Sukses

Lifestyle

Bersahabat dengan Lupus, Kuyakin Penyakit Ini adalah Penggugur Dosaku

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Aku merasa sedang menjadi jiwa yang retrospektif. Mengenang dan dihantui oleh bayang-bayang di masa lalu. Bukan berharap atau ingin kembali pada masa itu, tapi lebih kepada aku ingin mengutuk diriku sendiri dengan hal lalu yang telah aku lakukan. Memang, mempunyai rasa sakit dan dijangkiti oleh penyakit serius itu bukanlah keinginan setiap orang. Tapi apa yang harus dilakukan ketika diri sudah ditakdirkan untuk menerima itu?Sebagian orang mungkin tahu apa itu lupus, bukan judul film yang sempat ngehits itu. Tapi sebuah kelainan imunitas yang menyebabkan kekebalan tubuh abnormal sehingga menyerang dan membunuh sel dan jaringan tubuh yang sehat. Kebanyakan kasus, lupus selalu menyerang wanita. Dan saat ini, lupus menjadi sahabatku.Aku masih ingat, ketika aku marah, kesal, sedih, dan hampir menyerah juga putus asa. Malah sampai menutup diri dan merasa orang-orang di sekitarku akan berlaku tidak baik. Bahkan, aku mengutuk Tuhan, Allah SWT. Setiap hari, aku mengeluh "Ya Allah, sakit rasanya," "Ya Allah, kenapa Engkau begitu jahat?" "Ya Allah, mana rahman dan rahiim-Mu?" "Ya Allah, mana Engkau yang katanya pemberi kebaikan, yang ada Kau malah beriku kesakitan." Tiada hari tanpa mengeluh sampai sekitar dua tahun lamanya.

Ilustrasi./Copyright shutterstock.comSaat itu aku masih duduk di bangku SMA, sampai-sampai aku harus merepotkan guru dan teman karena tiba-tiba aku pingsan, aku harus mengerjakan ujian susulan sebab aku kembali jatuh sakit. Bahkan, sampai tidak jadi ikut ujian masuk PTN yang sangat aku inginkan padahal sebulan lebih aku sudah persiapan hingga mengikuti Learning Camp. Aku sempat merasa sakit hati karena cibiran teman, bahkan saat perkataannya sangat menyayat hati sebab yang disinggung adalah soal paras yang kebanyakan menjadi aset wanita sebab lupus yang “marah” pada wajahku dan membuatnya menjadi aneh dengan ruam-ruam merah. Aku sangat marah, yang lebih parah, aku ingat saat aku melakukan hal yang sangat bodoh, demi katanya, untuk menghilangkan penderitaanku. Tidak minum obat berhari-hari, lalu kemudian emosi, dan akhirnya menenggak obat sebanyak-banyaknya.Astaghfirullahal'adzim. Selalu ingin beristighfar ketika mengingat hal tersebut. Hingga beberapa waktu kemudian, Allah memberiku jalan dengan hal-hal yang tidak pernah terduga dan aku pikirkan. Allah memberiku penerangan. Bagai cahaya lilin ketika listrik mati, bagai fajar saat pagi buta yang menjemput menemui pagi. Allah datangkan seseorang, yang kusebut “malaikatku”. Seseorang yang tidak sama sekali aku kenal, dari ibukota, kemudian datang dan entah kenapa memberikan semangat dan penerangan bahwa keputusasaanku adalah salah. Penerangan bahwa sakit yang aku rasa adalah poin tambah dan sebuah keistimewaan. Dan akhirnya, Allah pun menuntunku masuk PTN Keislaman di Jakarta, luar daerahku. Dan itu membuatku harus jauh dari orang tua dan berusaha mandiri. Saat ini aku baru selesai di semester empat. Alhamdulillah, jauh lebih baik dan bahagia dari beberapa tahun yang lalu meski memang, sakit itu tak bisa dihilangkan sepenuhnya. Tapi aku syukuri. Aku lebih menerimanya.

Ilustrasi./Copyright shutterstock.comMemang benar, namanya sakit, ya memang rasanya pasti sakit. Namun, ketika raga yang sakit, jangan sampai jiwa pun ikut sakit. Menerima dengan lapang, ikhlas, itu lebih menenangkan, daripada setiap hari mengutuk, mengeluh, meringis dan menyalahkan siapa saja bahkan enggan berdamai dengan diri sendiri. Kita tidak bisa memindahkan sakit kita ke orang lain, atau memindahkan kebahagiaan orang lain pada diri kita. Kita tidak bisa berdamai dengan diri dan menjadikan semua terasa baik-baik saja jika yang dipikirkan adalah hal yang tidak baik. Sakit itu memang sakit. Tapi mengeluh karena sakit, itu menambah kesakitan tersendiri. Berusaha menerima, dan yakin bahwa semuanya adalah skenario terbaik dari Allah, itu lebih mengurangi sakit yang dirasa. Jangan merusak alur cerita yang sudah disusun rapi dan sedemikian baiknya oleh Sang Sutradara Semesta.Bersabar dari setiap kesakitan adalah jawabannya. Berdamai dengan kesakitan adalah obatnya. Toh bukankah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Setiap muslim yang terkena musibah penyakit atau yang lainnya, pasti akan dihapuskan kesalahannya, sebagaimana  pohon menggugurkan daun-daunnya.”(HR. Al-Bukhari no. 5661) Dan beliau shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau sesuatu hal yang lebih berat dari itu melainkan diangkat derajatnya dan dihapuskan dosanya karenanya.” (HR. Muslim no. 2572)Betapa beruntungnya ketika sakit. Sakit bukanlah penderitaan atau tanda bahwa Allah adalah jahat. Sakit yang dirasa, adalah sebagai penggugur dosa. Sakit yang dirasa, sebagai jalan kita dinaikkan derajatnya oleh Allah. Tidak perlulah mengeluh dan mengutuk.

Ilustrasi./Copyright shutterstock.comSelayaknya, Allah memberi pilihan pada kita untuk merasakan sakit atau bahagia. Rasa sakit dan bahagia itu, cenderung kita yang menciptakan sendiri. Kita tinggal memilih, mau merasakan sakit atau bahagia? Bukankah, ketika kita memilih untuk merasakan sakit, bahagia itu tidak muncul? Begitu pun sebaliknya, ketika kita memilih untuk merasa bahagia, sebanyak apapun masalah dan penderitaan yang dihadapi, rasa sakit itu pun in syaa Allah akan menjauh dari diri kita. Ingatlah, “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Imran:139)Benarlah kata seseorang yang kusebut “malaikatku” itu. “Kamu itu istimewa. Dan Allah mengistimewakanmu dengan sakit itu agar kau lebih unggul dari orang-orang yang lalai karena kesehatannya.” Aku sadar, mengeluh itu tidak membuat sakitku hilang. Justru, dengan bersabar, berpikiran baik, berusaha tetap merasa bahagia, itu lebih mengurangi sakit-sakit yang aku rasakan. Aku berusaha bersahabat dengan penyakitku, menerimanya dengan lapang ketika ia datang, menenangkannya dengan sabar ketika ia mengamuk dan meronta-ronta dengan merusak organ sehat di dalam tubuhku. Kini aku lebih bahagia dan menjauhi kata putus asa. Sesakit apapun, rasanya tetap baik. Sebab aku sudah bersahabat dengan lupusku. Menerimanya, dan berdamai dengan sakitnya. La tahzan. Innallaha ma’anaa.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading