Sukses

Lifestyle

Jahatnya Ayah yang Mendua Membuat Ibu Jadi Tulang Punggung Keluarga

Kadang dalam hidup ini, perempuan punya peran istimewa sebagai seorang penjaga. Meski kadang ujian hidup begitu berat tapi seorang perempuan bisa begitu tangguh menjalaninya. Seperti kisah sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #JagainKamu ini. Ada cerita yang begitu menyentuh hati di dalamnya. Lomba menulis kali ini dipersembahkan oleh Softex Daun Sirih, yang selalu #JagainKamu para perempuan Indonesia.

***

Apa kalian percaya ibu peri?
Ya, ibu peri. Seperti yang ada di dalam cerita dongeng Cinderella. Yang selalu mengupayakan segala kebaikan untuk Cinderella. Jika kalian bertanya padaku, aku akan menjawab ya. Karena aku mengenal salah satu ibu peri itu. Ibu peri yang selalu mengusahakan segala kebaikan untukku.

Perawakannya sedang, tidak tinggi dan tidak juga pendek. Dia juga tidak gemuk dan tidak terlalu kurus. Semua terasa pas jika kau melihat dari sudut pandangku. Matanya yang selalu memancarkan semangat seolah tak pernah redup padahal jikalau malam tiba hanya Tuhan tempat mengadu yang tahu kegundahan hatinya. Tulang pipinya yang tinggi dan senyum lebar yang memperlihatkan susunan giginya yang rapi menambah poin menarik yang dimilikinya.

Cara berjalannya cepat dan tanggap dengan rok yang digunakannya melambai-lambai mengikuti gerak kakinya yang tanpa henti berayun. Bahkan aku yang masih muda saja seringkali tertinggal dan diejek karena dia saja yang sudah melewati kepala lima bisa mengalahkanku yang notabene masih sangat muda. Dia yang biasa kupanggil ibu. Rasanya ada beribu kata untuk menggambarkan bagaimana sosoknya yang begitu luar biasa.

Ibuku itu selalu tersenyum hangat menyapa setiap orang yang ditemuinya baik itu yang dikenalnya baik maupun yang tak dikenalnya. Ibuku sewaktu muda adalah seorang penjahit pakaian wanita yang sangat handal. Kalian boleh bertanya kepada setiap orang di daerahku siapa yang tak mengenal ibuku. Hingga akhirnya ibuku menikah dengan ayahku dan memilikiku serta adik-adik.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/faisal amir

Awalnya semuanya terasa indah hingga aku mendekati jenjang pendidikan terakhirku. Ayahku tak bisa lagi diharapkan seolah melimpahkan semuanya pada ibu. Padahal dirinya masih mampu, harusnya dia malu karena wanita yang harus mencari nafkah. Siap ataupun tak siap ibu banting tulang bekerja apa saja. Ibu memulai dengan kembali merintis usahanya kala muda namun tak memberikan hasil yang baik karena banyak penjahit muda lebih digemari sehingga jahitan ibuku tak lagi diminati.

Lalu ibu mencoba berjualan makanan untuk sarapan pagi seperti lontong sayur, bubur, dan lainnya. Karena itu ibu harus berangkat ke kedainya subuh hari setelah azan subuh bahkan matahari belum memperlihatkan sinarnya, untuk dapat menghidangkan dagangannya saat waktu sarapan pagi tiba.

Tidak peduli itu hujan ataupun listrik mati tetap ditempuhnya seorang diri melewati lorong-lorong gelap melewati pasar untuk tiba di kedai. Tanpa takut serangan dari siapapun karena dia yakin Tuhan akan menjaganya karena ia harus menafkahiku dan adik-adik. Meskipun terkadang ada gangguan dari orang–orang yang iri dengki namun ibuku tetap teguh.

Ibu berjualan tanpa ada bantuan dari orang lain karena aku dan adikku yang bersekolah jauh dari kampung. Meskipun harus tinggal berdua dengan ayahku yang seperti tak mengharapkannya, ibu tetap tegar melalui semuanya sendirian anak-anaknya. Sering kali aku berkata ingin pulang dan membantu ibu saja, tetapi ia selalu menjawab tidak dengan tegas dan berkata, "Ibu tidak punya uang untuk diwariskan jadi hanya ilmu yang bisa Ibu berikan pada kalian jadi belajar saja dengan rajin." Kata-kata ibu ini yang selalu memotivasiku untuk belajar dan bersemangat.

Hingga prahara kembali menimpa keluarga kami. Lagi-lagi berasal dari ayahku yang membuat ibu merasa harus berhenti berjualan dan tak sanggup untuk tetap melanjutkan rumah tangganya. Ayah mendua, ya dan tentu saja semakin menambah luka di hati ibu.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/anna utochkina

Saat itu aku merasa inilah akhir dari ketabahan ibu dan akhir dari pernikahan yang dibina hampir 20 tahun. Tapi entah bagaimana Tuhan menciptakan hati mulia itu, setelah mendengar adik bungsuku yang menangis karena tidak setuju dengan perpisahan mereka. Ibu mengubah keputusannya. Ia mencoba tetap mempertahankan pernikahannya sekali lagi. Ketika aku bertanya kenapa ibu begitu kuat, ibu berkata, "Bahwa Tuhan sedang mengujinya dan Tuhan hanya memberi cobaan sesuai dengan batas kemampuan hamba-Nya jadi cobaan ini masih bisa ibu atasi."

Ibu mencoba membuka usaha lain. Di samping masih menerima jahitan yang tidak seberapa. Ibu berjualan es cokelat. Berjualan es, saudara-saudara dengan bangga aku mengatakannya karena dari tangan penjual es itu aku bisa menyelesaikan hingga pendidikan magister, begitu juga dengan adikku di bidang desainer. Selain berjualan es cokelat dan juga panganan kecil untuk dijual kepada anak-anak sekolah yang lokasinya kebetulan berada tak jauh dari tempat ibu berjualan.

Untuk berjualan panganan ibu harus bangun pukul 2 hingga 3 dini hari untuk mulai kegiatan, selesai menjelang azan subuh, setelah subuh dilanjutkan mengantar panganannya ke setiap toko panganan. Setelah itu ibu lantas melanjutkannya dengan membeli kebutuhan dapur, tanpa istirahat langsung memasak untuk hidangan di rumah. Setelahnya ibu siap-siap ke kedainya untuk berjualan kembali. Entah dari mana ibuku mendapatkan semua kekuatan yang dimilikinya mengingat semua kebutuhan dikerjakan sendiri dari mencari nafkah hingga menjadi ibu rumah tangga sesuai kodratnya meskipun suami yang dijunjungnya tak sedikitpun menghargainya.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/kamil szumotalski

Aku ingin sekali membenci ayah yang menurutku begitu jahat pada ibu, tapi kalian tahu apa yang ibuku katakan? "Tidak ada kebencian karena itu Ayah kalian," kurang lebih itu yang selalu dikatakannya.

Pikiranku melayang saat mendekati wisuda, di tengah kesibukannya sebagai ibu sekaligus 'bapak' rumah tangga, ibu berusaha menyelesaikan pakaian yang harus kukenakan saat wisuda. Meskipun aku bersikeras untuk meminjam saja, namun kalian tidak akan pernah tahu betapa keras kepalanya ibuku jika sudah bertekad.

Ibu ingin aku tetap tampil cantik dengan pakaian buatannya di hari bersejarah dalam hidupku. Begitupun saat aku ingin menghentikan pendidikanku agar dapat membantunya yang bekerja sendirian, tapi tentu saja ibu bersikeras menolak ide itu, karena baginya hanya pendidikan yang dapat meningkatkan derajat seseorang, meskipun ibuku bukanlah seorang yang berpendidikan tinggi.

Ibuku adalah ibu peri yang sesungguhnya. Dari tangannya yang seperti memiliki daya magis, ia bisa melakukan segala hal yang bahkan tak bisa dilakukan ibu peri. Ibu peri dalam cerita Cinderella hanya dapat mengubah labu menjadi kereta kencana dan menyulap Cinderella menjadi seorang putri bergaun renda serta bersepatu kaca dan itu memiliki tenggang waktu hanya sampai tengah malam.

Sementara ibuku yang berharga memberikanku sesuatu yang tak ternilai yaitu tekad kuatnya, kebaikan hatinya, semangatnya, keahliannya, pandangannya, kehangatannya, kemandiriannya, ketabahan dan kesabarannya dalam hidup. Dan semua hal itu sangat berguna untukku dan tak lekang oleh waktu hingga nanti.

Sekian.




(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading