Sukses

Lifestyle

Tak Usah Mengasihani Diri Sendiri Bila Ada Saudara yang Mengabaikanmu

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Selama 11 tahun aku hidup bersama kakak perempuanku. Dia yang menjagaku setelah kedua orangtuaku wafat. Kedua orangtuaku meninggal dalam sebuah kecelakaan, waktu itu usiaku 14 tahun. Karena biaya hidup dan pendidikanku, kakakku memutuskan untuk berhenti kuliah dan bekerja di toko bangunan sebagai admin. Kerja keras kakakku yang membuatku kini menjadi seorang sarjana sastra di sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya.

Setelah menyandang gelar sarjana, aku memutuskan untuk melamar pekerjaan baik di Surabaya maupun di luar kota. Alhamdulillah, sebulan setelah diwisuda aku mendapat kesempatan mengikuti  MDP (Management Development Program) di perusahaan swasta di Jakarta. Tak ada satu pun  sanak saudara yang kupunya di Jakarta. Sehingga kakakku harus mencari uang untuk keperluan hidupku selama mengikuti MDP tersebut.

Ilustrasi./Copyright pexels.com/monicore

Sempat kuurungkan niatku agar tidak membebani kakakku. Tapi kakakku berkata, "Kesempatan emas seperti ini tidak akan datang kedua kalinya, Dik." Kakakku memutuskan untuk menjual rumah peninggalan orangtua yang terletak di desa  Gatakrejo, Sukoharjo, Surakarta. Dengan mengiklankan di situs online, seminggu setelah diiklankan kami mendapat seorang pembeli.

Sesuai kesepakatan, kami bertransaksi jual-beli rumah di kediaman Pak Kamto. Ternyata Pak Kamto merupakan teman sekolah ayahku semasa mengenyam pendidikan di tingkat sekolah dasar. Banyak kenangan yang beliau ceritakan kepada kami. Asyiknya  beliau bercerita tentang masa kecilnya bersama ayahku, tiba-tiba Bu Kamto bertanya tentang kabar pakde kami yang tinggal di Semarang.

Kami terdiam, sedangkan Bu Kamto terus bercerita bahwa pakde kami baru mengadakan acara syukuran untuk anaknya yang pulang dari Jerman setelah menuntaskan pendidikan S2 di sana. Pak Kamto menyenggol lengan istrinya. Untungnya, bu notaris yang mengurus dokumen akta jual beli sudah tiba sehingga kami bisa menyerahkan sertifikat rumah dan mendapatkan uang pembelian. Beberapa surat jual beli sudah kami sepakati dan kami memutuskan untuk pamit pulang balik ke Surabaya.

Ilustrasi./Copyright pexels.com/studio 7042

Selama perjalanan kulihat wajah sedih kakakku. Kami tahu, kami tidak dapat memungkiri kalau kami masih punya pakde yang sukses sebagai dokter termahsyur di Semarang. Bukan hal yang mustahil baginya membiayai anak untuk kuliah di Jerman. Banyak pertanyaan yang terlintas di pikiranku, "Kenapa pakde tidak pernah menengok kami?" "Apakah beliau merasa aku dan kakakku dapat hidup dengan baik di Surabaya?"

Sesampainya di rumah, kakakku menceritakan semua hal dan menasihatiku bahwa kita tidak pernah bisa memaksakan orang lain bahkan saudara sendiri untuk membantu kita. Tapi jika saudaramu kelak membutuhkan pertolongan kamu harus membantunya. Dari sebuah nasihat kakak, aku berjanji berjuang sukses agar bisa membantu saudaraku jika mereka memerlukan pertolongan tanpa harus mengharapkan mereka akan membantu kita kelak.




(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading