Sukses

Lifestyle

Aku Tak Bisa Terus Membenci Ayah, karena Saat Aku Menikah Dialah Waliku

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Aku benci ayah. Aku sangat benci dia. Kenapa ini harus terjadi denganku? Kenapa Tuhan mengizinkan aku untuk membenci ayah? Jika saja ayah tidak meninggalkan ibu, mungkin aku tidak akan membencinya. Kenapa perceraian itu harus ada di dunia ini?

Aku ingat sekali, saat itu ayah mengajakku, adik perempuanku, dan ibu ke kolam renang yang sangat terkenal di kawasan Cibubur. Itu terjadi pada tahun 2003. Aku sangat excited. Dengan mobil sedan sederhana ayah yang baru dibeli, tampaknya, keluarga kami sangat harmonis. Tapi aku tidak ingat lagi setelah itu. Semua terasa berbeda. Aku tidak mengenali ayah. Bahkan, kebiasaannya saja tidak kuketahui.

Dari kecil, aku selalu bertanya-tanya, mengapa ayah meninggalkan ibu? Apa salah ibu? Kenapa ayah kejam? Kenapa ayah juga meninggalkanku? Apa ayah sudah tidak sayang padaku lagi? Baginya, aku ini anaknya bukan, sih? Banyak sekali pikiran negatifku tentang ayah.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com/ju_sajjad0

Di dalam hatiku, aku menyalahkan ayah. Menyalahkan karena sejak ayah pergi, aku jadi malas belajar. Aku jadi malas beraktivitas layaknya kebanyakan anak kecil yang ceria. Aku jadi malas berinteraksi dengan orang lain dan teman-teman. Menjadi pribadi yang selalu muram dan tidak bersemangat. Bahkan, nilai sekolahku juga menurun. Kehilangan gairah dalam menjalani hidup. Karena sama aja, apapun yang aku lakukan, ayah tidak akan pernah kembali. Jadi untuk apa?

Semua ini salah ayah. Peran ayah harusnya mendukung putrinya, bukan meninggalkan. Aku benci ayah. Ketika aku membuka mata dari tidurku, aku selalu teringat ayah. Ayah yang tega. Mana ayah yang dulu kecil aku selalu banggakan? Bahkan saat ayah meninggalkan kami saat itu, aku masih belum mengerti apa artinya bercerai.

Aku sangat menyesal. Aku juga sempat menyalahkan diriku, mengapa tidak kucegah saat ayah ingin pergi? Kenapa hanya diam saja seolah tidak akan terjadi apa-apa? Tapi terlambat. Tak jarang jika teman-teman bertanya perihal ayah, aku menjawab, ayah bekerja di tempat yang sangat jauh, sehingga jarang sekali bisa pulang ke rumah. Sesederhana itu.

Aku yang masih di bangku SMP saat itu, terpikir untuk segera sukses dan berharap ibu menikah lagi. Melupakan ayah. Melupakan kenangan. Kau tak pernah tahu rasanya ditinggal oleh seseorang yang kau sayangi saat kau belum tahu apa-apa. Saat kau belum mengenal dunia. Saat itu ayah meninggalkan kami saat aku kelas 4 SD. Saat di mana anak putri memerlukan sosok lelaki yang melindungi. Sakit sekali hatiku jika mengingat yang dulu.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com/chiisaihana20200

Begitupun adik perempuanku, terlebih dia, lebih sedikit mendapatkan kasih sayang seorang ayah dibanding aku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan adikku sejak TK sudah ditinggal ayah. Setelah itu, aku besar dengan didikan ibu. Ibu menjadi ayah yang melindungi. Aku menjadi perempuan yang kuat. Ibu mengajarkan bagaimana survive di dunia yang hingar-bingar ini. Kata ibu, lelaki akan datang ketika kita sukses. Jadi, jangan terburu-buru mencari pasangan.

Beruntungnya, aku mempunyai om, adik ibu. Omku menjadi peran penting juga di hidupku. Setelah ayah pergi, omku lah yang selalu menemaniku. Bahkan saat om pacaran dengan tanteku pun, saat itu, aku diajak mereka untuk sekedar nonton bioskop, makan di pinggir jalan, atau jalan-jalan ke suatu tempat. Omku mengajariku berbagai hal. Mengenalkanku pada Play Station, lagu Bondan Prakoso, dan mengenalkan film-film Hollywood terbaik pada zamannya. Setelah om menikah dengan tante dan mempunyai anak, aku mulai kehilangan sosok om. Namun, justru anak mereka yang menghiburku sampai sekarang. Sampai om mempunyai tiga anak. Aku bersyukur mereka ada di dunia ini.

Aku teringat ibu. Sekarang ibu tidak ada yang melindungi. Aku ingin sekali ibu menikah lagi, tapi dengan orang yang benar-benar mencintainya dan tidak akan meninggalkan seperti ayah. Tapi, walaupun aku benci ayah, tak mudah juga bagiku untuk menerima orang lain menjadi ayahku. Aku menjadi sinis ketika ibu dekat dengan pria lain. Aku tidak mau ibu mendapatkan yang seperti ayah lagi. Aku mau yang terbaik. Tapi sepertinya, ibu belum bisa menerima orang lain juga.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com/stocksnap

Sampai umurku 22 tahun pun, ibu belum menikah lagi. Sampai suatu ketika, ibu sakit. Bukan sakit biasa. Ibu terkena stroke ringan. Aku tidak tahu mengapa itu bisa terjadi. Aku makin menyalahkan ayah. Ayah sudah menikah lagi dengan perempuan Bali. Ini tidak adil! Aku ingin menangis sejadi-jadinya. Jika saja ayah tidak meninggalkan ibu, ibu tidak akan sakit. Dan kami akan hidup bahagia dan terhindar dari kesusahan. Lihat apa yang ayah perbuat! Aku benci ayah! Sejak saat itu, rasanya aku hanya hidup sendirian di dunia ini. Tidak ada lagi orang yang bisa merangkulku. Aku tidak tahu harus berkeluh-kesah ke siapa. Aku kehilangan arah.

Tidak hanya ayah, aku pun mulai tidak suka dengan keluarga ayah. Nenek, kakek, tante, om, semuanya sama saja. Mereka tidak benar-benar sayang. Aku kecewa. Yang ada sekarang adalah keluarga ibu; nenek, kakek, om, tante, adikku. Kedekatan dengan keluarga ayah, menurutku palsu. Lihat saja, buktinya mereka tidak pernah berkunjung, atau sekadar telepon. Sepertinya mereka setuju dengan perceraian ayah ibu. Aku merasa menjadi korban. Merasa dibodohi dan dipermainkan. Tuhan, apa ini takdirku?

Berbelas tahun tanpa ayah, membuatku mandiri. Membuatku menjadi orang yang independen. Aku tidak takut sendirian. Aku malah sering berpergian sendiri ke mall, bioskop, toko buku. Aku tidak suka menjadi orang yang bergantung dengan orang lain. Aku memecahkan masalahku sendiri. Kadang memang membutuhkan orang lain untuk meminta pendapat, tapi hanya itu. Tapi, bukan berarti aku menjadi anak yang tidak suka bersosialisasi.

Di kampus, aku mengikuti kegiatan mahasiswa yang membawaku bisa ke luar negeri. Aku punya banyak teman. Aku juga suka membeli CD Original dari penyanyi atau band di dalam atau luar negeri, seperti Tulus, Justin Bieber, dan Afgan. Begitu caraku terhindar dari stres. Waktu terus berjalan dan aku sadar, aku harus menjadi orang yang lebih positif. Tidak melulu memikirkan masa lalu yang hanya membuat sakit hati. Mencoba untuk move on. Aku juga tidak bisa membenci ayah terus menerus, karena jika suatu saat aku menikah, ayah akan menjadi waliku. Karena seburuk apapun masa lalu ayah, ia tetap ayahku. Walaupun cukup sulit untuk memaafkan ayah, namun sampai sekarang, aku terus mencoba memaafkannya dengan mengambil hikmah dari semua ini.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com/congerdesign

Bersyukur, aku menjadi wanita yang mandiri, sehat, dan aktif. Setiap ada masalah aku selalu mencari jalan keluar yang baik. Sangat berhati-hati dalam menjalani hidup. Walaupun sesekali aku selalu membandingkan jika ayah masih dengan kami. Mungkin hidup kami akan lebih bahagia. Tapi, ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Aku terima apapun yang terjadi. Lagipula, pasti ini memang sudah jadi takdirku dari Tuhan. Ini adalah suatu proses. Aku harus terima. Allah tidak akan memberi ujian jika hambanya tidak mampu mengatasinya, bukan? Aku melewati hari-hari dengan perasaan yang ikhlas. Percaya semua akan indah pada waktunya.

Ayah sekarang sering berpergian ke Kalimantan untuk urusan pekerjaan. Aku yang sekarang sudah bekerja di perusahaan Amerika. Mama yang hanya di rumah dan berusaha untuk sembuh. Adik perempuanku yang sebentar lagi akan memasuki masa kuliah. Waktu berjalan cepat sekali. Aku bersyukur. Aku bersyukur ibu dan ayah pernah bersatu. Mengizinkanku untuk hidup di dunia yang indah ini. Belajar banyak hal soal kehilangan. Karena jika kita tidak sedikit pun merasa kehilangan, kita tidak pernah tahu rasanya memiliki. Itu yang membuatku semangat menikmati hidup. Umurku juga tidak muda. Aku sekarang sudah 22 tahun dan menjadi dewasa. Aku mulai membangun tali silaturahmi dengan keluarga ayah di Bandung. Sekarang, beruntungnya aku mempunyai dua ibu. Aku sangat beruntung.

Cita-citaku ke depan adalah mempunyai masa depan yang cerah, keluarga yang harmonis, dan menjadi wanita karier yang sukses. Untuk soal pria, aku belum terlalu memikirkan. Karena yang terpenting sekarang adalah kebahagiaan ibu. Jika ibu bahagia, begitupun aku. Aku juga ingin menyekolahkan adik perempuanku setinggi-tingginya. Tapi semua butuh proses. Aku juga tidak tiba-tiba menjadi orang kaya dan memenuhi kebutuhan yang aku inginkan. Aku bersyukur pernah dekat dengan om, tante, dan orang-orang yang mengajarkanku tentang bertahan hidup.

Satu hal yang aku ingat adalah perkataan pelatihku di UKM kampus yaitu, “Jangan menganggap dirimu yang paling menderita, banyak orang-orang yang lebih menderita daripada kamu. Jangan pernah menganggap hidupmu sengsara.” Itu yang selalu menginspirasiku. Pasti ada anak-anak yang sama sekali tidak mempunyai orangtua, yang tidak tahu identitas keluarganya, yang kehidupannya pun tergantung pemberian orang lain.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com/stocksnap

Aku anggap kemarin adalah proses menjadi dewasa. Di mana aku menjadi pemarah dan membenci ayahku sendiri. Sekarang, sudah ikhlas merelakan ayah pergi. Jauh di lubuk hatiku, aku merindukan ayah. Sangat merindukannya. Aku ingin lagi diajarkan bahasa inggris dengannya, ah—bahkan aku tidak ingat—aku tidak punya kenangan banyak soal ayah. Karna kau tahu sendiri, ayah sangat cepat meninggalkanku.

Menjadi anak broken home itu memang berat. Bersyukur, aku tidak melewatinya ke hal yang negatif. Belum lama ini juga aku juga mengunjungi keluarga ayah di Bandung, sebelum puasa. Aku menjadi lebih dekat dengan mereka. Nenek sehat dan masih aktif pada kegiatan pengajian. Kakek juga masih setia menemani nenek di rumah. Mereka terlihat bangga melihatku mengunjungi mereka. Jika kau mempunyai nenek dan kakek, segeralah berkunjung. Kita, yang muda, sudah seharusnya yang lebih aktif. Bukannya karena kau tidak dekat dengan nenek-kakek, lalu kau lupakan saja mereka.

Di dalam lubuk hati mereka pasti merindukan cucu-cucunya, namun mereka tidak tahu bagaimana mengatasinya. Sudah cukup pengalaman hidup yang mereka lalui. Anak muda harus lebih peka. Aku juga mulai memikirkan ayah yang semakin lama semakin tua. Memang ayah sudah mempunyai istri lagi, tapi, anaknya yang masih kecil juga pasti menjadi tanggungan tersendiri baginya. Ayah, lihat aku, karenamu, aku sudah bisa bekerja dan menjadi dewasa. Aku tidak sabar bertemu denganmu lagi secepatnya. Tapi, jangan saat aku menikah ya yah, itu terlalu lama bagiku. Semoga ayah selalu sehat dan selalu bahagia.

Aku baru menyadari kalau ternyata memaafkan orang lain itu jauh lebih mudah dibanding memaafkan diri sendiri. Maafkan aku, yah. Selama ini aku selalu berpikiran buruk soal ayah. Seharusnya aku bersyukur, aku masih punya ayah, walaupun ayah bukan milikku lagi.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading