Sukses

Lifestyle

Jangan Terus Membandingkan Diri dengan Orang Lain, Nggak Sehat Buat Hidupmu

Setelah lulus dan mendapat gelar sarjana, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya? Bekerja? Melanjutkan pendidikan ke jenjang S2? Atau menikah? Tentu setiap wanita mempunyai jawabannya masing-masing. Berbeda dengan pria yang mau tidak mau harus memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Sehingga, kapan dan bagaimana pun, mereka harus bekerja demi menghidupi keluarganya kelak.

Hidup sebagai wanita memang tidak selalu mudah, terkadang mereka harus bersusah payah mengendalikan perasaan mereka agar tetap hidup. Seperti aku, seorang Sarjana Ekonomi yang sempat bimbang dengan pilihan hidup. Berkaca pada kehidupan sekitar, tentunya sebagai wanita yang cerdas, hendaknya dapat mengambil pelajaran dari setiap makna kehidupan orang lain. Namun, apakah dengan hal tersebut dapat membuat kita termotivasi, atau malah menjadi beban?

Di masa perkuliahan, aku bersama enam teman dekatku sempat bermimpi bisa wisuda bersama. Namun tahun lalu seorang temanku terpaksa harus menikah karena telah menjadi seorang piatu yang ayahnya pun pergi entah ke mana. Suami temanku, lelaki yang cukup mapan. Pegawai perusahaan go public dan sudah mempunyai rumah. Secara tidak sadar, batinku berkata, "Aku harus bisa mendapatkan suami yang lebih dari dia."

Ilustrasi wanita./Copyright pexels.com/du van trung

Temanku yang lain, memutuskan untuk menjadi seorang pengusaha makanan sebagai kerja sampingan pada saat kuliah. Hasilnya ia gunakan untuk kredit motor, membeli HP, termasuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Aku pun berpikir, "Kelak penghasilanku harus cukup untuk kredit mobil."

Bukan iri, aku selalu meyakinkan diriku bahwa itu hanyalah motivasi. Satu lagi temanku, beberapa hari lalu diterima kerja di daerah ibu kota sebelum wisuda. Batinku berontak, ingin sekali aku menanyakan bagaimana bisa ia mendapat pekerjaan itu? Berapa gaji yang ia peroleh? Dan masih banyak lagi pikiran-pikiran yang justru malah membuatku merasa semakin terbebani. Apakah itu yang disebut memotivasi diri?

Jawabannya tidak. Hidup itu seimbang. Di mana ada senang, pasti ada susah. Apakah aku mau menjadi temanku yang memiliki suami mapan, namun tak bisa lagi mengabdi kepada orangtua? Apakah aku mau menjadi temanku yang membuang jauh rasa gengsi saat mempromosikan dagangannya? Apakah aku mau bekerja di kota besar meski harus terpisah jauh dari orang tua? Atau aku harus menjadi aku yang terus-menerus menyembunyikan diri dari pertanyaan teman-temanku, di manakah aku sekarang, karena aku hanya bekerja di perusahaan kecil-yang-tidak-terkenal dengan gaji standar?

Ilustrasi wanita./Copyright pexels.com/du van trung

Pada akhirnya, aku memilih untuk memendam segala pemikiran burukku. Aku memilih untuk tidak lagi hidup dalam persaingan. Aku menerima keadaanku sekarang, menjalani apa yang telah menjadi takdirku. Aku memilih bersyukur. Satu-satunya jalan yang kuharap dapat membuat hidupku lebih baik. Aku hidup untuk aku.

Hidup bukan tentang bagaimana cara untuk melebihi orang lain, bukan bersaing, bukan juga bagaimana kita di mata orang lain. Namun hidup adalah bagaimana menghidupi akal pikiran dan perasaan agar tetap sejalan.



(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading