Sukses

Lifestyle

Ramadan Terakhir Bersama Ibu Jadi Titik Balik Hidupku

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Ramadan dua tahun lalu adalah ramadan terakhirku dengan ibu. Waktu itu aku masih sebagai mahasiswa tingkat akhir di suatu universitas keguruan di Surabaya. Sebagai mahasiswa yang ngebet cepet lulus aku sangat jarang pulang. Ribet inilah ribet itulah. Ngurus inilah ngurus itulah. Sampai aku lupa ada ibu yang sangat menunggu kepulanganku.

Aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak pertamaku laki–laki, meninggal ketika aku berumur 9 tahun. Adikku perempuan juga sedang menempuh pendidikan diploma di Akademi Keperawatan di kotaku. Kami hanya bertiga. Bapak? Bapak meninggal ketika aku lulus SMP. Ya, tinggal kami bertiga. Menjadi kuat dengan berbagai kegetiran dan menjadi kuat dengan keterbatasan.

Ibuku adalah seorang guru agama di SD yang kujuluki `sekolah atas awan`. Karena dari sekolah itu kita dapat melihat rumah-rumah penuh warna dan pohon-pohon rimbun yang tumbuh di sekitar rumah warna. So beautiful, tapi untuk sampai di sekolah itu butuh perjuangan panjang. Ibuku setiap hari harus menempuh waktu satu jam untuk sampai di sana. Naik sepeda dulu sejauh 3 kilometer menuju pemberhentian kendaraan umum. Menaiki kendaraan umum, dengan jalan yang menanjak dan berliku. Itu pun tidak turun di depan sekolah namun diturunkan dua kilometer sebelum sampai ke sekolah. Beliau harus jalan kaki ataupun menyewa ojek dadakan yang adalah orang lewat atau warga di sekitar tempat itu yang sebenarnya tidak berprofesi sebagai ojek.

Awal dari semua kenyataan pahit itu adalah ibuku divonis menderita diabetes. Pandangan mata beliau berkurang. Bahkan untuk melihat orang yang lewat 5 meter di depannya beliau sering salah sapa. Bagaimana beliau bisa survive? Aku tidak tahu. Karena waktu itu aku masih jadi remaja tanggung yang kurang bisa berpikir.

Dan satu hal yang aku sesali. Kenapa aku begitu egois waktu itu?

Lulus SMA aku berubah menjadi remaja lebih tanggung yang tidak mengerti keadaan. Tidak memikirkan orang lain, dan bersikap sesukaku. Bisa pergi meninggalkan rumah dan segala kesuntukannya adalah impianku, waktu itu. Merantau. Satu kata itu yang membuatku menyerahkan fotokopi raport untuk mengikuti SNMPTN.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Beliau hampir menangis waktu itu mendengarku minta izin mengikuti SNMPTN.
“Kau tahu ibu sudah tidak mampu bekerja lebih keras dari ini. Keadaan sudah berbeda dengan sakit ibu yang tidak mungkin sembuh,” ibu terbata. “Kamu tega?”
Aku hanya diam waktu itu. Diam. Diam dengan pikiran yang tidak bisa terbagi untuk memikirkan orang lain. Bahkan untuk ibuku sendiri.

Ibu melepasku. Tanpa tangis. Tanpa apapun yang bisa menahanku. Ibu. Wanita ringkih yang ternyata begitu kuat.
Empat tahun berlalu. Ramadan itu. Ramadan dua tahun lalu. Ibu memintaku pulang. Adikku sedang praktik di salah satu rumah sakit. Beliau memintaku pulang. Untuk menemaninya. Untuk mengajarkanku betapa egoisnya aku 4 tahun lalu.

Malam–malam hanya kami berdua. Aku yang terbiasa ramai di asrama menjadi susah terlelap. Setidaknya ketika aku pulang 2 bulan sekali ada adik yang ikut tidur bertiga. Kini hanya berdua. Ibu memelukku. Membuatku tenang sekaligus berpikir. Beginikah malam–malam ibu, beginikah malam–malam adikku?

Keadaan berlalu sebagaimana mestinya. Juga takdir yang tak memberiku belas kasih untuk sedikit saja membahagiakan ibu. Wanita terhebatku itu ambruk menyerah pasrah pada sakit yang dideritanya. Beliau pergi selama lamanya. Meninggalkan aku yang ternyata belum cukup dewasa untuk melangkah sendiri.

Ilustrasi./Copyright pexels.com/duong nhan

Aku tidak meraung-raung waktu itu. Tidak juga menangis keras–keras. Aku kehilangan beliau dalam-dalam. Tidak aku perlihatkan tapi bisa membunuhku perlahan–lahan jika aku tak mampu mengendalikan diriku.

Tinggal aku dengan adikku. Kami kehilangan panutan, kami kehilangan tujuan, kami kehilangan sandaran. Kami juga bukan kakak adik soulmate yang tahu kepribadian masing–masing secara mendalam. Tidak. Hubungan kami dangkal, waktu itu.
    
“Jangan utak-atik baju ibu di lemari itu.” teriak adiku ketika saudara ada yang menyinggung tentang barang–barang ibu. Teriakan itu adalah titik balik yang membuatku paham jika adikku adalah orang yang paling kehilangan.

Hidup kami berjalan hambar. Tangis yang masih diam–diam menjadi teman hingga percekcokan yang tak jarang terjadi. Apalagi yang menjadikanku kuat? Aku rasa tidak ada selain Allah-ku. Allah-ku baik itu yang kuyakini. Allah-ku baik, setidaknya tidak membiarkan kami kelaparan, mencukupi kami dengan adanya asuransi ibu. Hingga aku bisa wisuda, dan adikku bisa terus sekolah. Iya Allah-ku Maha Baik.

Ilustrasi./Copyright pexels.com/chanita sykes

Peristiwa inilah titik balik hidupku. Apakah aku masih bisa egois? Bisa saja jika aku mau. Namun nyatanya aku tidak mau. Banyak sekali peluang untuk egois lagi, atas nama bekerja aku bisa begitu saja meninggalkan semuanya. Adikku dan semuanya. Meninggalkan percekcokan kami dan segalanya.

Beberapa bulan kemudian aku menikah dan sebulan kemudian aku hamil. Merasakan jungkir balik dunia menjadi ibu. Merasakan ada calon manusia yang tumbuh sungguh luar biasa. Dan itu kurasakan 5 bulan lalu. Menjadi ibu, melahirkan seorang anak namun Allah belum mengizinkanku merawat dan membesarkan seorang anak. Sekali lagi 'mantra' yang dapat menguatkanku dan meyakinkanku adalah bahwa Allah itu Maha Baik. 'Mantra' itu selalu kusebut jika aku sedang kehilangan arah, “Allah Maha Baik." Laa hawla wa laa quwwata illa billah.





(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading