Sukses

Lifestyle

Kita Nggak Punya Kewajiban Mengikuti Gaya Hidup Semua Teman Kita

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Menjalani rutinitas sebagai mahasiswi semester akhir. Berangkat pagi ke perpustakaan kampus, kemudian pulang sore dan tidak melakukan kegiatan apapun selain menunggu panggilan dosen untuk bimbingan skripsi terlihat sangat membosankan. Sebagai mahasiswi farmasi di kampus swasta yang notabenenya terkenal dengan biaya yang tinggi membuat memutar otak berkali-kali untuk biaya sehari-hari.

Dulu aku tak pernah menginginkan untuk bisa berada disini, selain aku paham betul dengan biaya kuliah di kampus ini mahal, letaknya yang berada di kota Yogyakarta juga membuatku sedikit mengurungkan niat. Bagaimana kalau aku rindu orangtuaku? Perjalananku untuk bertemu mereka saja membutuhkan waktu sekitar 8 jam. Walau masih dalam satu pulau, tapi menempuh jarak Jawa Timur - Yogyakarta cukup melelahkan jika hanya dilakukan dengan duduk di bus. Sebenarnya bisa naik kereta api, tapi biayanya bisa 3 kali lipat dibanding transportasi roda 6 itu.

Berada di lingkungan mahasiswa/i berduit membuatku sedikit demi sedikit terseret alur mereka. Hampir tiap minggu minimal lembaran seratus ribu keluar dari dompetku. Hal ini membuat hari-hariku setelahnya merasakan puasa makan. Pernah aku hanya membeli martabak harga Rp20 ribuan aku makan hingga hampir 3 hari. Sebenarnya aku bisa saja menolak ajakan mereka, namun aku takut apabila aku ditinggalkan. Sejenak aku membayangkan betapa sepinya hariku tanpa mereka. Hingga suatu waktu teman-temanku mengajakku pergi liburan di Karimun Jawa. Hal pertama yang kutanya adalah harga. Benar saja, untuk 3 hari bermain di sana, biayanya mencapai Rp800 ribu rupiah, dan dengan biaya sebesar itu belum include makan. Aku hanya membalas haha hehe ajakan mereka, apalagi tenggang waktu yang diberikan hanya satu bulan.

Ilustrasi bersama teman./Copyright pexels.com/rawpixel

Aku memutuskan untuk pulang, setelah penat karena dosen pembimbing tak kunjung membalas pesan WhatsAppku sejak 5 hari lalu. Sebelumnya, aku selalu mengutuk delapan jam perjalananku, hari ini terasa berbeda. Aku duduk di sebelah bapak-bapak usian 30an. Setelah basa basi cukup lama, kami saling terdiam. Tiba-tiba bapak itu berbicara lirih, "Kuliah yang benar ya dek, jangan terseret pergaulan, setiap orang harus berprinsip. Jangan seperti adek saya, dia pengen sekali kuliah tapi karena dana dia sekarang hanya di rumah, dulu dia terlalu ngikutin gengsi dengan tema-temannya. Andai dia berusaha lebih keras pasti bisa sekolah lebih tinggi." Kurang lebih seperti itu kata-kata yang diucapkannya, terdengar samar-samar.

Di sini aku tidak bermaksud memberi artian bahwa seseorang yang hanya di rumah adalah buruk. Seakan mengerti keadaanku, bapak itu menasihatiku dengan cara yang halus. Sejenak setelah itu, aku hanya terdiam, merenung dan tak terasa sampai di terminal tujuanku, aku berpamitan dengan bapak tersebut dan melengkungkan senyuman hangat.

Sesampainya di rumah, aku melihat senyum sumringah orangtuaku. Malam ini kami maka di ruang tengah dengan lauk sederhana. Rasa-rasanya jauh lebih nikmat dibanding makanan di mall yang kumakan bersama teman-temanku tiap akhir pekan. Aku tidak pernah menyalahkan teman-temanku karena mungkin gaya hidup mereka yang seperti itu, tapi aku mengutuk diriku sendiri yang tak bisa beradaptasi dengan keadaan. Aku tak paham bahwa ada yang perlu diperjuangkan lebih dari sekedar hangout di malam minggu.

Ilustrasi mengurangi hangout./Copyright pixabay.com

Perlahan, aku mulai mengurangi frekuensi untuk bertemu temanku. Kuberanikan diri untuk menolak ajakan akhir pekan mereka. Aku yakin sesuatu yang baik akan menuju ke arah kita apabila kita melakukan yang baik pula. Setelah berbagai pertimbangan, kuputuskan untuk mendaftar kerja. Gayung bersambut, setelah melewati persyaratan administrasi dan wawancara, aku yang belum lulus S1 ini diperbolehkan bekerja di sebuah apotek yang jaraknya sekitar 15 km dari tempat kosku. Bagiku itu tak masalah, karena segala sesuatu memang harus diperjuangkan, apalagi untuk masa depan.

Menjadi mahasiswi dan bekerja part time adalah pilihan yang saat ini kulakukan, walau harus pulang larut malam dan kembali mengerjakan skripsi di pagi harinya, aku tak pernah menyesal. Banyak waktu luang yang kusia-siakan di masa lalu, banyak keringat orangtuaku yang terbuang begitu saja. Kini aku menyadari tidak ada yang mewah di dunia ini apabila kita tidak pandai bersyukur atas segala kondisi. Jadilah diri sendiri. Hidup terlalu singkat untuk menjadi orang lain. Nikmati semua alur yang telah digariskan Tuhan.

Gaji pertamaku, tertutup rapi di amplop warna putih. Kukirimkan kepada yang tercinta, orangtuaku. Biarkan mereka menikmati hasil kerjaku, walau sebenarnya tidak ada yang bisa mengalahkan besarnya perjuangan mereka. Tapi kita cari berkahnya. Apabila orangtua kita bangga, mereka senang. Semua hal yang kita lakukan akan diridhoi olehnya. Aku bukanlah orang baik, tapi kita punya Tuhan yang baik, yang perlu kita lakukan adalah bersyukur atas segala kebaikannya. Syukur, syukur, syukur.





(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading