Sukses

Lifestyle

Meski Tidak Bisa Menyelesaikan Kuliah, Selalu Ada Jalan Wujudkan Mimpi Lain

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Kehidupan bak debur pantai yang pada malam pasang, paginya menjadi surut. Tidak semua cita-cita yang kita inginkan lantas bisa diupayakan dengan membalik telapak tangan. Butuh perjuangan yang tidak cukup berhenti dalam satu sisi. Ada banyak sisi yang akan membawa pada keberuntungan seperti usaha dan doa. Tanpa dua hal penting tersebut mungkin impian tidak lantas berbuah menjadi mimpi.

Saya terlahir dalam keluarga biasa bukan golongan konglomerat. Namun, sejak kecil cita-cita saya terus terngiang ingin menjadi dokter atau guru yang hebat. Tidak ada yang mau mendukung saya menjadi dokter lantaran kemampuan finansial yang minim. Maka hanya kepada lembaran kertas dan pena yang memahami keluh kesah hidup saya. Terlebih terpisah dengan orangtua sejak bayi, orangtua saya tinggal di Bali dan saya di pulau Jawa.

Hampir setiap hari saya menulis dalam buku harian, karena saya merasa tenang setelah menuliskan cerita entah pengalaman pribadi atau kisah-kisah hewan peliharaan saya. Sejak kecil saya dituntut mandiri oleh nenek, berangkat sekolah sendiri pulang juga sendiri, terkadang ‘nebeng’ dengan teman sebaya yang arah rumahnya sama dengan tempat tinggal saya. Setiap pulang sekolah kami suka duduk di gubuk sawah atau duduk di bawah pohon rindang melihat aliran sungai.

Meskipun pulang terlambat, nenek saya tidak pernah marah, asalkan tidak keluyuran. Ketika usia saya beranjak remaja, orangtua saya berniat membawa saya ke Bali. Saya sangat senang awalnya, tetapi saya merasa separuh hati saya terluka jika harus meninggalkan nenek yang sudah merawat sejak bayi. Saya putuskan ikut ke Bali hanya sekadar wisata, memang Pulau Dewata sangat indah, tapi rasanya tidak lengkap tanpa hadirnya nenek.

Copyright pixabay.com/skitterphoto

Waktu terus berputar, dengan duka, tawa dan nestapa. Saya lulus SMP tetapi saya tidak ingin melanjutkan SMA. Jujur selama ini program sekolah SMP sudah berat, saya rela melepaskan kelas bilingual karena beban SPP saya pun berjuang di kelas reguler. Berkat Kuasa Allah saya bisa mendapatkan bantuan keringanan biaya setelah mendapatkan prestasi. Itu sangat membantu dan memunculkan semangat untuk terus belajar dan berprestasi.

Beberapa prestasi olimpiade tidak selamanya bisa digunakan untuk masuk di SMA favorit, karena nilai akumulasi UN saya rendah. Akibat satu mata pelajaran yang mendapatkan nilai 75, saat itu saya sudah pesimis. Tetapi, beberapa keluarga mendukung. Saudara nenek saya berkata, “Sekolah itu penting untuk bekal masa depan, jangan seperti orangtua dulu yang tidak bisa baca tulis.”

Saya putuskan mencabut berkas di Dinas Pendidikan, karena saya merasa sekolah yang menerima saya terlalu jauh dari kota. Saya pun memilih belajar di salah satu sekolah yang selama ini dipandang sebelah mata. Di sana saya mulai memperjuangkan segalanya, belajar tanpa henti siang maupun dini hari. Mengerjakan tugas dan tak pernah absen.

Tetapi, saya belum juga mendapatkan beasiswa, saya menyadari baru 6 bulan belajar pun belum menerima rapor. Sementara saat itu sudah kelimpungan untuk membayar uang iuran gedung sekolah, menunggak dan itu sangat membuat konsentrasi belajar kacau. Pernah sewaktu pagi saya harus menangis karena esok sudah rapotan, jika tidak menyelesaikan tunggakan tentu tidak mendapatkan rapor.

Allah membawakan pertolongan kepada saya, seorang wali kelas yang baik hatinya, meminta saya bercerita mengapa menangis. Sempat ragu, karena saya malu dengan kondisi keadaan keluarga saya. Berpisah dengan orangtua, tak dapat uang bulanan. Terkadang pun uang saku tidak ada ke sekolah. Wali kelas saya memanggil untuk mempertemukan dengan Waka Kesiswaan, sempat takut karena selama ini tidak pernah dipanggil ke ruang kerjanya.

Copyright pixabay.com/free-photos

Setiap usai hujan akan muncul pelangi, setiap kesedihan akan muncul kebahagiaan. Ternyata pihak sekolah membebaskan tanggungan biaya pendidikan dan mendapatkan SPP gratis selama 3 bulan ke depan, berkat nilai rapor sayang yang ranking Paralel. Sebuah tangis dan haru yang tak dapat didefinisikan lagi. Dalam benak saya, impian menjadi dokter semakin menggebu terlebih bisa masuk jurusan IPA dan saya menyukai sains. Sebagai siswa teladan, tak lantas membuat saya pongah dengan status tersebut, saya sering juga berbaur dengan siapa pun. Karena tidak akan artinya apa yang kita miliki jika tidak menularkan kepada lainnya.

Detik-detik kelulusan tiba, pihak sekolah pun merekomendasikan pada universitas terbaik melalui jalur seleksi nilai rapor tanpa tes. Sungguh membahagiakan, tetapi lagi-lagi masalah finansial. Harus membayar nominal yang besar bagi saya. Saat itu hati saya menjadi hancur, memiliki kemampuan akademik tetapi tidak punya biaya untuk mengejar cita-cita tersebut.

Seperti goresan kaca yang menyayat-nyayat kulit, terasa perih. Usaha saya bertahun-tahun untuk bisa melanjutkan pendidikan harus terhenti lebih dini. Ibarat hidup segan, mati tak mau. Saya pun memilih membantu saudara bekerja sebagai karyawan toko parfum. Meskipun gaji tidak seberapa, saya bisa membantu itu sudah sangat membahagiakan, di waktu luang menunggu costumer saya juga sering menulis cerpen tentang kehidupan saya. Saya tidak tahu harus bercerita kepada siapa, bercerita kepada nenek, khawatir jatuh sakit. Kepada teman? Mereka sudah sibuk dengan rutinitas kampus dan dunia kerja lainnya.

Terkadang hati kecil saya berteriak, mengapa saya berbeda? Jauh dengan keluarga, merindukan belaian seorang ibu dan tidak ada dukungan apa-apa. Harus benar-benar survive sendiri, sejak saat itu saya menyukai dunia kepenulisan. Mencari informasi menulis di beberapa grup Facebook, ternyata di sana ada banyak dan saya bisa mengenal banyak orang tanpa harus bertemu. Saat itu saya berusaha mengutuk diri, lebih banyak menyalurkan pada tulisan.

Jenuh dengan kondisi saya yang terus-terusan, bersembunyi dalam batok kelapa. Saya mulai mengirimkan lowongan pekerjaan yang kebetulan teman saya yang menjadi admin, penempatannya di Jawa Barat. Saya sangat bersemangat, tetapi di saat hari keberangkatan, paman saya menjadi dalang gagalnya saya melanjutkan pekerjaan tersebut. Ia meminta kepada instasi agar saya tidak diterima. Saya benar-benar terpukul, semua seperti mengekang dalam jeruji kegagalan. Bagaimana mungkin ada seorang anak yang ingin bekerja agar bisa kuliah dilarang? Padahal dunia menawarkan kemudahan untuk berproses, justru dari unit terkecil dunia yang bernama keluarga  menjadi tantangan terbesar.

Copyright pixabay.com/khamkor

Nenek saya sedih, ia menelepon kedua orangtua saya meminta agar saya dipulangkan saja ke Bali. Ini momentum yang saya tunggu selama ini, tetapi selalu gagal hanya satu alasan. Tidak ada yang merawat nenek lagi. Akhir 2014 saya merantau ke Bali, meski tinggal bersama orangtua, kehidupan saya jauh lebih buruk dari sebelumnya. Kota Metropolitan yang saya pernah kenal sangat indah menjadi sangat menyeramkan. Tempat tinggal orangtua saya jauh dari kata layak.

Air bersih harus memompa sumur dan bisa dikatakan kami berada pada lingkar kumuh di tengah ibukota. Saya benar-benar ingin kembali setelah mengetahui kenyataan hidup di pulau orang lebih keras daripada kota sendiri. Tetapi, saya tahu keputusan bagaikan ludah yang sudah saya buang, tak mungkin saya kembali telan. Mencari lowongan kerja di Bali seperti melemparkan remah-remah roti di tanah kemudian diserbu pasukan semut. Ada banyak lowongan kerja di sini, hanya saja persaingan begitu ketat, saya pun menimbang-nimbang lokasi kerja dan tentunya lingkungan kerja.

Sangat sulit bisa berbaur dengan masyarakat dan budaya yang baru terlebih kehidupan bebas di ibukota. Lagi-lagi atas pertolongan Allah, setelah jauh-jauh mencari lowongan hingga Tabanan, kabupaten yang ditempuh 2 jam setengah dengan sepeda motor bersama ayah. Ternyata saya menemukan tempat kerja berjarak 20 meter dari rumah.

Perjalanan terus menanjak, terkadang menemui tikungan tajam, aspal panas atau kerikil tajam yang bersiap untuk menjatuhkan pada lubang curam. Saya tidak pantang menyerah, kesulitan demi kesulitan terus menghadang, tetapi pada bulan keenam, saya mulai memutuskan resign. Meskipun pekerjaan saya diacungi jempol oleh big-boss dan omset tertinggi meskipun pramuniaga dalam status training, lebih-lebih akan dinaikkan jabatan saya setelah tiga bulan menjadi karyawan tetap. Tetapi saya merasa kesulitan meraih mimpi saya untuk kuliah jika masih bekerja, sistem jadwal kerja yang tidak tetap dan harus profesional datang tepat waktu.

Copyright pixabay.com/freestocks-photos

Memutuskan hal yang sangat sulit, terlebih di Bali turut menjadi tulang punggung dan saya sedikit memiliki konflik dengan orangtua saya. Ada banyak pilihan seperti tinggal sendiri atau ngekos, tapi saya merasa kasihan jika harus membiarkan keluarga sendiri. Maka saya bulatkan tekad, meminta resign kepada Big Boss berbicara face-to-face, meski kontrak baru saja ditandatangani. Sebuah keajaiban yang memudahkan pilihan saya.

Sebelum resign niat saya ialah kuliah di universitas bergengsi di kota Malang, itu mimpi yang harus saya taklukkan. Saya percaya di mana ada kemauan pasti ada jalan. Dengan modal nekad, saya kabur dari Bali. Saya tinggalkan semua belenggu yang selama ini hanya membebani hidup saya. Ketika memutuskan hal yang sangat berpengaruh pada masa depan saya, saya sudah yakin akan memperoleh konsekuensinya. Tentu saja itu berpengaruh pada kehidupan saya berikutnya.

Balik ke pulau Jawa, pulang ke rumah hanya untuk pamitan untuk kuliah dan saya meyakinkan nenek maupun paman, bahwa saya bisa menjalani kehidupan berat di luar sana. Saya tegaskan lagi, ini pilihan saya dan saya berhak untuk mengejar impian. Kuliah dengan modal nekad dan uang pas-pasan, sering dibilang ‘gila’ oleh teman saya. Resign dari pekerjaan yang baik dan pergi ke tempat yang benar-benar asing seorang diri.

Di sana saya menjalani kehidupan yang tidak pernah saya pikirkan, kemana pun kaki melangkah tak pernah saya sesali. Selama ini yang mendapatkan perlindungan, menjadi bebas dan harus mencari jalan keluar sendiri. Pernah suatu ketika jualan cilok sambil masuk kuliah, begitu bahagia jika teman-teman membelinya. Tatkala saya menitipkan pada salah satu kantin, saya amati hampir tiap hari. Ternyata tidak dijual, itu saya bisa sabar. Di lain sisi, pula ketika saya membantu mengiklankan info kos-kosan milik teman saya yang ingin oper kontrak. Baru saja dipajang di dinding jalan yang biasa tempat orang pasang pengumuman, ternyata sudah ada yang menyobeknya, diganti pengumuman yang baru.

Banyak lagi kisah-kisah mengharukan, hingga terlalu sering tidur 2 jam setiap hari. Bergulat dengan tugas kampus dan kuliah paruh waktu kepada orang lain, bersepeda ontel tiap hari nyaris 30 km.

Ketika rasanya ingin menyerah, saya mengingat impian saya yang masih belum terwujud. Membahagiakan nenek, sukses di masa muda. Semua berubah ketika saya harus drop-out, karena awal semester dua tidak menemukan biaya membayar uang UTS padahal sebulan sebelumnya sudah bayar SPP dan tunggakan SPP di dua bulan sebelumnya. Saya tahu rasanya dicemooh beberapa dosen yang mengatakan saya tidak pantas kuliah di jurusan favorit, yang notabene isinya mahasiswa hits.

Copyright pixabay.com/genesis_3g

Ada bulir-bulir yang tertahan saat itu, perjuangan saya harus terhenti lebih awal, padahal hanya butuh 3 bulan lagi untuk bisa mendaftarkan beasiswa, syarat utama saat itu memiliki nilai IPK sementara saya sudah berjuang enam bulan sebelum maba. Kampus kami banyak aktivitas sebelum masa orientasi mahasiswa. Itu butuh banyak biaya, baik makan maupun tinggal. Pun mencari kerjaan tidak semudah di Bali, perlu mencari informasi langsung kepada perusahaan atau toko yang bersangkutan.

Saya memilih pulang atas desakan nenek, karena ia sangat khawatir dengan pekerjaan saya yang begitu berat. Menjadi asisten rumah tangga sembari berjualan cilok. Prinsip saya, yang penting usaha dan tidak membebani diri, ditambah kualifikasi yang diminta harus fresh graduate dan lulusan D3 minimal, juga menyulitkan posisi saya. Namun saya mencintai pekerjaan tersebut. Tanpa rasa beban, semua demi kuliah.

Tetapi harus kandas dan saya pulang kampung, awalnya saya sedikit syok tetapi selang sebulan saya mencoba bekerja di salah satu proyek, demi bisa kembali lagi ke kampus putih. Semua serba sulit ketika tugas saya tidak sesuai kesepakatan di awal, harusnya menjadi admin IT namun bekerja di medan proyek dan sehari ada 3 lokasi berbeda yang harus dipantau. Jarak tempuhnya 2 hingga 3 jam. Itu benar-benar pekerjaan yang berat bagi saya, terlebih harus membuat laporan pengamatan tiap hari. Hampir tiap hari lembur, saya merasa kesulitan lagi untuk menulis.

Sampai di rumah saya masih mengajar les privat kepada anak-anak tetangga yang kesulitan membuat PR, itu inisiatif saya untuk membantu tanpa harus membayar. Sebagai bentuk dukungan pada pendidikan yang saya sendiri tidak bisa menyelesaikan kuliah.

Saya berhenti kerja, baik di proyek maupun pekerjaan berikutnya di marketing. Saya mulai fokus menulis lagi, ternyata akhir 2017 dan awal 2018 menjadi pelecut semangat lagi, buku saya terbit satu di penerbit mayor, lainnya indie.

Bagi saya hidup adalah pilihan, selama kita mampu mewujudkan pilihan tersebut sampai akhir. Jika memang harus berhenti di tengah jalan, percayalah. Kegagalan membuatmu tangguh dan makin menikmati sebuah proses.

Bagi saya, menulis adalah tempat pelarian dari impian-impian yang gagal dicapai. Alhamdulillah dengan menulis saya mendapatkan banyak kolega, sahabat baru dan semangat baru untuk hidup lebih baik.
Cintai hidupmu!





(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading