Sukses

Lifestyle

Hijab adalah Bagian dari Diriku

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Sekolah di sekolah kedinasan tidak lah mudah. Semuanya diatur bahkan seragam.
Ini aku dan perjalananku menjadi seseorang yang lebih baik, terutama dalam berpenampilan, yang mengutamakan sisi syari’ seperti yang diajarkan agama.

Aku adalah perempuan biasa, dengan penampilan biasa.
Tidak pernah terpikir bagaimana dulu ketika SMA memutuskan untuk mengenakan hijab. Jujur, memakai hijab saat itu adalah setengah hati.  Ibuku sendiri tidak pernah menganjurkanku untuk memakai hijab.  Aku menyesal memakai hijab. Aku menyesal memakai hijab di umur 15 tahun. Karena yang ada dalam pikiranku saat ini, kenapa tidak dari dulu aku memakai hijab? Usia 10 tahun misalnya, atau jika perlu dari taman kanak-kanak.

Aku bukanlah anggota rohaniawan Islam, lalu aku menyesal lagi. Kenapa tidak dari dulu aku mengikuti organisasi keagamaan? Organisasi di mana bukan dunia saja yang menjadi tujuannya, namun juga memikirkan kehidupan akhirat.

Sebelum kuliah aku memiliki cita-cita di mana tidak terselip kebaikan di dalamnya. Jadi anak biasa, lurus, kuliah, pulang dan tugas. Sungguh, kehidupan yang membosankan. Namun kehidupan di sekolah kedinasan yang aku masuki berbeda. Adanya pengajian rutin membuatku semakin dekat dengan masjid. Baiklah, mungkin bukan pengajian rutin yang menjadi titik balik awal mula perjalananku menjadi orang yang semakin dekat dengan Allah.

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Ternyata Allah mengumpulkanku di antara orang-orang dengan bibit shalihah di dalamnya. Allah mempertemukanku dengan perempuan-perempuan yang pelan-pelan, tanpa disadari kami menjadi semakin dekat dengan Allah. Perempuan-perempuan yang mengajakku bergabung dalam ketakmiran masjid kampus. Dari sana lah aku semakin mengenal agama.

Dua tahun kuliah di sekolah kedinasan tersebut, baru aku rasakan menjadi pribadi yang lebih baik. Dari yang tadinya berkerudung hingga leher, kini telah menutup dada. Dari yang awalnya memperlihatkan aurat kaki, sekarang alhamdulillah sudah tertutup, dari yang memakai celana jeans ketat, sekarang sudah menggunakan rok.

Pentingkah penampilan dengan urusan hijrah dan agama? Tentu saja penting, banyak sekali adab-adab berpenampilan yang Allah sampaikan. Bersyukurlah bahwa Islam dengan sempurnanya telah mengatur kehidupan manusia, termasuk cara berpakaian. Sudah bukan persoalan menarik tidaknya di mata manusia lainnya lagi, namun menarik tidaknya di mata Allah itu jauh, jauh lebih penting.

Bersekolah di sekolah kedinasan, tentu mewajibkan pemakaian seragam, di mana kita tahu sendiri bahwa kebanyakan sekolah kedinasan masih mengharuskan taruninya menggunakan hijab yang dimasukkan ke dalam seragam. Di situ, perjalanan menjadi tidak mudah.

Saya yang bahkan sudah terbiasa menggunakan rok untuk voli atau lari pagi menjadi resah. Bukan hal yang mudah jika seorang perempuan awal hijrah, di tengah lapangan, menggunakan rok dalam permainan voli, di mana sekolahnya adalah sekolah kedinasan. Hal remeh semacam ini mungkin sepele bagi orang yang belum benar-benar merasakan. Seorang diri. Jelas bermacam-macam pandangan dilontarkan padaku, dan yang perlu aku lakukan hanyalah menutup mata.

Menegakkan akidah, tidak lagi sulit jika diniati hanya karena Allah. Maka dari itu, ketika berita akan diadakan pembaharuan mengenai penampilan mahasiswi yang harus memasukkan hijab ke dalam seragam, kami resah, benar-benar resah. Yang kami pikir adalah tidak ada bantahan aturan dalam sekolah kedinasan. Tentu saja karena kedinasan sekolahku adalah program beasiswa di mana taruna/taruni yang sekolah di dalamnya tidak memiliki kuasa apapun terutama masalah biaya. Sehingga, rasa-rasanya kami begitu kecil jika ingin mengajukan banding.

Dua lembaga mahasiswa kampus yang menjadi harapan kami pun memandang dengan sebelah mata keinginan kami menolak hijab dimasukkan dalam pakaian. Mungkin karena ketuanya adalah laki-laki, sehingga mereka tidak mengerti seberapa berharganya hijab menutup dada bagi perempuan. Bagiku, jika yang tidak menyetujui adalah laki-laki maka aku bisa wajar, mereka hanya tidak tahu, mereka belum tahu. Namun, lebih sakit jika ternyata suara-suara sumbang berasal dari golongan perempuan, dan seorang muslimah. Itu lebih menyakitkan bagaimana sesama golongan pun tidak saling mendukung.

Saat itu aku sempat tidak habis pikir pada ketua kemahasiswaan yang merangkap jadi dosen itu. Aku hanya tidak habis pikir bagaimana seorang ketua membuat kebijakan yang kami, taruni menolaknya. Alasan beliau adalah untuk kerapian, sementara yang berambut pendek dipotong. Alasan lain adalah, “Kalian itu belum pantas mengenakan jilbab besar, kaya ibu-ibu!”

Perkataan yang sungguh, aku pun malu jika itu adalah bapakku sendiri yang mengatakannya. Setidak pantas itu kah? Ibu-ibu pun tidak pantas digeneralisasi dengan mengatakan bahwa yang pantas mengenakan jilbab besar hanyalah ibu-ibu. Apakah beliau hanya memandang seseorang dari penampilan saja? Tidak boleh kah kami, calon ibu, berpenampilan seperti yang telah diatur dalam Al-Qur’an? Apakah menarik itu hanyalah penampilan yang mengumbar? Yang ketat, yang tembus pandang?

Pertanyaan dan pernyataan itu terus-terusan ada dalam benak saya. Yang belum merasakan memakai hijab dengan menutup dada, mungkin tidak tahu betapa resahnya kami. Perhiasan tertinggi seorang wanita adalah rasa malu, maka hingga kapan pun rasa malu harus ada dalam diri setiap wanita.

Perjuangan kami, dari yang mengumpulkan taruni-taruni kampus hingga konsultasi sana-sini supaya dapat memberi alasan yang terdengar tidak mengutamakan kepentingan golongan pribadi. Mulai dari mengumpulkan tanda tangan sebagai petisi penolakan di mana banyak yang memandang remeh dan mengatakan tidak akan berguna tanda tangan yang kami kumpulkan tersebut. Kami mencari dukungan dosen hingga karyawan kampus, bahkan menyempatkan silaturrahmi langsung ke tempat salah satu pejabat yang berwenang.

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Alhamdulillah, Allah tidak pernah meninggalkan kami meskipun sempat diuji. Selalu saja Allah kirimkan orang-orang yang mendukung bersama orang-orang yang menentang. Permohonan kami dikabulkan dengan syarat semua atribut harus terlihat. Tidak masalah, diperbolehkan memakai hijab menutup dada saja aku sudah sangat bersyukur.

Hingga saat ini, jika bertemu dengan ketua kemahasiswaan yang merangkap jadi dosen ataupun ketua-ketua organisasi mahasiswa yang sempat memandang sebelah mata, aku tidak lagi memendam luka. Mereka pasti punya alasan sendiri, atau mereka mungkin belum tahu. Jika ada Allah yang membersamaiku, itu lebih dari cukup. Pintu hidayah Allah selalu terbuka, pada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan bagi siapa saja yang memperjuangkannya.

Semoga Allah mengumpulkan kita bersama orang-orang yang shalih-shalihah.

Bagi yang belum memakai hijab, silakan dipakai. Tidak apa-apa jika yang mendasari awalnya adalah karena kewajiban. Karena sesuatu yang wajib pasti hanya berat di awal. Jika kita sudah mencintai hijab, bahkan ketika tidur pun tidak ingin kita lepas.

Jika ada yang bertanya padaku apa makna hijab? Aku akan menjawab bahwa hijab adalah perintah Allah, itu jawaban dasar. Sementara jawaban lain, hijab, bagiku adalah identitas, yang membedakan muslimah dengan wanita lainnya. Hijab adalah pelindung, ia adalah tameng dari kita melakukan maksiat. Hijab adalah penjaga, dari pandangan-pandangan yang mengedepankan hawa nafsu. Hijab adalah aku, bagian dari diriku seperti halnya mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan hati untuk merasakan.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading