Sukses

Lifestyle

Ikhlas Menerima Keguguran, Toh Menyangkalnya Takkan Membuat Janinku Kembali

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Masih kuingat kala itu, 6 Januari 2018, saat hasil testpack menunjukkan dua garis. Hari di mana aku terlambat menstruasi 7 hari. Tak dapat kugambarkan bagaimana perasaanku. Karena penantian sejak menikah dengan Mas Suami tanggal 25 Juli 2016 menemukan titik terang. Tak hanya aku dan suami, orangtuaku pun turut bergembira atas kejutan kecil di pagi itu. Maklum, ini adalah bakal calon cucu pertama dalam keluargaku.

Kami semua larut dalam euforia menyambut kehamilan pertamaku. Hingga pada tanggal 4 Februari, aku bingung karena mendapati semacam flek atau bercak darah. Berhubung ini pengalaman pertamaku, dan aku minim informasi sekali soal itu, maka aku mencari informasi via Google. Di situ aku baca bahwa jika flek berlangsung dalam 1 hari, maka tidak perlu merasa khawatir.

Keesokan harinya, ternyata bercak darah masih ada. Aku mulai panik, dan mencari dokter kandungan perempuan yang jadwal jaga di siang itu. Setelah mencari-cari informasi dan melakukan panggilan telepon ke rumah sakit-rumah sakit di Malang, aku kemudian membuat janji temu dengan salah satu dokter di malam harinya.

Malam itu, aku diberi selamat oleh dokter karena janinku tumbuh, rahimnya tidak kosong. Terbesit sedikit rasa lega di hati. Aku lalu diberi obat penguat oleh dokter.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Keesokan harinya, aku cuti dari kantor untuk bedrest di rumah. Suami pun melakukan hal yang sama, untuk menemani. Namun keadaan tidak kunjung membaik. Darah yang keluar semakin banyak. Perutku terasa mulas seperti mau buang air besar, berkali-kali. Aku bolak-balik ke kamar mandi, namun tidak ada suatu apapun yang keluar. Mencari informasi di Google, aku membaca bahwa ada obat penguat yang salah satu efek sampingnya adalah nyeri perut. Aku tidak berpikir apa-apa. Aku bahkan tidak ada bayangan bahwa yang kurasakan adalah kontraksi.

Sampai sore harinya, aku kembali ke kamar mandi untuk kesekian kali. Lalu keluarlah gumpalan darah. Aku yang tidak punya pengalaman apapun soal hamil dan keguguran, entah kenapa langsung merasakan firasat tidak enak. Aku seketika menangis sesenggukan dan minta diantar ke rumah sakit oleh Mas Suami.

Dalam perjalanan ke rumah sakit, aku tidak bisa berhenti menangis. Selain hati yang rasanya kosong, ada sakit di hati yang kurasa. Sesampai di rumah sakit, aku, Mas Suami, dan Ayahku masih diminta menunggu sekitar 2 jam untuk bisa bertemu dengan dokter yang sudah kami buat janji temunya. Selama itu, Mas Suami dan Ayah setia menemani. Kami semua bermuram durja, hanya mampu berharap dan berdoa.

HIngga sekitar pukul setengah 8 malam, dokter datang untuk memeriksa kandungan, dan menyatakan bahwa janinku sudah luruh, rahimnya telah kosong. Tidak ada upaya penyelamatan yang bisa dilakukan. Tangis histerisku pecah seketika.

Ayah keluar ruangan, dan sepertinya menangis sendiri. Suamiku reflek memelukku dan berusaha menenangkan aku yang sibuk menyalahkan segalanya, termasuk diriku sendiri. Butuh beberapa waktu sampai suamiku pada akhirnya berhasil membujukku pulang.
 
Aku masih sulit menerima. Aku bahkan sempat marah sama Allah, merasa diperlakukan tidak adil. Aku terus-menerus menangis sambil berandai-andai. Hal-hal apa yang seharusnya kulakukan, apa yang seharusnya tidak kulakukan, agar janinku tetap hidup, selamat.

Keesokan harinya masih sama. Suamiku yang tak tega meninggalkan aku dalam keadaan terpukul, melakukan penambahan izin tidak masuk ke kantor. Suasana di rumah sepi, senyap duka cita. Aku? Setiap kali melihat hasil USG, masih lalu menangis dan menyalahkan diri.

Saat akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kantor agar aku tetap sibuk, rekan-rekan kerja di kantor yang turut berbelasungkawa membuat tangisku pecah kembali seketika. Semua berusaha memberi penghiburan bahwa kelak akan diganti dengan yang lebih baik, di waktu yang lebih tepat.

Ilustrasi./Copyright pexels.com/kaat houben

Toh bagiku yang masih berduka, kalimat-kalimat tersebut terasa kosong. Kadang malah kulewatkan begitu saja seperti angin lalu. Pun saat teman-teman terdekat yang terbatas jarak mengucapkan duka via telepon, masih sangat sulit bagiku untuk tidak menangis. 

Selama berhari-hari aku masih saja berduka, menangis dan menyalahkan diri sendiri. Hal-hal kecil seperti foto USG, atau melihat instagram story bayi dan batita lucu-lucu masih selalu berhasil menyentilku dengan sempurna.

Namun seperti kata pepatah, time will heal. Waktu menyembuhkan. Dengan banyak pengertian dari suami, orangtua, sahabat-sahabat, dan rekan-rekan kerja di kantor, alhamdulillah aku tidak merasa sendirian. Di situ aku merasa bahwa Allah masih begitu baik, mengelilingi aku dengan orang-orang baik dalam hidup.

Aku berjuang untuk menerima, bahwa sudah takdir-Nya begini. Menyangkalnya terus menerus toh tidak akan membuat janinku kembali. Aku berusaha untuk melapangkan hati.

Sekarang, aku melangkah melanjutkan hidup. Berusaha percaya,  sabar dan tawakal, bahwa segala ketetapan-Nya adalah yang terbaik bagiku, hamba-Nya. Aku belajar untuk mengalihkan pikiranku pada hal-hal baik, juga memanfaatkan lebih banyak waktu untuk beribadah kepada-Nya. Belajar untuk bersih hati, ikhlas.



(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading