Sukses

Lifestyle

Meski Pacaran 6 Tahun Kandas Saat Kuputuskan Berhijab, Hatiku Lebih Tenang

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Aku dan dia sudah bersama selama 6 tahun. Banyak hal yang sudah terjadi dalam kurun waktu itu dan perjuangan untuk mempertahankan hubungan kami pun tak main-main, terlebih lagi karena latar belakang keluarga kami memang sangat berbeda. Keluargaku adalah keluarga muslim yang cukup taat, sementara keluarganya muslim yang cukup moderat. Perbedaan latar belakang ini yang mempengaruhi cara pandang dan karakter kami, sesuai dengan pola asuh yang diterapkan orangtua kami masing-masing.

Di keluargaku, sesungguhnya aku termasuk yang paling ‘bebas’ dan cuek. Seluruh keluarga besarku sudah berhijab, sementara aku masih santai mengenakan rok mini kalau ke mall. Tak hanya itu, aku juga biasa minum minuman beralkohol saat hangout dengan teman atau pacarku, tentu tanpa sepengetahuan keluargaku. Pacarku tahu betul karakter keluargaku, jadi dia juga menutupi semua perilaku itu dengan baik. Jadi kami berdua terbiasa dengan pola itu selama 6 tahun.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com/popovich

Awal tahun kemarin, aku pergi ke tanah suci untuk umrah. Aku awalnya skeptik, menganggap umrah tak lebih dari sekedar wisata reliji. Jadi sebelum berangkat, persiapanku tak ada bedanya dengan liburan biasa. Aku tak membawa bekal spiritual yang cukup. Namun semua itu berubah ketika aku menginjakkan kaki di depan kakbah.

Sebetulnya aku tipe orang yang susah menangis, bahkan di situasi yang emosional sekalipun. Di depan kakbah, aku tiba-tiba menangis. Aku menutup mulut, tak ingin suara tangisku terdengar orang lain. Air mata membanjir, dadaku membuncah. Tiba-tiba teringat semua perilaku yang sudah kulakukan, tiba-tiba teringat betapa dosaku menumpuk, tiba-tiba merasa takut akan hari akhir, dan tiba- tiba terbayang wajah pacarku. Tangisku tak jua mereda, dan kucoba melafalkan doa. Dan entah bagaimana aku seakan diingatkan lagi bahwa pemilik nyawaku adalah Maha Pemurah, Pengasih, dan Penyayang. Hawa hangat menyelimuti hatiku, membasuhku dalam rasa damai dan penuh syukur.

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Aku memutuskan berhijab ketika pulang ke Indonesia. Dengan ikhlas, tanpa intervensi siapapun. Murni karena kesadaran untuk menyucikan diri. Namun ternyata tidak semua dapat menerima perubahanku. Termasuk pacarku.

Dia tak bisa menerimaku yang kini telah berjilbab. Aku ingat persis kata-katanya, “Ya kalau mau hijrah ya nggak apa-apa, bagus malahan. Tapi kan nggak harus pakai kerudung. Banyak kok orang yang hatinya berjilbab tapi nggak pakai kerudung. Aku lebih suka yang begitu daripada luarnya berkerudung tapi kelakuannya nggak mencerminkan Islam. Yang kaya begitu juga banyak tuh."

Aku mencoba meyakinkannya dengan mengatakan hijabku adalah langkah awalku untuk hijrah diri yang sesungguhnya. Aku tidak serta merta berubah menjadi orang yang sama sekali berbeda, hanya karena hijabku. Aku tetap dengan kepribadianku, namun mulai meninggalkan kebiasaan yang membawa dosa. Aku terus berusaha meyakinkannya untuk dapat memahami hijrahku. Namun argumen darinya tetap saja sama, “Kamu tahu aku nggak suka perempuan yang pakai hijab. I don’t even know you anymore."

Singkat kata kami memutuskan untuk berpisah. Aku mencintainya dalam 6 tahun kebersamaan kami, makanya aku berusaha mempertahankannya di sisiku. Aku tak pernah membayangkan pria lain untuk menjadi suamiku, meskipun ajakan menikah itu tak kunjung datang. Perasaanku sedih campur aduk luar biasa, namun aku teguh mempertahankan hijabku.

Dan di tengah remuknya perasaanku, ternyata teman-temanku pun tak membantu. Mereka bahkan perlahan menjauh, menganggapku, “Udah ga asik lagi” dan “nggak bisa diajak seru-seruan kayak sebelumnya." Aku begitu terasing. Orang-orang yang kucintai, ternyata tak sudi menerimaku, hanya karena aku memutuskan menutup auratku.

Aku sakit dan terluka, baik fisik maupun mental. Perjuangan 6 tahun terasa begitu sia-sia, namun tak sedetik pun aku berpikir untuk melepaskan hijabku hanya agar diterima kembali.  Di tengah pusaran emosi dan rasa kehilangan, aku semakin disadarkan pada kalimat, “Sesungguhnya Tuhanku adalah sebaik-baiknya tempat kembali."

Ilustrasi./Copyright pixabay.com/milansari

Sebulan setelahnya, aku menerima telepon. Mantan pacarku akan menikah. Dengan wanita yang baru sebulan dia kenal. Sesaat aku membeku, mengingat menikah adalah hal yang kami sering bicarakan namun tak pernah terealisasi menjadi sebuah ajakan. Mungkin saja 6 tahun yang telah dilalui, bersamaku memang tak seberapa dibandingkan 1 bulan kebersamaannya kali ini. Namun alih-alih sedih, aku justru menemukan kelegaan.

Mungkin inilah cara Ilahi menunjukkan padaku bahwa apa yang kuinginkan boleh jadi bukan sesuatu yang paling tepat untukku. Aku mengucapkan selamat kepadanya dengan ikhlas. Rasa sedih memang ada, namun tak sebanding dengan kerelaan yang kurasakan.

Hijrah memang sulit dan berat untukku. Aku harus merelakan hal-hal yang begitu kucintai. Namun aku selalu diingatkan oleh betapa Allah begitu Maha Pemurah, Pengasih, dan Penyayang. Rahmat-Nya selalu mendekapku, menyelimuti hatiku, menguatkan aku untuk menjaga hatiku tetap bersih.





(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading