Sukses

Lifestyle

Pilihan Hidup yang Dipaksakan Hanya Akan Menyiksa Diri Sendiri

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Terlahir sebagai wanita kadang memang sedikit membingungkan. Di saat kecil aku diajari bagaimana bertahan hidup, memutuskan sesuatu yang aku suka atau tidak. Aku diberikan keleluasaan untuk menentukan hidupku sendiri, aku bisa memilih ke Sekolah mana aku akan belajar, kursus apa yang akan kujalani sampai mengelola uang sakuku sendiri. Aku mendapatkan kesempurnaan dalam kemandirian itu sejak kecil. Tetapi semakin aku dewasa, tepatnya setelah aku lulus kuliah kemandirian itu tidak lagi milikku seutuhnya.

Perkenalkan dulu, namaku Anisa. Sebuah nama pasaran yang ketika kemanapun aku berpijak akan menemui orang bernama serupa. Tapi pilihan hidup yang akan kuceritakan ini tentu tidak akan pernah sama dengan manusia manapun. Aku lulus kuliah dengan predikat cumlaude dengan durasi tercepat di salah satu universitas negeri ternama di Malang. Karena prestasiku, aku ditarik sebagai asisten peneliti di perguruan tinggi tempatku belajar. Tak berhenti di situ, aku juga ditarik di Lembaga Bantuan Hukum sebagai paralegal. Hidupku indah karena apa yang aku inginkan tak perlu susah-susah kuraih.

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Namun segalanya berubah ketika masa menjadi Asisten Peneliti habis dan masa kerjaku di Lembaga Bantuan Hukum juga harus selesai. Dengan teramat berat aku kembali pulang dengan harapan dapat mengistirahatkan diri sambil bersiap melangkah ke jenjang berikutnya. Cita-citaku sederhana saja, aku hanya ingin menjadi lawyer agar bisa membantu orang kurang mampu yang terjerat permasalahan hukum. Sebelum menjadi lawyer aku terlebih harus mengikuti pendidikan profesi advokat, lalu mengambil ujian profesi dan magang selama dua tahun berturut-turut di kantor advokat.

Aku mulai menguras tabungan dan dibantu oleh keluarga untuk mengikuti pendidikan profesi, lantas aku mengambil ujian profesi dan lulus. Aku pun mulai mencari kantor advokat yang mau menerimaku sebagai internship. Puji Syukur aku diterima di salah satu kantor advokat dan kembali menjadi perantau di Malang.

Aku diterima sebagai internship lawyer dengan syarat tidak akan menerima honorarium dalam bentuk apapun. Aku memahami dan menerimanya karena memang itulah konsekuensi sebagai internship lawyer.

Selama aku menjalani hidup sebagai internship lawyer, aku mengandalkan uang orangtua dan penghasilanku mengikuti beberapa freelance. Hidupku tidak mewah tapi aku bersyukur karena cukup untuk membayar uang kos, makan dan bensin. Meskipun beberapa kali aku kadang harus meminjam pada teman ketika kebutuhan melebihi pendapatanku.

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Aku memahami betapa beratnya menjalani internship dan aku tak mengapa menjalaninya. Terkadang bukan hanya masalah finansial yang membingungkan, tapi sikap mayoritas senior yang tidak terlalu ramah dengan lawyer perempuan. Untuk masuk dalam satu forum diskusi aku harus melakukan banyak pembuktian, tak jarang merasa emosional. Segalanya dinilai di sini, kehadiran, sikap, cara membuat berkas, latar belakang pendidikan sampai bagaimana sikapku pada kebersihan kantor. Bahkan di bulan pertama aku harus rela tidak disapa, tidak diajak bicara, dinilai habis-habisan demi sebuah kata: pembuktian. Namun aku menyikapinya sebaik mungkin, bertahan sambil menyerap ilmu sebanyak-banyaknya tanpa mengeluh sedikit pun. Inilah pilihanku dan inilah risiko yang harus kujalani.

Tapi ternyata orangtuaku berbeda pandangan denganku, mereka ingin aku segera bekerja dengan penghasilan yang tetap. Kebetulan temanku memasukkanku di sebuah bank swasta sebagai legal. Awalnya aku menolak karena aku hanya ingin menjadi lawyer dan siap menjalani serangkaian proses ini. Namun orangtuaku memaksaku bahkan ibuku sampai menangis memohon. Air mata ibu adalah kelemahan paling utama bagiku, menyakitinya sama saja dengan menyakiti diriku sendiri. Akhirnya dengan sangat berat hati aku bekerja di bank swasta itu sebagai legal namun aku belum menyatakan resign dari kantor advokat tempatku magang, aku hanya izin untuk beberapa saat.

Pekerjaanku sebagai legal di bank memang tidak jauh beda dengan pekerjaanku sebagai internship lawyer. Namun aku merasa sangat tidak nyaman karena ini bukan pilihan hidupku. Lawyer adalah pekerjaan yang bebas dan mandiri, sesuatu yang kuidam-idamkan karena aku tipikal orang yang bebas. Bekerja di kantor dengan sistem hubungan subordinatif membuatku tertekan. Terlebih ketika aku pergi ke Pengadilan atau Balai lelang, aku selalu bertemu dengan senior advokat yang aku kenal. Mereka semua bertanya mengapa aku tidak masuk kantor? Terlebih pimpinan advokat di kantor menanyakan di mana keberadaanku, sesuatu yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku benar-benar merasa terbebani secara moral maupun mental.

Seminggu lebih satu hari, aku sudah tidak bisa bertahan lebih lama di bank swasta itu. Percaya atau tidak aku kehilangan seluruh nafsu makan dan aku jatuh sakit. Tubuhku menggigil dan enggan berbicara dengan siapapun. Bahkan derap langkah kakiku bisa ditengarai kalau aku sedang tidak baik-baik saja. Aku lebih mirip zombie daripada manusia. Jika aku bertahan lebih lama, aku hanya punya dua pilihan: menjadi gila atau sakit berkepanjangan. Aku benar-benar ingin keluar dan kembali menjadi internship. Tapi bayangan ibu sedang menangis kerap kali menggagalkan keinginanku.

Tepat suatu malam sepulang kerja aku tersadar akan sesuatu. Ini adalah hidupku, aku yang menjalani dan merasakan setiap jengkal keputusan yang kuambil. Pertimbangan orangtua memang perlu, namun aku tidak harus menjadi robot yang dikendalikan oleh siapapun. Akhirnya keesokan harinya kuberanikan diri untuk menghadap pimpinan dan menyatakan mengundurkan diri. Awalnya pimpinan bank itu melarang namun aku punya alasan kuat untuk keluar. Aku berkata dengan sangat yakin, aku hanya ingin menjadi lawyer dan tidak akan pernah fokus jika bekerja sistem kantor seperti ini.

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Setelah resmi keluar dari bank, aku kembali ke kantor Advokat dan menjalani hidup sebagai internship lawyer. Aku tersenyum lega karena tidak akan merasa tertekan lagi. Meskipun aku sangat paham, aku akan melakukan pembuktian demi pembuktian lagi mungkin yang jauh lebih keras. Aku akan menerima banyak pandangan sinis, aneh dan tentu menguras emosi. Dan yang pasti aku tidak akan mendapatkan gaji, aku akan kembali memburu pekerjaan freelance. Meski demikian ada sesuatu yang membuatku tersenyum lebih lebar, tiba-tiba para advokat dan pegawai di kantor yang semula sinis padaku, hari itu menyambutku dengan hangat semakin yakin, pilihanku sebagai lawyer tidaklah salah.

Aku pun berterus terang pada orang tuaku bahkan aku melarang mereka untuk mengirimiku uang. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk bertahan, demi menjalani cita-citaku dan pilihan hidupku. Tidak ada jaminan aku akan makan atau bisa membayar sewa kos karena aku memang tidak berpenghasilan tetap. Tapi aku yakin, ketika aku telah menetapkan keputusan dan serius menjalaninya, Tuhan tidak akan pernah diam. Aku percaya, kerja kerasku tidak akan dikhianati.




(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading