Sukses

Lifestyle

Cela Saja Kekurangan Fisikku, Tapi Nanti Aku Akan Lebih Sukses dari Kalian

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Pada kenyataannya, manusia memang tak bisa memilih untuk terlahir di mana, kapan, dengan kondisi bagaimana, dan dari keluarga yang mana. Masing-masing hidup manusia sudah Allah gariskan sedemikian rupa. Masing-masing individu lah yang memiliki hak mengubah garis hidupnya, agar bisa menjadi lebih baik atau sebaliknya. Begitupun aku, betapapun aku sangat ingin menjadi orang lain, tapi tetap di sinilah aku akan tumbuh. Karena memang ini suratan takdirku dari Sang Kuasa. Aku hanya perlu sedikit mengontrol diriku agar tak salah dalam melangkahkan diri ini.

Aku terlahir dari keluarga yang berkecukupan, buktinya orangtuaku dengan sedikit keras menabung, bisa berkesempatan untuk umrah dan berhaji. Jajan? Uang saku? Uang sekolah? Sejauh ini bisa ter-coverdengan baik. Makan enak pun, bisa dibilang hampir setiap hari tersedia lauk yang beragam. Namun, sejatinya ketenangan jiwa bukan datang dari itu semua. Nyatanya aku masih sering menangis, mengeluh, marah, kesal. Karena apa? Tentu karena batinku merasa tersakiti, meski ragaku nampak kuat, dan mampu tersenyum melewati hari demi hari.

Saat ini umurku 18 tahun. Dan percaya atau tidak, aku telah menghabiskan banyak sekali air mata sepanjang tahun itu. Andai kalian yang membaca tulisanku ini tahu seperti apa aku, kalian mungkin akan paham, mengapa aku lebih banyak mendapat ejekan dari teman-teman, orang asing, bahkan dari keluargaku sendiri. Tapi aku tak akan menceritakan bagaimana diriku secara detail agar kalian mengerti, karena akan banyak sekali hal yang bisa membuat kalian berpikir miris betul aku ini, cukup percaya saja bahwa aku berbeda dengan anak seusiaku. Semua nampak jelas, karena perbedaan itu melekat pada tampilan fisikku. Aku tak mengatakan aku memiliki kecacatan, aku sehat, aku bisa berpikir, buktinya aku masih bisa menulis dengan baik kisahku ini.

Ilustrasi./Copyright pexels.com/lisa fotios

Hanya saja aku memang berbeda. Satu hal saja akan kuberitahu pada kalian aku ini seperti apa. Di usiaku yang terbilang dewasa ini tinggi badanku bahkan tidak mencapai 150 cm, bayangkan saja bagaimana lingkungan merespon keadaanku ini. Tak sedikit orang melontarkan perkataan buruk padaku sejak kecil.

Ya, aku sudah mendapat perlakuan tak mengenakkan sejak aku kecil, hingga saat ini tentunya. “Cebol, tuyul, minion, kurcaci,” bahkan saat aku SD orang akan berkata, “Ah kamu masih pantas jadi anak TK, haha.” Lalu saat aku SMP orang akan berkata, “Kau masih pantas jadi anak SD,” sampai saat ini aku akan memasuki dunia perkuliahan pun masih begitu banyak orang mengatakan itu padaku. Aku tahu sebagian dari mereka tak serius mengatakan itu, terkadang mereka memang hanya bermaksud bercanda padaku. Aku pun terpaksa membohongi diriku untuk ikut tertawa saat hal-hal itu terjadi padaku berulang-ulang.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Dan pada akhirnya, aku lampiaskan semua itu dengan menangis, marah, dan mengadu pada Allah atas semua perkataan mereka padaku. Tak jarang saat kecil dulu, banyak kutuliskan rasa kesal dan marahku pada siapapun yang mengejekku di sebuah buku diary kecil milikku. Kusebut nama mereka sambil kusertakan doa-doa terburuk bagi mereka. Tapi lambat laun aku mulai sadar bahwa memang begini takdirku, dan ini konsekuensi dari kondisi yang ada padaku, ini ujian bagiku, aku pun perlahan mulai lelah lalu menyadari bahwa seharusnya aku bersyukur akan nikmat yang Allah beri padaku, bukan sibuk mengurusi omongan orang tentangku. Toh mereka tak akan ambil pusing bahkan segera melupakan perkataan mereka padaku setelah mereka mengucapkannya. Lalu apa gunanya kusimpan semua itu dalam memori kehidupanku?

Dan perjuanganku melawan semua ujian itu dimulai dengan satu kata, memaafkan. Ya, dengan apalagi selain memaafkan? Mereka tak perlu tahu jika aku memaafkan mereka, karena sejatinya mereka tak menyadari apa yang mereka lakukan padaku adalah sebuah kesalahan. Kesalahan itu aku sendiri yang membuatnya. Terkadang aku masih suka merasa sangat kecewa, saat aku tahu orang terdekatku pun melakukan hal yang sama sekali tidak aku senangi. Mereka, orang-orang terdekatku, justru lebih berat bagiku untuk sekadar melupakan perkataan buruk mereka padaku. Bagaimana tidak, aku selalu berharap bahwa mereka lah orang-orang yang bisa kupercaya tidak akan menyakiti perasaanku dengan lidah mereka seperti yang orang lain lakukan.

Ilustrasi./Copyright pexels.com/lucas allmann

Tapi bagaimanapun, aku tak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka, sekali lagi mungkin memang mereka tak pernah tahu bahwa hal itu menyakitiku, atau mereka memang hanya ingin bergurau padaku. Hanya Allah yang tahu. Saat usiaku menginjak remaja, tepatnya saat aku SMA, aku sudah mulai perlahan dapat menerima keadaanku, bahwa memang aku tak tumbuh optimal layaknya anak-anak seusiaku, tapi kalian tahu? Selama perjalanan hidupku, kurasa aku bisa membuktikan pada siapapun bahwa setiap orang yang memiliki kekurangan pasti Allah beri ia kelebihan. Lalu, apa kelebihanku di antara yang lain?

Pertama, aku bisa dikatakan termasuk anak yang dikaruniakan kecerdasan oleh Allah dalam menyerap materi pelajaran yang guruku beri saat aku duduk di bangku TK hingga SMA, dalam masa sekolahku. Aku pastikan pernah mendapat piagam dari berbagai bidang, baik akademis maupun non akademis. Baik di tingkat sekolah, kabupaten, hingga provinsi. Kemampuan lifeskill-ku juga cukup mumpuni jika dibandingkan rekan-rekanku sekolah, terutama di bidang desain grafis. Hingga saat tulisan ini kubuat, aku katakan bahwa saat ini statusku sudah menjadi salah satu mahasiswa di sebuah universitas ternama di Indonesia, yang berada di Yogyakarta, dan masuk lewat jalur tanpa tes. Kuharap kalian mengerti kampus mana itu.

Sampai saat aku benar-benar mengatakan aku lolos dalam sebuah perlombaan, mendapat juara UN saat SMP, juara kelas, hingga bisa diterima masuk di universitas ternama saat ini. Banyak orang yang tak percaya aku benar-benar mendapatkan semua itu, mereka berkata aku memang pantas, aku pintar, atau sekadar, "Kau adalah orang yang sangat beruntung." Dan mereka yang memujiku atas apa yang sudah kuraih selama ini, kukira hanya melihatnya dari hasil yang kudapat. Tapi mereka tak pernah tahu dan paham banyaknya peluh dan tangisku dalam menghadapi ujian hidup sampai aku berjuang agar tetap bisa stabil dan focus dalam tujuanku.

Sampai detik ini aku masih berjuang, berjuang keras untuk menjadi pribadi pemaaf, dan perlahan mencoba bangkit dan memulai kehidupan dengan sebuah prinsip, prinsip yang sampai detik ini masih coba kuterapkan dalam kehidupanku. Prinsip itu sangat sederhana, tapi sarat akan makna untuk menjalani kehidupan ini. Dan bagi siapapun yang mengalami hal yang sama denganku (bullying­ ), aku berharap prinsipku ini pun bisa kalian terapkan, agar hidup lebih santai dan nyaman untuk dilewati.

Apa prinsipku? Prinsipku adalah bergantung pada Allah, berbuat baik pada manusia. Jelas sekali maknanya, bukan? Atau perlu untuk kuperjelas? Akan kucoba.

Bergantung pada Allah, aku banyak belajar dari hidupku yang amat keras ini, belajar bahwa menggantungkan harapan pada makhluk, hanya akan semakin membuatku penuh dengan rasa kecewa. Nyatanya, aku benar-benar kecewa saat melihat, maupun mendengar orang-orang terdekatku justru berkata buruk tentangku, bergurau dengan sangat tak pantas padaku. Mengapa aku kecewa? Itu karena aku terlalu bergantung dan berharap lebih pada mereka, mengharap mereka bisa menjaga hatiku lebih dari orang lain, mengharap mereka memperlakukanku dengan baik. Dan semua harapan yang kutanam pada mereka, akhirnya tumbuh menjadi rasa kecewa saat mereka berbuat setitik kesalahan padaku.

Ilustrasi./Copyright pexels.com/kat jayne

Begitulah aku mulai memahami bahwa tiada yang lebih tepat untuk menggantungkan semua harap kita kecuali pada Sang Pencipta makhluk dan bumi seisinya. Tak akan ada kecewa, karena semua ikhtiarku, hidupku, semua kuserahkan pada-Nya, Dia lebih tau yang terbaik bagiku.

Lalu bagaimana dengan berbuat baik pada manusia, Apa aku serius? Itu mustahil. Kita manusia biasa, kita tak bisa tak melakukan keburukan pada sesama, barang sekali saja. Yap, memang betul kita tak mungkin benar-benar menjadi baik, tapi di situlah peran sebuah prinsip itu ada. Dengan berprinsip demikian, setidaknya aku perlahan mulai benar-benar menjaga diriku dari berbuat yang tidak baik pada orang lain, karena puncak kebahagiaan itu bermula dari sebuah kebaikan.

Memang terkadang respons  orang pun tak melulu baik pula, walaupun yang kita lakukan itu sebuah kebaikan. Pada ujungnya, semua kembali ke prinsip yang pertama, aku tak akan kecewa terlalu dalam, bilamana respon dari kebaikan yang kubuat justru suatu keburukan. Karena aku bergantung pada Allah. Bukan makhluk.

Jadi? Ya, sebagai salah satu korban bullying, aku ingin berpesan bahwa tidak mudah untuk bisa bangkit lalu memaafkan dan tetap jalan pada koridor yang semestinya, bukan sekali depresi hadir, terkadang muncul pula penyakit dendam dsb. Tapi kembali lagi pada bagaimana kita memaknai kehidupan ini bahwa tak ada sesuatu makhluk pun yang benar-benar sempurna. Cukup Allah saja.

Kita sebagai makhluk sudah sepantasnya tidak mencela ciptaan-Nya barang apapun, jika kita memiliki iman dalam hati kita. Kini aku sudah merasa begitu enjoy dan menikmati hari-hariku dengan banyak tersenyum dan dekat dengan semua orang. Dan tak lagi sibuk dengan hal buruk yang ditujukan untukku, cukup untuk berani berbuat baik, selalu berusaha memperbaiki tatanan diri, dan memaafkan itu jauh lebih baik saat ini. Aku bangga dengan diriku, aku bahagia. And I love myself.

Terima kasih sudah membaca tulisanku ini, semoga ada hal baik yang bisa kalian ambil dari semua ini.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading