Sukses

Lifestyle

Kehilangan Memang Tak Pernah Baik-Baik Saja, Tapi Hidup Tak untuk Diratapi

Jalan berkelok tetap harus dilewati untuk mencapai suatu tujuan, angin sepoi berteman dengan burung gereja ciptakan nada merdu tepiskan duka untuk sesaat. Dalam perjalanan panjang hidup di dunia yang  fana ini, silih berganti masalah dan kebahagiaan datang berkunjung. Kini usiaku telah 20 tahun, telah kulewati masa SMP dan SMP berbeda dari yang lain, kini di bangku perkuliahan keinginan nakalku mulai menjadi-jadi, inginku seperti yang lain, jalani hari ini tanpa mengkhawatirkan hari esok, bergandeng tangan dengan pasangan, tertawa sana sini dengan ceria. Namun semua keinginan itu pergi hilang menepis kala kuingat pesan terakhirmu ayah dan bunda.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/aaron burden

Tahun Terakhirku Bersama Bunda
2011, tahun di mana kecemasan menemani hari-hariku menanti hasil kelulusan, juga merupakan hari pedihku di mana aku terus menangis takut melihat kondisi bunda yang semakin hari semakin lemah. Dulu kau adalah wanita tangguh bagai pohon bakau yang menghalau ombak, kau rawat dan didik aku serta kakak-kakakku, tapi kini seperti selembar tisu yang lemah tak berdaya. Di balik jendela kulihat tubuhmu yang makin kurus dan lemah di ranjang tidur rumah sakit.

Ayah dan kakak menyuruhku terus tersenyum padamu saat memasuki ruang kamarmu, dengan senyuman manis dan belaian lemah getarmu kau pinta aku untuk makan dan tidak khawatir, sungguh pecah air mataku tak mampu untuk kubendung kembali. Hari terus berlalu kini kau tak lagi berada di rumah sakit, meski dokter mengizinkan pulang, perasaan gusar takut terus menghantuiku. Di suatu pagi yang cerah, seperti biasa kau berolahraga kecil dengan berjalan jalan, kulihat kau dari kejauhan punggung yang dulu tegap kokoh kini layu meringkuk. Senja yang mulai tiba, kau ucapkan kata-kata aneh yang membuatku semakin takut, kau lontarkan nasihat - nasihat untukku juga kakak dengan senyum kau sembunyikan kekhawatiranmu lalu perlahan kau pejamkan mata untuk selama lamanya.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/hannah bruckner

Tahun Terakhirku Bersama Ayah
2013, tahun di mana aku bukan lagi siswi SD, kini aku sudah duduk di bangku SMP. Ujian semester 1 kelas 8 akan segera dimulai, belajar dan belajar adalah suatu kewajiban. Namun waktuku tak lagi terkontrol, belajar hanya mampu aku lakukan sewaktu di sekolah saja. Bagaimana tidak, kini ayah terbaring di ranjang rumah sakit, pagi kupergi sekolah kukayuh sepedaku sejauh 5 km. Pulang sekolah hanya untuk ganti pakaian dan bawa baju ganti untuk ayah lalu aku naik bus menuju rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit aku harus mengurus surat untuk mengambil obat, jaga dan rawat ayah, lalu pukul 3 pagi aku bergegas untuk pulang dan pergi sekolah. Pernah aku ditegur guru karena ketiduran di kelas, hanya maaf dan maaf yang mampu aku lontarkan. Terus begitu hingga ujian berakhir. Hasil ujian keluar, marah, sedih juga kecewa menyelimuti hatiku. Aku yang selalu mendapat posisi 3 besar, kina 10 besar pun tak dapat. Aku marah pada kakakku yang sibuk kerja tak bisa menjaga ayah di rumah sakit, aku marah pada ayah yang sakit, dan aku juga marah pada diriku sendiri. Namun, rasa kecewaku lebih besar dari amarahku, aku kecewa tidak bisa buat ayah bangga dengan hasil ujianku.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/juan carlos pablo

Ayah menangis menatapku, memelukku lalu berkata, “Maafkan ayah." Hari berlalu kini ayah tak lagi berada di rumah sakit, tapi rasa takutku semakin menjadi karena ayah pulang setelah memaksa dokter. Di rumah ayah terus berusaha untuk terlihat kuat tapi aku tahu ayah menahan sakit. Senja di suatu hari tinggallah aku dan ayah di rumah, ayah memberiku pesan juga nasihat. Ayah tersenyum dan berkata, “Adik tinggal sama Uti ya, Adik jangan pacaran ya, sekolah dulu yang benar. Capai cita-cita Adik, jadilah orang sukses dan banggain Ayah sama Bunda.”

Pecah air mataku terus mengalir tanpa henti kupeluk ayah tak ingin kulepaskan dan aku berkata, “Aku tidak mau, aku ingin selalu sama Ayah, aku ikut Ayah kemanapun Ayah pergi." Lalu ayah memelukku erat dan menenangkanku. Kala tangis reda ayah pun tertidur. Aku pun tidur di sisi ayah hingga pagi menyapa ayah masih tetap tertidur waktu terus bergulir sekitar jam 9 aku coba bangunkan ayah, ayah hanya membuka mata menatapku lalu tertidur kembali. Kugenggam tangannya kupandang kembang kepis di perutnya namun tiba-tiba perut ayah tak lagi kembang kempis. Kupanggil ayah, kubangunkan ayah, tapi ayah tetap diam, lalu kakakku tiba dan ia menangis karena ayah telah pergi.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/lizzie

Masih Kujaga Pesan Terakhirmu
Bertubi-tubi cobaan datang menghampiriku, Tuhan panggil orang-orang tersayangku. Menjadikanku yatim piatu di saat aku mulai beranjak remaja. Pindah ke kota tinggal bersama Uti, kehidupan sekolah yang berbeda. Rokok, seks bebas, minuman beralkohol sempat berada tepat di depan mataku, tapi pesan terakhirmu terlintas di benakku, tepiskan semua itu.

Sahabat sahabatku telah menjelajah bergonta-ganti pasangan namun aku sekalipun tak pernah pacaran. Ada keinginan dalam hatiku untuk mulai berpacaran namun lagi lagi pesan terakhirmu melintas di kepala dan benakku, mengubur dalam-dalam keinginan nakalku. Aku akan selalu menjaga pesanmu, aku akan terus berusaha mencapai cita citaku dan membuatmu bangga ayah, bunda.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading