yang berarti Buka Kesehatan Ibu dan Anak. Buku KIA ini wajib dibawa tiap aku periksa hamil. Aku dan suami sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Alloh yang akhirnya memberikan kepercayaan kepada kami diberikan momongan.

Dan sekarang Juli 2018, anakku, Adibah, sudah berusia 17 bulan. Adibah lahir di bulan Januari 2017 dengan proses caesar, lahir tanpa kurang satu apapun. Kesabaran, usaha, dan doa kami selama ini membuahkan hasil, doa kami didengarkan Allah. Aku positive thinking, mungkin aku belum hamil karena aku masih punya tugas untuk merawat nenekku sakit dulu, juga merawat ibuku yang pada saat itu masih ngedrop-ngedropnya. Adibah kini sudah melengkapi hidupku dan suamiku. Semoga kelak Adibah menjadi anak yang sholehah, patuh, berbakti, sayang dan selalu menghormati orangtua dan neneknya. Aku juga ingin mengajarkan Adibah dari sejak dini supaya dia menyayangi neneknya, seperti aku menyayangi ibu dan nenekku. Aku ingin memberikan contoh yang baik untuk Adibah.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading